Langkahku terhenti di depan pasrean[1].
Patung loro blonyo[2]
menawan pandanganku dan seketika sebaris kenangan menguat di ruang hati yang
kurasakan mulai membeku. Tanganku
baru setengah terulur, hendak menyentuh sejumput padi yang teronggok di dekat
situ ketika ponsel di sakuku bergetar. Pesan dari Biworo muncul di layar. Setelah
membacanya singkat, aku berbalik, menggegaskan langkah melewati pringgitan dan pendhopo, dan kemudian berlari keluar.
Bekerja
dan hidup di kota besar serta melekat dengan
semua modernitas tak mengubah kecintaanku pada rumah Mbah Kakung ini. Rumah yang cukup besar untuk menyimpan
segala sesuatu, termasuk menampung segenap kenangan. Tidak seperti rumah-rumah
di sekitarnya, rumah ini
masih kuat mempertahankan struktur rumah Jawa tradisional. Tak sekalipun aku
menawari Mbah Kakung untuk merenovasinya; sudah pasti
ditolak. Semuanya masih seperti dulu, mulai dari pendopo hingga ke senthong,
bahkan gandhok dan pawon.
Loro blonyo yang selalu
memikatku bisa menunggu. Saat
ini aku ingin sekali bertemu Biworo. Dia adalah sahabat kecilku. Bisa dikatakan
rumah Mbah Kakung juga sudah seperti rumahnya. Mbah Kakung dan Mbah Putri
almarhum tidak pernah menganggap Biworo sebagai orang lain. Dia sama sepertiku,
cucunya. Enam tahun lalu, Biworo menikah dan sekarang memiliki dua anak
laki-laki. Dan aku masih sendiri sampai sekarang. Kami berdua
bekerja di kota besar yang berbeda, hampir tidak pernah bertemu. Komunikasi
hanya lewat SMS atau chatting. Dan mudik bersamaan
seperti sekarang amat langka
terjadi.
Aku
mempercepat langkahku menyusuri jalan tanah di depan rumah Mbah Kakung.
Menyusurinya hingga ke ujung desa dan mendapati Biworo sedang duduk di pematang
beralas rumput. Kutepuk punggungnya
dan setengah memeluknya.
“Jadi, kaukhianati sumpahmu sendiri untuk tidak
membiarkan sehelai rambut pun tumbuh di bawah hidungmu?” sambutku sambil
meletakkan pantat di sebelahnya.
“Dan kamu
sendiri? Kapan kaupensiunkan topi bulukmu itu?”
Tawa kami meruap.
Rasanya sudah lama
sekali tidak mengobrol di tepi sawah seperti ini. Obrolan ngalor ngidul pun terjadi.
Mulai dari sepak bola, makanan, anak,
pekerjaan, sampai
warung mie ayam di pinggir desa yang telah berubah menjadi kios fotokopi.
“Pari
Uli,” kata Biworo tiba-tiba, memutus ceritanya tentang promosi jabatannya.
Kuikuti
arah tatapannya. Berjarak lima
petak sawah dari tempat kami duduk, aku melihat Mbah Rukti Putri berjalan di pematang. Kutudungkan
tanganku di atas mata untuk menghalau silau dari matahari sore. Di belakang Mbah Rukti Putri, mengekor Pari Uli, cucu perempuannya
yang hampir sebaya kami. Sejak kecil, dia selalu setia menemani Mbah Rukti memetik beberapa helai padi
terbaik, membantu mengikatnya, lalu menyematnya dengan daun dadap serep, dan
membawanya pulang untuk diletakkan di pasrean.
Dulu, selalu Mbah
Rukti yang memondongnya[3],
tetapi kini aku melihat dia membiarkan Pari Uli yang memondongnya pulang.
Pari Uli
…. Aku ingat dulu pernah bertanya kepada Mbah
Rukti kenapa cucunya diberi nama itu. Menurut Mbah Rukti, pari uli sebenarnya adalah sebutan untuk seberkas padi yang biasa dipetiknya
menjelang panen—berkas padi terbaik.
Nama Pari Uli
diambil dari situ. Sawah yang mengelilingi di desa ini sebenarnya masih banyak dan luas, tetapi sebagian
besar tidak dikerjakan sendiri. Kebanyakan disewakan. Jadi, memetik pari uli
menjelang panen bisa
dikatakan hampir punah di sini. Tinggal Mbah Rukti Putri dan Mbok Imah, rewang[4]
di rumah Mbah Kakung semenjak Mbah Putri meninggal, yang masih melakukannya.
“Kamu masih mengharapkannya?” pertanyaan Biworo menarikku dari
angan masa kecil.
“Siapa?”
“Sudahlah.
Kita bukan lagi bocah kecil yang berebut nasi megono dan ingkung ayam.”
Aku
memandang Biworo dalam kebisuan.
“Kalian
bisa menjadi pasangan Sri dan Sedhana, seperti impianmu.”
“Aku tidak akan menikahi wanita yang menyimpan
hatinya untuk laki-laki lain.”
Kupandang
Biworo tajam, tetapi dia melengos.
“Itu lagi alasanmu.
Aku sudah menikah. Dan apa kamu lupa kalau laki-laki bejat yang kupanggil ayah
itu orang yang sama dengan orang yang menghamili Buni?” Aku menghela
napas berat. Buni adalah anak Mbah Rukti, ibu Pari Uli. Nama sebenarnya adalah
Lani, tetapi kami akrab memanggilnya Buni, kependekan dari Bu Lani.
Yah, aku ingat lembar kelam dalam kehidupan sahabatku itu. Dia harus berhadapan
dengan ketidaksetiaan ayahnya. Aku
memahami kegetirannya karena itu artinya dia harus memendam rasa untuk
perempuan yang ternyata adiknya.
“Tapi itu tidak
menghentikan perasaan Pari Uli padamu. Hatinya tetap
memilihmu. Hatimu juga tetap memilihnya.”
“Mengetahui hal itu
sudah cukup bagiku,” kepedihan
terselip di antara kata-katanya.
“Bagaimana
perasaanku itu sudah tidak penting sekarang. Perasaanmu lebih penting. Kamu
tidak menyerah, kan?”
“Lelaki
mana yang tidak mau mengikuti kata hatinya sampai berakhirnya bumi untuk
menghirup manisnya napas kekasihnya, merasakan sentuhan lembut tangannya, dan
merasakan bahagia ketika mendengar nyanyian suaranya?”[5]
“Ha ha ha
… kamu masih gandrung pada penyair itu?”
Ledakan
tawa Biworo sedikit melelehkan ketegangan dan kemurungan yang tiba-tiba merayapi.
“Kamu masih ingat apa yang dikatakan penyair pujaanmu
itu? Kehidupan memiliki dua sisi: yang satu sabar dan yang lain menyala. Dan
....”
“Dan cinta berada di sisi yang menyala,” aku menyambung
cepat.
Kupandang sahabatku itu. Mungkin benar yang sering kudengar bahwa kita paling banyak
belajar dari kepedihan. Dia jelas telah banyak berubah semenjak ia menelan
kegetiran dengan ketololannya memerkosa gadis yang sangat mencintainya yang
sekarang menjadi ibu dari kedua anaknya. Orang yang dicintai mempunyai
lebih banyak cinta untuk diberikan.
Orang yang duduk di sampingku adalah buktinya.
Senja sudah separuh membungkus desa dengan
jingganya. Dan aku memantapkan hati bahwa berkas padi terbaik memang layak dipilih, seperti Pari
Uli. Meskipun hanya itu pilihannya.
[1]
Ruangan di tengah rumah tradisional
Jawa yang dikhususkan untuk menghormati Dewi Sri.
[2] Sepasang patung laki-laki dan perempuan yang
duduk bersila mengenakan kostum Jawa tradisional; melambangkan sepasang
mempelai. Juga diartikan sebagai perwujudan Dewi Sri dan Raden Sedhana.
[3]
Menggendong dengan selendang seperti
menggendong bayi.
[4]
Orang yang membantu membereskan semua
pekerjaan rumah.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar