Minggu, 30 Oktober 2011

Berapa Luaskah Tanah yang Dibutuhkan Seseorang?

Teringat sesuatu ketika membaca judul tulisan ini? 

Ya, itu adalah judul salah satu cerita pendek (yang tidak pendek) karya Leo Tolstoy. Ini termasuk cerita favorit saya. Cerita ini berkisah tentang Pakhom, petani desa yang hidupnya pas-pasan. Suatu hari, ia dan istrinya kedatangan kakak iparnya (kakak istrinya) yang tinggal di kota. Selama berada di rumah Pakhom, ia membual tentang kekayaan, kesenangan, dan kemewahan hidupnya di kota. Mendengar itu, Pakhom yang dari kecil hidup di desa dan menjadi petani mulai melihat kehidupannya selama ini. Dan ia mendapati bahwa keluhannya hanya satu, yaitu kekurangan tanah untuk digarap. "Seandainya aku mempunyai tanah, tentu tidak ada yang harus kutakuti, tidak ada—bahkan Iblis sekalipun," demikian katanya. Iblis mendengar tantangan ini dan ingin menjajal Pakhom. Dari sinilah segala sesuatunya dimulai.

Mulailah Pakhom memanfaatkan setiap peluang untuk bisa mendapatkan tanah yang subur dengan harga murah, kemudian menanaminya dengan gandum. Setiap kali ia mendengar ada berita orang menjual tanahnya dengan harga murah, dia langsung bergerak cepat. Demikianlah, upaya demi upaya dijalaninya hingga semuanya membuahkan hasil dan ia hidup bahagia. Namun, rupanya semua itu belum membuatnya puas.

Ujian sesungguhnya dimulai ketika ia bertemu dengan seorang saudagar yang bercerita tentang tanah Bashkir yang terkenal luas, subur, dan harganya murah. Di sana ia bisa mengambil tanah sebanyak yang ia mau. Jelas hal ini membuat Pakhom tertarik. Kemudian ia mengurus segala sesuatunya untuk pergi tanah Bashkir. Yang unik tentang jual beli tanah oleh orang-orang Baskhir adalah mereka tidak menjual tanah berdasarkan luas, melainkan berdasarkan hari—seribu rubel sehari. Seberapa banyak tanah yang dapat diperoleh dengan mengelilinginya berjalan kaki dalam sehari, seluas itulah tanah yang akan dimiliki Pakhom. 
Hari pembelian pun tiba. Perjalanan akan dimulai dari tengah bukit; dari tempat ini Pakhom bisa melihat hamparan padang rumput yang begitu hijau dan tanah yang menghitam bagai batu bara. Seketika mata Pakhom berbinar membayangkan seberapa luas tanah yang akan segera dimilikinya. Dari tengah bukit ini [yang ditandai dengan peci berisi seribu rubel uang Pakhom], Pakhom akan memulai perjalanannya. Ia harus mengelilingi padang rumput seluas yang diinginkannya dan harus kembali lagi ke tempat semula sebelum matahari terbenam. Jika ia terlambat, uangnya akan hangus dan tidak ada sejengkal tanah pun yang akan didapatkannya.

Sisa ceritanya bisa ditebak. Pakhom gelap mata. Di tempat-tempat yang ia sadar seharusnya sudah berbelok untuk memulai perjalanan kembali ke tempat semula, ia justru tidak berbelok, malah melanjutkan langkahnya supaya luasan tanah yang bisa dikelilinginya lebih besar. Ketika ia memutuskan untuk berbelok, sudah terlambat, waktunya tidak mencukupi. Namun, ia memaksakan diri dengan berlari sekuat tenaga meskipun kakinya lecet dan berdarah, dan badannya pun sudah sangat letih. Ia tiba di bukit tepat ketika matahari terbenam, tersandung, dan jatuh menyentuh peci yang menandai akhir perjalanannya. Sayang, ketika itu ia menembuskan napas terakhir. Pakhom memang mendapatkan tanah, tetapi hanya sepanjang tinggi tubuhnya, untuk memakamkan jenasahnya. Ia membunuh dirinya sendiri.

Cerita Lama
Rupanya keserakahan dan pemujaan kesenangan sesaat bukanlah cerita baru. Dulu juga ada kisah tentang anak laki-laki yang hanya demi semangkuk sup kacang merah, ia merelakan hak kesulungan yang sangat berharga. Ia memandang rendah hak kesulungan yang dimilikinya, padahal menurut adat di Israel, hak kesulungan memiliki banyak keunggulan, yaitu memiliki hak kepemimpinan yang lebih, memperolah hak warisan dua kali lipat, serta mendapatkan berkat dan kekuasaan yang lebih. Sayang, ia mengabaikannya.

Kini, lebih dari dua ribu tahun berselang, kisah itu tetap ada, tentu saja bukan demi sup kacang merah. Ada orang-orang yang merelakan kehormatan dan menodai kepercayaan yang diembannya dengan menyalahgunakan jabatan atau korupsi. Demi kemewahan yang lebih dan kesenangan sesaat, mereka menutup mata terhadap bahaya dan hukuman yang terang-terangan mengintai. Seperti Pakhom, malam sebelum ia memulai perjalanan membeli tanah orang Bashkir, ia sudah mendapatkan tanda melalui mimpi bahwa ia akan celaka. Namun, ia mengabaikannya. Ketika ia ingat mimpinya dan menyesal, semuanya sudah terlambat.

Yah, lagi-lagi keserakahan ... the same old story ....

Tidak ada komentar :

Posting Komentar