Bersabar dalam amarah? Pasti bercanda. Dulu saya pikir sabar dan marah adalah dua hal yang sama sekali tidak berhubungan. Maksudnya, sabar ya sabar. Marah ya marah. Mana bisa marah kok sabar? Prinsip ini ternyata malah membuat saya menuai keadaan yang semakin runyam, suasana hati yang makin tak keruan. Semua yang ada di sekeliling saya semakin karut-marut. Saya sebenarnya tahu, bila orang lain marah kepada saya dan saya ikut marah, kemarahan orang itu akan semakin besar. Membesarnya kemarahan orang itu akan membuat kemarahan saya bertambah. Bertambahnya kemarahan saya membuat kemarahan orang itu memuncak. Runyamlah jadinya. Berkali-kali begini, tapi kok masih saja ikut marah.
Sampai suatu ketika cerita anak-anak menempelak kesadaran saya. Cerita itu tentang monster amarah. Berbeda dengan monster "kebanyakan", monster ini tidak memangsa daging atau darah, apalagi nasi dan roti. Monster ini hanya memangsa kemarahan orang. Setiap kali orang di dekatnya marah, monster itu bertambah besar dan kuat.
Dikisahkan, suatu hari monster itu masuk ke sebuah istana dan membuat ulah yang menyebalkan seluruh penghuni istana. Orang-orang mulai marah, membentak, menghardik, bahkan mengusir siluman itu. Alih-alih pergi, monster itu justru semakin enjoy. Parahnya, monster itu malah semakin besar, kuat, dan mengerikan. Semakin mereka marah, semakin monster itu membesar, dan semakin sulit mereka mengusirnya pergi.
Persis seperti yang saya alami. Semakin saya marah, kemarahan itu terasa semakin dalam bercokol dalam hati. Pikiran-pikiran buruk mulai bermunculan. Perkataan tak menyenangkan tak jarang menyusul meluncur. Runyam, runyam, runyam.
Namun, di tengah karut marut suasana istana akibat kehadiran monster itu, sang raja tetap tenang. Di hadapan monster mengerikan itu raja berkata, "Selamat datang. Apakah pelayan-pelayan saya sudah menjamu makanan dan minuman enak untukmu?"
Ajaib! Ucapan lembut dan sikap baik raja itu membuat monster itu menyusut. Para pelayan yang tadinya garang berubah menjadi lembut. Perlakuan baik dari para pelayan semakin membuat tubuh monster itu menyusut. Semakin banyak ucapan lembut dan perlakukan baik yang diterimanya membuat tubuh monster itu kian menyusut, menyusut, dan menyusut. Ukurannya telah menjadi sangat kecil, nyaris tak terlihat. Satu lagi perkataan baik diterimanya, monster itu sudah lenyap tak berbekas.
Bersikap baik kepada orang, apalagi kepada orang yang sudah membuat kita sakit, repot, dan sedih, pasti sangat sulit. Marah sepertinya adalah satu-satunya cara untuk menghadapinya. Namun, ketika ternyata keadaan menjadi lebih rumit, masihkah marah menjadi alternatif terbaik? Saya rasa tidak.
Saya sudah mempraktikkan cara raja itu menghadapi monster amarah itu. Awalnya sangat sulit. Tapi sulit bukan berarti tidak bisa diatasi. Ketika monster amarah datang, saya sudah mempersiapkan amunisi terbaik: sikap dan perkataan yang baik. Dan, bim salabim ... saya tidak hanya bisa mengatasi keadaan itu, saya malah lupa bahwa saya sedang "seharusnya" marah.
Sampai hari ini saya masih belajar untuk menjadi tuan rumah yang baik setiap kali monster itu datang. Kemarahan tidak pernah muncul tanpa alasan, tetapi alasannya hampir tidak pernah benar. Artinya, tidak ada alasan yang bisa membenarkan bahwa saya berhak marah. Ingin sekali bisa sampai pada tahap itu: "kenapa harus marah?"
Sampai suatu ketika cerita anak-anak menempelak kesadaran saya. Cerita itu tentang monster amarah. Berbeda dengan monster "kebanyakan", monster ini tidak memangsa daging atau darah, apalagi nasi dan roti. Monster ini hanya memangsa kemarahan orang. Setiap kali orang di dekatnya marah, monster itu bertambah besar dan kuat.
Dikisahkan, suatu hari monster itu masuk ke sebuah istana dan membuat ulah yang menyebalkan seluruh penghuni istana. Orang-orang mulai marah, membentak, menghardik, bahkan mengusir siluman itu. Alih-alih pergi, monster itu justru semakin enjoy. Parahnya, monster itu malah semakin besar, kuat, dan mengerikan. Semakin mereka marah, semakin monster itu membesar, dan semakin sulit mereka mengusirnya pergi.
Persis seperti yang saya alami. Semakin saya marah, kemarahan itu terasa semakin dalam bercokol dalam hati. Pikiran-pikiran buruk mulai bermunculan. Perkataan tak menyenangkan tak jarang menyusul meluncur. Runyam, runyam, runyam.
Namun, di tengah karut marut suasana istana akibat kehadiran monster itu, sang raja tetap tenang. Di hadapan monster mengerikan itu raja berkata, "Selamat datang. Apakah pelayan-pelayan saya sudah menjamu makanan dan minuman enak untukmu?"
Ajaib! Ucapan lembut dan sikap baik raja itu membuat monster itu menyusut. Para pelayan yang tadinya garang berubah menjadi lembut. Perlakuan baik dari para pelayan semakin membuat tubuh monster itu menyusut. Semakin banyak ucapan lembut dan perlakukan baik yang diterimanya membuat tubuh monster itu kian menyusut, menyusut, dan menyusut. Ukurannya telah menjadi sangat kecil, nyaris tak terlihat. Satu lagi perkataan baik diterimanya, monster itu sudah lenyap tak berbekas.
Bersikap baik kepada orang, apalagi kepada orang yang sudah membuat kita sakit, repot, dan sedih, pasti sangat sulit. Marah sepertinya adalah satu-satunya cara untuk menghadapinya. Namun, ketika ternyata keadaan menjadi lebih rumit, masihkah marah menjadi alternatif terbaik? Saya rasa tidak.
Saya sudah mempraktikkan cara raja itu menghadapi monster amarah itu. Awalnya sangat sulit. Tapi sulit bukan berarti tidak bisa diatasi. Ketika monster amarah datang, saya sudah mempersiapkan amunisi terbaik: sikap dan perkataan yang baik. Dan, bim salabim ... saya tidak hanya bisa mengatasi keadaan itu, saya malah lupa bahwa saya sedang "seharusnya" marah.
Sampai hari ini saya masih belajar untuk menjadi tuan rumah yang baik setiap kali monster itu datang. Kemarahan tidak pernah muncul tanpa alasan, tetapi alasannya hampir tidak pernah benar. Artinya, tidak ada alasan yang bisa membenarkan bahwa saya berhak marah. Ingin sekali bisa sampai pada tahap itu: "kenapa harus marah?"
Tidak ada komentar :
Posting Komentar