Jumat, 28 Februari 2014

#NgopiCerpenis (di) Kompas, 16 Desember 2013

*postingan ini re-posting dari blognya Guntur Alam*

Gambar
Suasana #NgopiCerpenis (di) Kompas, 16/12. Foto @MelviYendra

Rasa penat dan capek karena didera macet parah dari Bekasi Timur ke Palmerah, Jakarta Barat, langsung sirna ketika sampai ke kantor Kompas pukul 12.10 WIB. Saya terlambat sepuluh menit. Padahal saya sudah berangkat dari Bekasi sejak pukul sembilan pagi. Hari ini memang hari Senin. Awal minggu. Biasanya macet Jakarta memang gila-gilaan. Tapi saya tidak menyangka macet akan separah ini. Biasanya jarak tempuh hanya 1.5 – 2 jam Bekasi-Palmerah. Hari ini 3 jam. Dua kali lipat.
Baiklah, kita lupakan saja macet Jakarta yang masih jadi PR besar pemkot DKI. Tentu teman-teman tak ingin membaca cerita saya tentang macet yang menyebalkan itu, melainkan cerita tentang acara #NgopiCerpenis yang diadakan Kompas Minggu, 16 Desember 2013 kemarin.
Bli Can (Fajar Arcana –red) sudah menggagas acara ini sejak 19 Maret 2013 silam di Twitter. Saat itu beliau mention beberapa teman di Twitter, termasuk saya, untuk ngopi sambil ngobrol di Kompas. Dijadwalkan acara itu sekitar akhir Maret atau awal April. Ternyata rencana ini tenggelam seiring rutinitas dan pekerjaan Bli Can dan teman-teman di Kompas Minggu.
Pada 30 November 2013, tiba-tiba saja Bli Can kembali mention saya dan beberapa teman untuk mewujudkan rencana #NgopiCerpenis yang tertunda. Sedikit kaget sih. Saya pikir Bli Can sudah lupa. Saat Bli Can mention kali ini, beliau sudah langsung menetapkan tanggal acaranya 16 Desember 2013, pukul 14.00 WIB. Lalu waktunya berubah menjadi pukul 12.00 WIB, karena ternyata tim Kompas Minggu berbaik hati ngajak teman-teman yang datang ke acara ini untuk makan siang. Sepertinya menu makan siang itu masakan khas Manado. Saya suka dengan tumis bunga pepayanya. Loh kok bahas makan siangnya? :D
Karena keterbatasan ruangan dan tempat, Bli Can mengatakan jika jumlah peserta #NgopiCerpenis hanya 20 orang. Pada perjalanannya ternyata membengkak jadi 26-27 orang yang daftar. Dan pada hari H-nya ternyata banyak sekali yang tak bisa datang karena ada suatu lain hal.
Pak Martin Aleida datang dengan kondisi kesehatan yang semakin baik. Kita semua tahu, sekitar Mei 2013 silam, beliau mendapat musibah, ditabrak motor hingga kakinya terluka. Tapi saat bertemu di kantor Kompas tadi siang, kondisi beliau sudah jauh lebih baik daripada saat acara Cerpen Pilihan Kompas, Juni 2013. Semoga semakin sehat, Pak.
Selain Pak Martin Aleida, ada Pak Yanusa Nugroho, Pak K. Usman, Uda Damhuri Muhammad, Uda Melvi Yendra, Daeng Khrisna Pabichara, Kak Ana Mustamin, Mbak Ni Komang Ariani, Mbak Clara Ng, Langit Amaravati, Mbak Widya Oktavia, Anggun Prameswari, Feby Indirani, Ade “Bukan Unyil”, Rai Zara, Mami Tula Rashi, dan tentu saja Bli Can, Ibu Ninuk, Ibu Myrna Ratna, dan tim Kompas Minggu lainnya, termasuk admin twitter @kom_ming yang sepanjang acara jeprat-jepret peserta dan bercuit. Harusnya saya pasang gaya dulu kalau mau difoto, biar cakepan. :D
Ngobrol santai tapi serius ini dibuka oleh Bli Can yang menyatakan beliau sangat berterima kasih atas kedatangan teman-teman ke kantor Kompas. Lalu dilanjutkan sedikit pengantar dari Ibu Ninuk yang menceritakan perkembangan Kompas sebagai harian umum, termasuk perkembangan cerpen Kompas yang diharapkan bisa dinikmati oleh semua pembaca Kompas, bukan hanya kalangan tertentu seperti sastrawan atau pecinta sastra saja.
Setelah pengantar singkat dari Ibu Ninuk, Bli Can mengambil alih acara kembali dengan menceritakan sedikit perjalanan rubrik cerpen Kompas. Cerpen yang pertama kali dimuat Kompas itu sekitar tahun 1967, berbahasa Jawa dan diambil dari sebuah majalah, bukan dikirim langsung ke Kompas. Judulnya Saidjah. Baru pada tahun 1978, Kompas memuat cerpen berbahasa Indonesia. Sejak itu pula Kompas secara rutin memuat cerpen per minggu.
Bli Can juga memberi data seberapa banyak Kompas menerima kiriman cerpen per harinya. Pada tahun 2011, sehari Kompas bisa menerima 8-9 cerpen. Berarti seminggu ada 56-63 cerpen. Dan yang dimuat hanya 1 cerpen. Pada tahun 2012 melonjak jadi 12-13 cerpen per hari, 84-91 cerpen per minggu. Dimuat tetap 1 cerpen.
Untuk data 2013 masih rata-rata 12-13 cerpen per hari sampai Oktober 2013. Akan tetapi pada bulan November 2013 menjadi bulan terparah, Kompas menerima cerpen sebanyak 17-18 cerpen per hari. Artinya ada 119-126 cerpen per minggu dan dimuat tetap 1 cerpen. Kondisi inilah yang membuat antrian cerpen di Kompas semakin panjang, yang dulu 1-2 bulan sudah bisa diputuskan cocok/tidak untuk dimuat. Sekarang bisa jadi 3-4 bulan.
Setelah Bli Can memberi gambaran sedikit tentang kondisi dapur Kompas. Giliran Ibu Myrna Ratna yang memberi sambutan. Bagi yang mengirim cerpen ke Kompas 2-3 tahun belakangan, pasti kenal dengan nama beliau. Karena nama beliau selalu tercantum di akhir surat pengembalian cerpen yang tidak cocok untuk Kompas. Saya sampai hapal karena sering dapat surat ini. Hahahahaha…
Ibu Myrna merasa sangat senang dengan acara #NgopiCerpenis ini, beliau dan tim Kompas Minggu berharap menerima masukan berupa kritik, saran, usul, dan boleh unek-unek dari teman-teman yang datang, agar beliau dan tim Kompas Minggu bisa membuat rubrik cerpen Kompas ini jadi lebih baik di masa akan datang.
Sesi “curhat” dimulai dari Pak Yanusa Nugroho. Prolog beliau cukup menarik, tentang perkembangan sastra Indonesia yang jauh lebih baik tinimbang negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei. Akan tetapi kesejahteraan sastrawan jauh lebih baik di negara-negara tersebut daripada di Indonesia.
Saat Bli Can memperlihatkan data dari tim Kompas Minggu tentang betapa repot dan kelabakannya mereka menyaring cerpen-cerpen yang masuk di Kompas Minggu, Pak Yanusa mengusulkan –tepatnya mengulang usulan dari Pak Danarto pada Pak Bre beberapa tahun lalu; bagaimana jika Kompas mengambil redaktur tamu untuk membantu tim redaksi dalam menyeleksi naskah-naskah cerpen yang masuk? Tentu redaktur tamu ini adalah orang yang benar-benar paham dengan sastra. Diharapkan adanya redaktur tamu akan meringankan pekerjaan para tim Kompas Minggu.
Bli Can mengatakan, itu usul yang bagus. Tentu beliau dan teman-teman di Kompas Minggu sangat senang dengan usul yang bisa meringankan pekerjaan mereka. Akan tetapi Bli Can dan teman-teman Kompas Minggu tidak bisa langsung mengiyakan usul ini. Karena usul seperti ini harus diajukan dulu di rapat redaksi dan tentu saja harus mendapat persetujuan atasan.
Selain usul editor tamu, Pak Yanusa juga memberi usul agar Kompas Minggu membuka halaman untuk remaja, selain dewasa dan anak yang sudah ada. Menurut beliau, potensi pembaca remaja cukup bagus. Tujuan rubrik ini agar penulis yang masih remaja bisa belajar menulis sastra dengan lebih baik.
Oya, selain usul itu. Pak Yanusa juga mengusulkan, akan lebih baik jika Kompas Minggu tidak hanya memuat 1 cerpen per minggu, melainkan 2 cerpen. Dan usul beliau yang diaminkan semua peserta #NgopiCerpenis adalah honor cerpen dinaikan, kalau bisa 2x lipat, tentu penulis tidak menolak. Mendengar ini Bli Can dan tim Kompas Minggu tertawa. Semoga tawa itu tanda iya. :D
Setelah Pak Yanusa selesai mengeluarkan unek-uneknya, Pak Martin Aleida yang mengambil kesempatan untuk bicara.
Pak Martin merasa sangat senang karena 1-2 tahun belakangan ini, Kompas Minggu banyak sekali memunculkan penulis muda (baru). Itu artinya Kompas Minggu secara sadar telah melakukan regenerasi. Akan tetapi ada sedikit kritik yang Pak Martin sampaikan.
Menurut beliau, Kompas Minggu harus bisa memberikan sesuatu yang mendidik bagi penulis senior atau pun baru. Maksud beliau seperti ini, Pak Martin merasa kualitas beberapa cerpen dari penulis senior yang dimuat Kompas, tidak mencerminkan “nama besar” penulis itu. Harusnya Kompas punya patokan untuk nama-nama maestro. Misal Martin Aleida atau Yanusa Nugroho, jika “nilai” cerpen yang dikirim kedua nama itu tak sesuai dengan karya-karya mereka selama ini, atau lebih baik dari itu. Kompas jangan memuatnya.
Jadi ada sesuatu yang mendidik di sana. Mendidik penulis besar dan muda juga untuk berkarya lebih baik, bukan hanya tentang nama besar. Okelah jika penulis muda dan nama baru yang diterbitkan, lalu pembaca merasa kecewa dengan kualitasnya. Itu masih bisa dimaklumi, kata Pak Martin.
Bli Can memberi tanggapan untuk kritik yang ini. Menurut Bli Can, beliau dan tim Kompas Minggu sudah melakukan hal itu. Ada beberapa penulis besar yang karyanya Kompas Minggu tolak karena tak memenuhi standar yang ditetapkan, terlebih standar nama besar tadi.
Namun apabila pembaca menilai masih ada yang lolos dan kualitasnya tak sesuai dengan nama besar penulis tersebut. Mungkin ada perbedaan dalam melihat teks cerpen itu. Ada beberapa penulis senior yang memunculkan gaya baru atau hal-hal yang di luar dari gaya, tema, dsb yang selama ini melekat pada penulis tersebut, semisal yang biasanya menggarap tema-tema tubuh perempuan, surealis, dan sebagainya perlahan berubah. Nah Kompas “mengapresiasi” kebaruan yang penulis itu usung.
Di sesi ini, Bli Can jadi curhat beneran –kondisi berbalik, hahaha.
Beliau dan tim Kompas Minggu memang membuka kesempatan yang sangat luas untuk penulis muda. Bahkan beberapa di antara penulis muda yang dimuat cerpennya, Bli Can menghubungi langsung mereka via telepon, diajak ngobrol, dan ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan karyanya yang akan dimuat. Sekalian mengkonfirmasi apakah naskah penulis muda ini asli, bukan jiplakan, belum dimuat media lain, dan sebagainya.
Akhir-akhir ini Kompas Minggu memang berusaha meningkatkan “kewaspadaan” karena beberapa kali kebobolan oleh penulis “nakal”. Tak hanya junior yang nakal tetapi ada juga senior. Ketika tim Kompas Minggu mengkonfirmasi, apakah cerpennya belum dimuat di media lain? Jawabannya pasti belum. Tetapi ternyata ketika dimuat, cerpen itu juga muncul di media lain, atau bahkan sudah muncul tapi tidak mengaku.
Untuk cerpenis-cerpenis “nakal” ini, Kompas Minggu sedikit memberi “label” pada namanya. Artinya tim Kompas Minggu akan sangat hati-hati dalam mengapresiasi karyanya. Bahkan beberapa nama yang menurut tim Kompas Minggu sudah sangat “nakal”, dengan sangat terpaksa “tidak mendapat ampunan” lagi. Kok jadi sedkit “serem” ya curhat bagian ini?
Selain tentang kualitas cerpen senior-junior, Pak Martin juga mengkritik Kompas Minggu yang membatasi karakter cerpen. Sekarang karakter cerpen Kompas Minggu hanya 10.000 karakter dengan spasi. Sementara ilustrasi cerpen mengambil ruang lebih besar sekarang. Menurut Pak Martin, sebenarnya ini hanya masalah tata letak. Kompas Minggu masih bisa memuat cerpen yang lebih panjang dari 10.000 karakter dengan spasi itu.
Kesan beliau sebagai cerpenis, Kompas Minggu sekarang menomor-satukan ilustrasi tinimbang cerpen itu sendiri.
Mendengar “keluhan” Pak Martin itu, Bli Can menjelaskan jika ada perubahan tren dan gaya dalam media cetak sekarang. Salah satunya pembatasan jumlah karakter suatu rubrik dan menampilkan visual yang lebih besar. Tak hanya rubrik cerpen Kompas yang mengalami pemangkasan karakter ini tetapi rubrik-rubrik lainnya.
♦♦♦
Sesi curhat berlanjut. Pak K. Usman yang datang dari Depok dan berasal dari Sumatra Selatan, sama dengan saya. Wong kito galo. Ikut curhat juga. Beliau mempertanyakan; kenapa Kompas Minggu sekarang senang sekali “menyiksa” cerpenis? Kata “menyiksa” memang beliau ucapkan. Frasa ini langsung mengundang gelak tawa di ruang rapat depan, lantai 3, Kompas.
Menurut Pak K. Usman, beliau tersiksa gara-gara cerpennya yang dikirim sejak 2010, 3 tahun lalu, tak mendapat kabar apa pun dari Kompas. Cocok atau tidak untuk dimuat. Tak hanya yang di tahun 2010, cerpen beliau yang dikirim ke Kompas sekitar April-Mei 2013, sekitar 7-8 bulan lalu, juga tidak mendapat kabar apa pun.
Beliau tidak mengharapkan Kompas Minggu mengistimewakan beliau dan para senior lainnya. Akan tetapi, Kompas Minggu harus bersikap “manis” seperti dulu. Memberi kabar pada penulis tentang nasib cerpennya. Dan janganlah terlalu lama. Sebisa mungkin hanya dalam waktu 1-3 bulan saja.
Bli Can melalui kesempatan ini meminta maaf pada Pak K. Usman dan juga teman-teman jika merasa sudah “disiksa” Kompas Minggu. Menurut Bli Can, belakangan terjadi masalah pada komputer dan database Kompas Minggu, termasuk database tentang cerpen ini dan sudah berusaha diperbaiki oleh bagian IT. Masalah itu adalah munculnya cerpen-cerpen lama yang dikirim penulis pada tahun 2010-2012 dan bercampur baur dengan kiriman 2013. Padahal cerpen-cerpen lawas itu sudah dikembalikan pada penulis. Karena masalah inilah terjadi hambatan dalam mendata dan menyeleksi cerpen-cerpen di tahun 2013.
Tentu saja Bli Can dan tim Kompas Minggu harus bekerja ekstra memisahkan cerpen-cerpen 3 tahun lalu yang tercampur itu. Dan ini bukan pekerjaan mudah serta singkat, terlebih pekerjaan harian di Kompas juga menunggu. Semoga saja masalah ini bisa segera diatasi.
Nah setelah Pak K. Usman, akhirnya saya mendapat giliran juga untuk menyampaikan beberapa unek-unek ke Kompas Minggu. Sebelum hadir di acara #NgopiCerpenis ini, saya sudah memposting status di grup Sastra Minggu yang ada di Facebook. Selama ini banyak sekali teman yang mengeluh di sana tentang beberapa media, salah satunya Kompas. Ini kesempatan bagus untuk menyampaikan keluhan tersebut. Sebab tim Kompas Minggu kemungkinan besar tidak pernah membaca keluhan di grup itu. Jadi ini waktunya untuk menyampaikan secara langsung.
Unek-unek pertama yang diminta teman-teman adalah Kompas Minggu kembali mengirim email pengembalian jika cerpen tidak cocok untuk Kompas. Memang sejak Maret 2013 silam, Ibu Myrna Ratna tidak mengirimkan email pengembalian lagi. Hal ini tentu membuat penulis bertanya-tanya akan nasib cerpennya. Biasanya 4-5 bulan setelah dikirim, Ibu Myrna Ratna sudah mengembalikan cerpen yang kurang cocok.
Saya dan teman-teman di luar Kompas, tentu tidak tahu jika ada masalah pada database cerpen seperti yang Bli Can ceritakan tadi.
Setelah mengetahui masalah itu, saya menyarankan pada Bli Can dan tim Kompas Minggu, agar kembali mengirimkan email pengembalian pada cerpen yang tidak cocok untuk Kompas, jika sistem komputer Kompas sudah pulih. Atau jika mengirim email terlalu menyita waktu dan tenaga, sementara pekerjaan tim Kompas juga banyak. Belum lagi antrian naskah semakin panjang, sementara SDM tidak bertambah, hanya itu-itu saja –tanpa redaktur tamu tadi atau tanpa tambahan pekerja.
Akan lebih baik jika Kompas Minggu memberi batasan waktu yang tegas. Misal, di rubrik cerpen Kompas edisi cetak, redaksi memberi pengumuman: Cerpen yang tidak dimuat setelah 4 bulan sejak dikirim ke Kompas Minggu, cerpen kembali pada pengarangnya.
Artinya penulis diminta aktif sendiri untuk mengontrol karyanya yang sudah dikirim ke Kompas Minggu. Tim Kompas Minggu pun tak perlu repot-repot lagi untuk mengirim email pengembalian. Tentu ini akan menghemat waktu dan tenaga.
Mendengar usulan saya ini, Bli Can mengatakan, beliau dan tim Kompas Minggu akan membicarakannya nanti. Mungkin saja bisa diterima.
Setelah saya, Uda Damhuri Muhammad pun mendapat kesempatan “curhat”. Kok jadi berasa kayak acara “Mama Dedeh” ya. Ma, curhat dong… :D
Saya dan teman-teman yang hadir di acara #NgopiCerpenis baru tahu jika Uda Damhuri perlu waktu 11 tahun untuk “nembus” Kompas. Asli. Saya melongo mendengarnya. Salut! Saya memang tidak pernah tahu perjalanan proses kreatif beliau. Sebab Uda Damhuri yang saya kenal adalah penulis yang cerpennya di mana-mana, termasuk Kompas, dan masuk cerpen pilihan Kompas. Jadi nggak tahu sama sekali proses panjang itu. Gara-gara sesi ini juga, Pak Martin, Pak Yanusa, Pak K. Usman jadi teringat kalau mereka sudah menulis di Kompas tahun 70-80-an. Alamak, saya belum lahir! :D
Ada pergeseran yang sangat besar di kalangan penulis muda sekarang, kata Uda Damhuri. Kebanyakan penulis muda sekarang mengejar kuantitas, bukan kualitas. Bahkan di sosial media ada semacam “kompetisi” banyak-banyakan siapa yang dimuat. Siapa yang paling rajin nongol di media, dan sebagainya. Lalu dirayakan dengan berlebihan. Ini memprihatinkan, ujar Uda Damhuri. Fenomena ini membuat karya-karya yang dihasilkan penulis muda seperti karya “pabrik”. Kedalaman makna dan elemen-elemen cerita menjadi sangat merosot.
Mendengar curhat Uda Damhuri ini, Daeng Khrisna akhirnya ikutan “curhat” juga. Tetapi karena kemarin itu beliau lebih banyak jadi “komedian”, saya sampai lupa beliau curhat dan cerita apa. Jadi terpaksa tidak bisa saya tuliskan di blog ini. Hahahahaha…
Sesi curhat kembali berlanjut sampai pukul 15.30 WIB. Masing-masing peserta mengeluarkan pendapat, saran, dan sebagainya. Termasuk Kak Ana yang suka dengan ilustrasi cerpen Kompas dan keberatan kalau ilustrasi dihilangkan, Feby, Anggun, Rai, Mbak Komang, Mbak Widya, Langit, Ade, Uda Melvi, dan lain-lain juga memberikan suaranya.
Eh, sebentar. Kayaknya Uda Melvi nggak kasih saran apa-apa deh. Beliau datang telat, terus makan siang, eh pulang duluan dengan alasan ada kerjaan lain. Berarti beliau nggak nyumbang saran tapi nyumbang perut buat makan. Hahahahaha… Sayang Aisha nggak diajak ya, Da. Pengin cubit saya :D
Apa lagi ya obrolan kemarin? Terlalu banyak. Jadi saya agak lupa. Tulisan blog ini juga sudah kepanjangan.
Oya, satu lagi. Pada Juni 2014 nanti, di acara Cerpen Pilihan Kompas 2013, Kompas Minggu berencana kembali membuka workshop cerpen seperti yang sudah dilakukan pada tahun 2012 silam. Salah satu alumninya, Anggun Prameswari, akhirnya bisa dimuat Kompas Minggu di tahun 2013. Sayangnya peserta yang lain belum terlihat.
Kabar dari Bli Can dan tim Kompas Minggu yang mengatakan akan kembali membuka workshop cerpen itu cukup menggembirakan. Ini kesempatan bagi teman-teman penulis muda untuk menimba ilmu dan mengenal Kompas Minggu lebih dekat lagi.
Jadi bersiap-siap saja untuk mengikutinya seleksinya. Sebagai gambaran, di tahun 2012, peserta diminta mengirimkan contoh cerpen dan CV. Perlu diketahui, pada 2012 itu, Kompas Minggu TIDAK menyediakan akomodasi dan transportasi untuk seluruh peserta. Jadi kalau kamu di luar Jabodetebak, tapi ingin sekali ikut seleksi, kamu harus memikirkan bagian ini juga. Di 2012 ada kok yang datang dari Jogja. Kalau memang niat belajar, semua penghalang pasti akan dihilangkan.
Seperti ucapan Pak Martin Aleida yang sangat menginspirasi kemarin itu, “kalau sampai sekarang cerpenmu belum juga dimuat Kompas Minggu. Itu artinya kamu belum segigih orang-orang yang sudah dimuat.”
Selamat menulis, selamat berkarya. [GA]

Tidak ada komentar :

Posting Komentar