Jumat, 23 November 2012

Pekerja Bangunan

Dulu waktu SMA, sekolah pernah mengadakan program live in untuk para siswanya. Dalam program itu, para siswa tinggal bersama penduduk di kampung dan ikut bekerja bersama mereka. Ada yang jadi pemulung, pengamen, penyortir kertas, dan lain-lain. Waktu itu, saya dan beberapa teman kejatah menjadi karyawan di sebuah perusahaan konveksi, dan tinggal di gudang sebuah rumah besar.

Tujuannya jelas, supaya para siswa lebih mendalami kehidupan orang lain. Dengan demikian kami bisa lebih menghargai dan menghormati orang lain, lebih tepo saliro.

Kemarin berasa live in untuk yang kedua kali. Di rumah baru ada tukang bangunan karena ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Dan acara kemarin adalah ngecor teras. Kata orang, pekerjaan ngecor itu harus sekali jadi, maka perlu beberapa orang supaya pekerjaan itu bisa cepat selesai. Karena kurang orang, jadilah saya menawarkan diri membantu. Hahaha .... *gaya*

Tugas saya adalah menaikkan ember berisi bahan cor (semen, pasir, kerakal, yang sudah dicampur dengan air). Ember demi ember .... Astagaaa beratnyaaa ... Ternyata seperti itu rasanya jadi tukang bangunan. Sungguh besar jasamu mas-mas....

Pegel? Hohoho ... sudah pasti! ^_^
Tapi dapat ilmu. Setidaknya sekarang saya tahu campuran cor yang biasa dipakai para pekerja bangunan, berapa perbandingan antara semen, pasir, dan kerakalnya. Sekarang saya juga tahu bahwa melakukan pekerjaan seperti itu menimbulkan efek lapar yang berbeda. Makanan yang disajikan tidak boleh sembarangan, apalagi sedikit. Hehehe. 

Minggu, 18 November 2012

Cacoethes Scribendi

If all the trees in all the woods were men;
And each and every blade of grass a pen;
If every leaf on every shrub and tree
Turned to a sheet of foolscap; every sea
Were changed to ink, and all earth's living tribes
Had nothing else to do but act as scribes,
And for ten thousand ages, day and night,
The human race should write, and write, and write,
Till all the pens and paper were used up,
And the huge inkstand was an empty cup,
Still would the scribblers clustered round its brink
Call for more pens, more paper, and more ink.

Oliver Wendell Holmes

Senin, 05 November 2012

[Tidak] Suka Nama Sendiri

Siang ini rame-rame ngobrol soal nama. Nama panggilan, nama masa kecil, nama lengkap ... apalagi ya tadi? 

Satu topik yang mencuat adalah "seandainya bisa memilih nama untuk diri sendiri". Bahasa lainnya adalah tidak [begitu] suka nama pemberian orangtua (hehehe). Saya tertohok. Jadi ingat dulu waktu kecil, saya suka banget membayangkan memiliki nama seperti nama orang lain. Entah kenapa, selalu merasa aneh setiap kali mengenalkan diri dengan nama "wiwin". Wew ...

Tapi itu duluuuuuuuu. Setelah semakin matang (baca: berumur, hahaha) dan belajar banyak dari hukum kausalitas terbalik, semuanya berubah. Bukan nama saya yang akan menuturkan kisah tentang saya. Saya yang akan membuat kisah untuk nama saya.

Yeaaa ...

Mestakung

Semesta membaca kesungguhan.
Ketika ada seseorang bersungguh-sungguh dengan upaya baiknya, semesta seolah bersatu padu meluruskan jalan dan menyiapkan kesempatan. Mestakung, semesta mendukung.

Semesta tidak pendendam. 
Ketika ada seseorang bersungguh-sungguh dengan upaya baiknya, semesta tidak memandang ke belakang, apalagi menegaskan kesalahan yang pernah ada.

Tapi di balik itu semua,  ada Penjaga yang mengatur segala sesuatunya.


*ini ditulis sebagai pengingat akan suatu "proyek" yang tertunda dan sedikit terabaikan karena proyek lainnya.
Mestakung di sini tidak sama dengan mestakung yang digagas oleh Prof. Yohanes Suryo. Hanya pinjam istilahnya. ^_^