Gadis cantik itu duduk tepat di hadapanku. Duduk di sampingnya, seorang laki-laki. Tatapannya penuh cinta pada si gadis. Semoga akan tetap seperti itu, bisikku dalam hati.
Hening. Hanya kami bertiga.
“Apakah cinta itu? Lalu apakah pernikahan itu?” si gadis buka suara.
Kutatap gadis itu lekat. Ternyata aku begitu menyayanginya. Aku mengerjap, menahan mataku yang tiba-tiba memanas.
Aku terdiam. Alih-alih, menanggapi pertanyaannya, kuraih selembar kertas yang terlipat rapi di dompetku. Sudah lusuh, batinku. Kubacakan isinya untuk mereka.
“Apakah cinta itu?” Plato bertanya.
Gurunya menjawab:
"Masuklah ke hutan, pilih dan ambillah satu ranting yang menurutmu paling baik, tetapi engkau harus berjalan ke depan dan jangan kembali ke belakang. Saat kau sudah memutuskan pilihanmu, keluarlah dari hutan dengan ranting itu."
Masuklah Plato ke hutan dan keluar tanpa membawa satu ranting pun. Ketika gurunya bertanya, Plato menjawab, "Saya sebenarnya sudah menemukan ranting yang bagus. tapi saya berpikir barangkali di depan saya ada ranting yang lebih baik. Tetapi setelah saya berjalan ke depan ternyata ranting yang sudah saya tinggalkan tadi-lah yang terbaik. Maka saya keluar dari hutan tanpa membawa apa-apa."
Gurunya berkata, "Itulah cinta."
”Lalu, apakah pernikahan itu?” tanya Plato lagi.
"Masuklah ke hutan, tapi kali ini kau harus membawa satu pohon yang menurutmu paling baik dan bawalah keluar hutan."
Maka masuklah plato ke hutan dan keluar membawa satu pohon yang tidak terlalu tinggi, juga tidak terlalu indah. Gurunya bertanya. Jawab Plato, "Saya bertemu pohon yang indah daunnya, besar batangnya ... tetapi saya tidak bisa memotongnya dan pastilah saya tidak bisa membawanya keluar dari hutan .... akhirnya saya tinggalkan. Kemudian saya menemukan pohon yang tidak terlalu buruk, tidak terlalu tinggi, dan saya pikir saya bisa membawanya karena mungkin saya tidak akan menemukan pohon seperti ini lagi di depan sana. Akhirnya, saya pilih pohon ini karena saya yakin mampu merawatnya dan menjadikannya indah."
Lalu sang guru berkata, "Itulah pernikahan."
Kuelus rambutnya, kurapikan poninya, seperti waktu ia kecil dulu. Kutahan rinduku untuk memeluknya—sesuatu yang “tak disukainya”. Kurengkuh lembut tangannya, “Ketika kamu menikah, kamu tidak mencari yang sempurna, tetapi untuk menjadi sempurna. Dan untuk itu, kamu hanya perlu mencintai, tanpa alasan.”
Duk … duk …. duk …
Ada sesuatu membentur-bentur kepalaku. Kulirik, Franklin dan Lingkungan.
“Mamah …. Mamah ….”
Lho, suara itu.
Kudongakkan kepalaku sedikit.
Lho, wajah itu.
Ternyata ….
ya..itulah cinta dan itulah manusia..
BalasHapusiya ya. Penuh misteri... hehehe :D
BalasHapus