Pertengahan tahun seperti ini dan bahkan bulan-bulan sebelumnya selalu diwarnai dengan kesibukan orangtua dan siswa untuk memilih sekolah dan perguruan tinggi. Yang diincar adalah sekolah dan perguruan tinggi favorit dengan harapan mendapatkan pendidikan dan fasilitas belajar yang terbaik.
Di antara mereka bahkan ada yang mengejar ilmu sampai ke luar negeri. Orangtuanya pun tak segan merogoh kocek karena mahalnya pendidikan di sana. Semua demi merencanakan masa depan yang lebih baik dan menjanjikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji menggiurkan terbentang di depan mata. Atau, sebisa mungkin lulus dengan nilai baik dari universitas terkemuka sehingga menjadi daya tarik bagi perusahaan-perusahaan besar untuk merekrutnya.
Pintar dan Peka
Lalu, bagaimana bila ternyata orang-orang yang dinilai berkualitas secara akademis justru melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak mencerminkan keunggulan yang seharusnya? Misalnya, para pejabat yang korupsi atau para pemuda pelajar yang terlibat berbagai kriminalitas dan penggunaan obat terlarang. Kasus-kasus yang kita baca di media massa atau yang kita saksikan di televisi mengarahkan pada satu anggapan bahwa sikap empati, saling menghargai dan menghormati sudah terkikis oleh keinginan mengedepankan kepentingan diri. Jika demikian, apakah sistem pendidikan kita kecolongan sehingga insan yang seharusnya bisa diandalkan ternyata malah berbuat tidak sepantasnya? Memang tidak semua begitu dan kita tidak bisa memukul rata semuanya. Namun, berbagai kasus yang terjadi cukup menjadi alasan kuat untuk melihat kembali celah yang bisa memungkinkan semua itu.
Sejatinya pendidikan memang mencetak manusia berkualitas unggul, terdidik, dan berkompetensi—sumber daya manusia yang sangat berharga bagi kemajuan bangsa. Banyak manusia berpendidikan yang pintar, berotak encer, dan berprestasi secara akademik, tetapi bagaimana dengan watak dan karakter mereka? Sungguh disayangkan bila kita hanya mengejar dan menonjolkan kemampuan akademis dan mengabaikan pengasahan kemampuan untuk mengelola rasa demi terbentuknya watak dan karakter yang unggul. Sangat disayangkan bila kita menjadi orang pinter, tapi keblinger. Pencapaian akademis memang penting, tetapi pembentukan watak dan karakter jelas tidak bisa diabaikan. Di sinilah pentingnya kita menerapkan pendidikan yang memekarkan rasa—meminjam istilah I Ketut Sumarta.
Artinya, bagaimana kita melatih kepekaan rasa terhadap orang lain dan kondisi di sekitar kita. Semakin peka rasa seseorang, berarti semakin cerdas budinya, maka dorongan untuk berlaku kekerasan pun semakin terkendali; pun sebaliknya (I Ketut Sumarta dalam Membuka Masa Depan Anak-anak Kita, hal. 181). Tentu saja yang dimaksudkan dengan peka rasa di sini bukan hanya basa-basi lahiriah. Bukan pula melulu tentang bagaimana kita bersikap sopan kepada orang lain. Tetapi, bagaimana kita dengan sepenuh hati menaruh peduli pada kepentingan orang lain.
Harapannya, sikap peduli dan menghormati orang lain ini tidak hanya seperti pencapaian akademis yang bisa ditakar dengan angka, tetapi elannya benar-benar berakar dalam diri. Ini bisa menjadi semacam warning system untuk tidak menyakiti orang lain dalam bentuk apa pun. Perlu dipikirkan bersama bagaimana olah rasa ini dapat meresap dalam diri mereka melalui kegiatan belajar dan keseharian mereka. Semua elemen, tidak hanya sekolah, perlu terlibat di dalamnya untuk menjadikan generasi kita generasi yang pinter dan tidak keblinger.
Jika ini berhasil, tidak akan ada insan terdidik yang tega melakukan perbuatan yang tidak mencerminkan keunggulan diri, apalagi merugikan orang lain. Semoga.
*dimuat di majalah Bahana, Juni 2011*
Di antara mereka bahkan ada yang mengejar ilmu sampai ke luar negeri. Orangtuanya pun tak segan merogoh kocek karena mahalnya pendidikan di sana. Semua demi merencanakan masa depan yang lebih baik dan menjanjikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji menggiurkan terbentang di depan mata. Atau, sebisa mungkin lulus dengan nilai baik dari universitas terkemuka sehingga menjadi daya tarik bagi perusahaan-perusahaan besar untuk merekrutnya.
Pintar dan Peka
Lalu, bagaimana bila ternyata orang-orang yang dinilai berkualitas secara akademis justru melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak mencerminkan keunggulan yang seharusnya? Misalnya, para pejabat yang korupsi atau para pemuda pelajar yang terlibat berbagai kriminalitas dan penggunaan obat terlarang. Kasus-kasus yang kita baca di media massa atau yang kita saksikan di televisi mengarahkan pada satu anggapan bahwa sikap empati, saling menghargai dan menghormati sudah terkikis oleh keinginan mengedepankan kepentingan diri. Jika demikian, apakah sistem pendidikan kita kecolongan sehingga insan yang seharusnya bisa diandalkan ternyata malah berbuat tidak sepantasnya? Memang tidak semua begitu dan kita tidak bisa memukul rata semuanya. Namun, berbagai kasus yang terjadi cukup menjadi alasan kuat untuk melihat kembali celah yang bisa memungkinkan semua itu.
Sejatinya pendidikan memang mencetak manusia berkualitas unggul, terdidik, dan berkompetensi—sumber daya manusia yang sangat berharga bagi kemajuan bangsa. Banyak manusia berpendidikan yang pintar, berotak encer, dan berprestasi secara akademik, tetapi bagaimana dengan watak dan karakter mereka? Sungguh disayangkan bila kita hanya mengejar dan menonjolkan kemampuan akademis dan mengabaikan pengasahan kemampuan untuk mengelola rasa demi terbentuknya watak dan karakter yang unggul. Sangat disayangkan bila kita menjadi orang pinter, tapi keblinger. Pencapaian akademis memang penting, tetapi pembentukan watak dan karakter jelas tidak bisa diabaikan. Di sinilah pentingnya kita menerapkan pendidikan yang memekarkan rasa—meminjam istilah I Ketut Sumarta.
Artinya, bagaimana kita melatih kepekaan rasa terhadap orang lain dan kondisi di sekitar kita. Semakin peka rasa seseorang, berarti semakin cerdas budinya, maka dorongan untuk berlaku kekerasan pun semakin terkendali; pun sebaliknya (I Ketut Sumarta dalam Membuka Masa Depan Anak-anak Kita, hal. 181). Tentu saja yang dimaksudkan dengan peka rasa di sini bukan hanya basa-basi lahiriah. Bukan pula melulu tentang bagaimana kita bersikap sopan kepada orang lain. Tetapi, bagaimana kita dengan sepenuh hati menaruh peduli pada kepentingan orang lain.
Harapannya, sikap peduli dan menghormati orang lain ini tidak hanya seperti pencapaian akademis yang bisa ditakar dengan angka, tetapi elannya benar-benar berakar dalam diri. Ini bisa menjadi semacam warning system untuk tidak menyakiti orang lain dalam bentuk apa pun. Perlu dipikirkan bersama bagaimana olah rasa ini dapat meresap dalam diri mereka melalui kegiatan belajar dan keseharian mereka. Semua elemen, tidak hanya sekolah, perlu terlibat di dalamnya untuk menjadikan generasi kita generasi yang pinter dan tidak keblinger.
Jika ini berhasil, tidak akan ada insan terdidik yang tega melakukan perbuatan yang tidak mencerminkan keunggulan diri, apalagi merugikan orang lain. Semoga.
*dimuat di majalah Bahana, Juni 2011*
Tidak ada komentar :
Posting Komentar