Sabtu, 18 Januari 2014

Pari Uli


Langkahku terhenti di depan pasrean[1]. Patung loro blonyo[2] menawan pandanganku dan seketika sebaris kenangan menguat di ruang hati yang kurasakan mulai membeku. Tanganku baru setengah terulur, hendak menyentuh sejumput padi yang teronggok di dekat situ ketika ponsel di sakuku bergetar. Pesan dari Biworo muncul di layar. Setelah membacanya singkat, aku berbalik, menggegaskan langkah melewati pringgitan dan pendhopo, dan kemudian berlari keluar.
Bekerja dan hidup di kota besar serta melekat dengan semua modernitas tak mengubah kecintaanku pada rumah Mbah Kakung ini. Rumah yang cukup besar untuk menyimpan segala sesuatu, termasuk menampung segenap kenangan. Tidak seperti rumah-rumah di sekitarnya, rumah ini masih kuat mempertahankan struktur rumah Jawa tradisional. Tak sekalipun aku menawari Mbah Kakung untuk merenovasinya; sudah pasti ditolak. Semuanya masih seperti dulu, mulai dari pendopo hingga ke senthong, bahkan gandhok dan pawon.
Loro blonyo yang selalu memikatku bisa menunggu. Saat ini aku ingin sekali bertemu Biworo. Dia adalah sahabat kecilku. Bisa dikatakan rumah Mbah Kakung juga sudah seperti rumahnya. Mbah Kakung dan Mbah Putri almarhum tidak pernah menganggap Biworo sebagai orang lain. Dia sama sepertiku, cucunya. Enam tahun lalu, Biworo menikah dan sekarang memiliki dua anak laki-laki. Dan aku masih sendiri sampai sekarang. Kami berdua bekerja di kota besar yang berbeda, hampir tidak pernah bertemu. Komunikasi hanya lewat SMS atau chatting. Dan mudik bersamaan seperti sekarang amat langka terjadi.
Aku mempercepat langkahku menyusuri jalan tanah di depan rumah Mbah Kakung. Menyusurinya hingga ke ujung desa dan mendapati Biworo sedang duduk di pematang beralas rumput. Kutepuk punggungnya dan setengah memeluknya.
“Jadi, kaukhianati sumpahmu sendiri untuk tidak membiarkan sehelai rambut pun tumbuh di bawah hidungmu?” sambutku sambil meletakkan pantat di sebelahnya.
“Dan kamu sendiri? Kapan kaupensiunkan topi bulukmu itu?”
Tawa kami meruap. Rasanya sudah lama sekali tidak mengobrol di tepi sawah seperti ini. Obrolan ngalor ngidul pun terjadi. Mulai dari sepak bola, makanan, anak, pekerjaan, sampai warung mie ayam di pinggir desa yang telah berubah menjadi kios fotokopi.
“Pari Uli,” kata Biworo tiba-tiba, memutus ceritanya tentang promosi jabatannya.
Kuikuti arah tatapannya. Berjarak lima petak sawah dari tempat kami duduk, aku melihat Mbah Rukti Putri berjalan di pematang. Kutudungkan tanganku di atas mata untuk menghalau silau dari matahari sore. Di belakang Mbah Rukti Putri, mengekor Pari Uli, cucu perempuannya yang hampir sebaya kami. Sejak kecil, dia selalu setia menemani Mbah Rukti memetik beberapa helai padi terbaik, membantu mengikatnya, lalu menyematnya dengan daun dadap serep, dan membawanya pulang untuk diletakkan di pasrean. Dulu, selalu Mbah Rukti yang memondongnya[3], tetapi kini aku melihat dia membiarkan Pari Uli yang memondongnya pulang.
Pari Uli …. Aku ingat dulu pernah bertanya kepada Mbah Rukti kenapa cucunya diberi nama itu. Menurut Mbah Rukti, pari uli sebenarnya adalah sebutan untuk seberkas padi yang biasa dipetiknya menjelang panen—berkas padi terbaik. Nama Pari Uli diambil dari situ. Sawah yang mengelilingi di desa ini sebenarnya masih banyak dan luas, tetapi sebagian besar tidak dikerjakan sendiri. Kebanyakan disewakan. Jadi, memetik pari uli menjelang panen bisa dikatakan hampir punah di sini. Tinggal Mbah Rukti Putri dan Mbok Imah, rewang[4] di rumah Mbah Kakung semenjak Mbah Putri meninggal, yang masih melakukannya.
 “Kamu masih mengharapkannya?” pertanyaan Biworo menarikku dari angan masa kecil.
“Siapa?”
“Sudahlah. Kita bukan lagi bocah kecil yang berebut nasi megono dan ingkung ayam.”
Aku memandang Biworo dalam kebisuan.
“Kalian bisa menjadi pasangan Sri dan Sedhana, seperti impianmu.”
 “Aku tidak akan menikahi wanita yang menyimpan hatinya untuk laki-laki lain.”
Kupandang Biworo tajam, tetapi dia melengos.
Itu lagi alasanmu. Aku sudah menikah. Dan apa kamu lupa kalau laki-laki bejat yang kupanggil ayah itu orang yang sama dengan orang yang menghamili Buni?” Aku menghela napas berat. Buni adalah anak Mbah Rukti, ibu Pari Uli. Nama sebenarnya adalah Lani, tetapi kami akrab memanggilnya Buni, kependekan dari Bu Lani. Yah, aku ingat lembar kelam dalam kehidupan sahabatku itu. Dia harus berhadapan dengan ketidaksetiaan ayahnya. Aku memahami kegetirannya karena itu artinya dia harus memendam rasa untuk perempuan yang ternyata adiknya.
Tapi itu tidak menghentikan perasaan Pari Uli padamu. Hatinya tetap memilihmu. Hatimu juga tetap memilihnya.”
Mengetahui hal itu sudah cukup bagiku,” kepedihan terselip di antara kata-katanya. “Bagaimana perasaanku itu sudah tidak penting sekarang. Perasaanmu lebih penting. Kamu tidak menyerah, kan?”
“Lelaki mana yang tidak mau mengikuti kata hatinya sampai berakhirnya bumi untuk menghirup manisnya napas kekasihnya, merasakan sentuhan lembut tangannya, dan merasakan bahagia ketika mendengar nyanyian suaranya?”[5]
“Ha ha ha … kamu masih gandrung pada penyair itu?”
Ledakan tawa Biworo sedikit melelehkan ketegangan dan kemurungan yang tiba-tiba merayapi.
“Kamu masih ingat apa yang dikatakan penyair pujaanmu itu? Kehidupan memiliki dua sisi: yang satu sabar dan yang lain menyala. Dan ....”
“Dan cinta berada di sisi yang menyala,” aku menyambung cepat.
Kupandang sahabatku itu. Mungkin benar yang sering kudengar bahwa kita paling banyak belajar dari kepedihan. Dia jelas telah banyak berubah semenjak ia menelan kegetiran dengan ketololannya memerkosa gadis yang sangat mencintainya yang sekarang menjadi ibu dari kedua anaknya. Orang yang dicintai mempunyai lebih banyak cinta untuk diberikan. Orang yang duduk di sampingku adalah buktinya.
Senja sudah separuh membungkus desa dengan jingganya. Dan aku memantapkan hati bahwa berkas padi terbaik memang layak dipilih, seperti Pari Uli. Meskipun hanya itu pilihannya.


[1]  Ruangan di tengah rumah tradisional Jawa yang dikhususkan untuk menghormati Dewi Sri.

[2]  Sepasang patung laki-laki dan perempuan yang duduk bersila mengenakan kostum Jawa tradisional; melambangkan sepasang mempelai. Juga diartikan sebagai perwujudan Dewi Sri dan Raden Sedhana.

[3]  Menggendong dengan selendang seperti menggendong bayi.

[4]  Orang yang membantu membereskan semua pekerjaan rumah.


[5]  Kahlil Gibran, Orang-orang Tercinta.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar