Kamis, 29 Januari 2015

Beda Kepala, Beda Antena

#manusia yang terbuat dari semangat

Saya suka memakai analogi antena untuk menggambarkan sebuah pemikiran. Bahkan untuk menghindari konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi hanya karena beda paham atau beda maksud, saya suka mengatakan, "Ah, antena kita berbeda." Lalu, saya akan tertawa untuk menenangkan perasaan sendiri.

Beda kepala, beda pemikiran. Itu biasa. Apa yang kita pikirkan saja bisa berbeda dengan apa yang kemudian kita ucapkan, padahal kepala dan mulut berada dalam satu teritorial yang dekat, satu tubuh pula. Jadi, bisa dimaklumi apabila maksud perkataan kita sering kali ditangkap berbeda oleh orang yang mendengarkan. Tidak perlu terlalu sensitif.

Mungkin ada orang-orang yang memang berpembawaan “menerima secara berbeda perkataan orang lain”. Itulah dinamika dalam hubungan dengan orang lain. Namun, kita tidak perlu juga cepat-cepat menghakimi bahwa mereka tidak memahami maksud kita. Bisa jadi penyampaian kita memang rawan multi tafsir. Lagi pula, jika kita terlalu sibuk menghakimi, kita tidak punya waktu untuk mencintai mereka. #tzzaahhhh ….

Kita juga tidak perlu selalu “menyamakan antena” hanya karena kita “malas” mendengar komentar-komentar yang muncul kemudian yang ternyata tidak sesuai dengan maksud kita. Apalagi, kita lalu memilih bungkam dan menjauh.

Seandainya momen “beda kepala, beda antena” itu memang membuat kita resah, anggap saja kita bertemu manusia-manusia cerdas yang membuat kita bertambah ilmu dalam hal cara bicara atau cara berkomunikasi dengan orang lain. Itu pilihan yang, jika diambil dengan penuh kesadaran dan bukan sekadar karena mutung”, akan mengasah kedewasaan.

Semangaat.

2 komentar :

  1. Tiada komen selain ... setuju dengan pendapatmu, Bu! Beda antena, oke.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihi, seperti yg dina bilang, beda antena pun masih bisa nonton acara yg sama. Seru pulak. :D

      Hapus