Kamis, 19 Februari 2015

The Day He Called Me Mother


Hari ketika dia memanggilku ibu.

Sebenarnya kurang tepat juga dikatakan begitu karena hari ini dia genap tujuh tahun. Dia sudah setiap saat memanggil saya “ibu”. Kami sudah ribuan kali tertawa. Ratusan kali makan es krim. Dan sudah entah berapa kali menonton Cars dan Real Steel. Bersama. Tapi, setiap tahun saya selalu suka menandai hari ini dengan “the day he called me mother”. 

Tujuh tahun ini kami tumbuh bersama. Kami keras kepala, tetapi kami juga belajar menghargai. Kami ingin didengarkan, tetapi kami juga belajar mendengarkan. Kami menangis, tetapi kami juga saling menghibur. Kami bertengkar, tetapi kami juga saling memeluk. 

Dia mudah lupa. Dia yang dengan manis berkata, “Selamat tidur, Mah”, pagi harinya bisa berteriak “Mamaaaaah, aku maunya sarapan telur” dengan intonasi tinggi. Tapi dalam sehari, coba tebak, nama siapa yang akan dia panggil pertama kali ketika dia membutuhkan apa pun di rumah atau ketika dia habis mengalami sesuatu yang luar biasa atau ketika dia ingin membanggakan sesuatu? Ibu. Dia tidak pernah benar-benar marah. 

Ibu juga mudah lupa. Rahang yang mengeras pada sore hari disertai kalimat “Jadi bener tidak mau membereskan semua mainan ini?” akan berubah menjadi pelukan hangat sebelum tidur disertai “I love you” dan memastikan dia tidur nyenyak dalam selimut sepanjang malam. Ibu juga tidak pernah benar-benar marah. 

Hari ini adalah hari perayaan kami berdua; merayakan perjalanannya dari perut menuju pelukan. Perjalanan pendek, tetapi mengalihkan dunia. Pelukan kecil, tetapi berarti segalanya.

Hari ini dia tujuh tahun sudah. Dengan caranya sendiri dia berkali-kali menegaskan bahwa dia bukan anak kecil lagi dan tidak mau tidak dipercaya. Dengan proses yang sering kali tidak menyenangkan, dia ingin ibu tahu bahwa dia mengerti semua kata-kata ibunya tanpa harus diulang berkali-kali. 

Karena itu, pagi tadi dalam perjalanan ke sekolah, untuk pertama kalinya saya mengucapkan kata-kata yang sudah saya simpan lama, “Mamah bahagia menjadi ibumu.”

Senin, 16 Februari 2015

Pinguin Emperor

#manusia yang terbuat dari semangat 4



Pernah menyaksikan Pinguin Emperor? Di tayangan BBC atau film dokumenter, mungkin? Pinguin Emperor adalah jenis pinguin yang sanggup berenang dalam waktu yang cukup lama dan melesat di air dengan kecepatan yang dahsyat. Ia akan berhenti saat sampai di daratan tujuannya. 

Pada suatu musim dalam kehidupan, saya pernah seperti Pinguin Emperor itu, melesat tanpa henti. Menyibukkan diri dengan banyak kegiatan dan pekerjaan. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Bergerak, bergerak, dan bergerak. Sibuk, sibuk, dan sibuk. Ibaratnya, memelesetkan lagu John Denver, living in a jet plane. Saya bahkan (sengaja) lupa bahwa jiwa saya perlu keseimbangan, bahwa saya perlu berhenti sejenak untuk menikmati dan merayakan hidup, bahwa saya perlu “ada” untuk orang-orang yang bagi mereka saya sibuk bekerja. 

Sampai kemudian saya “bertobat” (baca: disadarkan) oleh banyak proses yang tidak menyenangkan. Untuk apa saya terus-menerus bergerak? Untuk siapa saya bersibuk-sibuk? Sampai kapan saya akan melakukan semua itu? Bagaimana jika kemudian saya tidak punya kesempatan untuk menikmati semua hal yang saya upayakan dengan keras itu? Saya merenung sampai merinding. 

Oke, fixed, akhirnya saya memutuskan untuk “keluar dari jet plane”, mengurangi kesibukan, dan “memelankan” langkah. 

Mudahkah prosesnya? Tentu saja tidak. Sebuah kenyamanan tidak hanya bicara tentang sesuatu yang aman dan menyenangkan. Hal-hal yang sangat menantang, bahkan sulit dan menyita waktu, bisa juga menjelma menjadi kenyamanan ketika kita memilih untuk tetap menjalaninya apa pun taruhan dan risikonya. Meninggalkan dan menanggalkannya pun menjadi sangat sulit. Jika Anda pernah merasakan hal seperti ini, Anda tidak sendirian.

Ketika memutuskan untuk memelankan langkah, adakah yang kemudian terhilang dari saya? Ada. Tetapi itu tidak sebanding dengan apa yang kemudian saya dapatkan dan rasakan. Saya bisa lebih fokus dan saya bisa lebih banyak tertawa.

Kadang kita memang perlu melesat seperti Pinguin Emperor, tetapi terkadang kita juga perlu seperti Gloria di film Madagascar. #ups

Rabu, 11 Februari 2015

Jengkol dan Pete


#manusia yang terbuat dari semangat


Seandainya jengkol bisa menghilangkan jengkel, pete bisa menghilangkan bĂȘte, dunia akan menjadi indah walaupun sedikit bau.”


Pertama kali mendapatkan kiriman pesan itu ponsel, saya tertawa. Benar juga, meskipun sama-sama beraroma tajam, bagi sebagian (mmm, mungkin banyak) orang, jengkol dan pete membawa kenikmatan tersendiri. 

Seandainya jengkol bisa menghilangkan jengkel, pete bisa menghilangkan bĂȘte, dunia akan menjadi indah walaupun sedikit bau.” Sekali lagi saya diingatkan bahwa sesekali kita perlu melihat hidup dari sisi yang lain, sisi yang menyenangkan, betapapun pelik kehidupan saya saat ini.

Beberapa waktu yang lalu, teman-teman saya di sebuah grup BBM saling berbagi tentang pencapaian target pekerjaan masing-masing; ada yang sudah selesai, ada juga yang masih bergumul. Tiba-tiba, salah satu dari kami ada yang mengirim pesan ke grup tentang pencapaian targetnya. Tulisnya, “Minggu lalu aku juga berhasil menyelesaikan targetku, ngelarin nonton serial Korea My Love from the Stars. #sesattarget.”

Kontan grup jadi heboh dan penuh tawa. Sejenak kami lupa dengan bejibun urusan pekerjaan dan segala sesuatunya yang sebelumnya membuat kami tegang. Yah, kehidupan memang memiliki banyak sisi. Sering kali rutinitas dan berbagai persoalan membuat kita banyak berkutat di sisi tertentu dan lupa bahwa ada sisi lain yang menyenangkan. 

Pekerjaan yang menguras energi dan pikiran bisa sejenak dipinggirkan ketika tiba jam makan siang dan kita “maksibar” seru bareng teman-teman kantor. Masalah dengan pasangan bisa mereda “hanya” dengan menonton tanyangan televisi bareng atau makan ala kadarnya di angkringan. Debat dengan teman bisa tidak berkembang menjadi pertengkaran “hanya” karena guyonan teman lain.

Selalu ada sisi yang menyenangkan dalam segala sesuatu. Mari temukan.

Selasa, 03 Februari 2015

Cuma Bau

#manusia yang terbuat dari semangat



Patrick: “SpongeBob, kita jelek. Huhuhu.”
SpongeBob: “Kita tidak jelek, Patrick. Kita cuma bau.”

***

Hal yang saya suka dari film SpongeBob (meskipun saya tidak setiap hari nonton) adalah dialognya yang sederhana, bahkan konyol, tetapi menjadi semacam senggolan yang cukup keras untuk kita, untuk saya. Dialog di atas adalah salah satu dialog yang menancap di kepala, hanya saja saya lupa dialog tersebut ada dalam episode apa.

Ungkapan “Kita tidak jelek. Kita cuma bau.” menjadi senggolan yang kontemplatif bahwa memang ada hal-hal buruk dalam kehidupan kita, hal-hal yang tidak kita inginkan, yang tidak kita harapkan. Namun, di antara banyak hal yang tidak kita inginkan, tersembunyi banyak hal yang membuat kita bisa bersyukur. Hal-hal kecil yang mungkin luput dari hitung-hitungan kita, seperti mata yang sehat, telinga yang bekerja dengan baik, pembuluh darah yang fit yang membuat kita tidak ketakutan menyantap makanan yang kita inginkan, pernapasan yang lancar, telinga yang bisa menangkap dengan baik suara pagi dan musik tetangga, kulit yang bisa merasakan segarnya air mandi, kaki yang bisa bebas berlarian. Hhhmmm … tak terkira banyaknya. 

Saya menulis ini bukan karena saya mahir atau terbiasa bersyukur. Justru sebaliknya, saya masih jatuh bangun. Bersyukur itu seperti sebuah keterampilan, yang bisa diasah dan dipertajam dengan banyak latihan. Dalam hal ini saya masih jauh dari “tajam”. Jatuh dalam keluhan sebenarnya tak masalah, yang penting adalah segera bangun untuk bersyukur. Jatuh dua kali, bangun tiga kali.

Katanya, orang yang paling bahagia adalah orang yang sanggup membuat semua keadaan menjadi kesempatan untuk bersyukur. Rasanya kita sulit menyangkal hal ini. Orang yang “terampil” bersyukur jelas lebih mudah merasa bahagia karena dia tidak menuntut persyaratan yang rumit untuk dirinya sendiri.

Saya masih dalam perjalanan menuju ke sana. Anda?