Jumat, 23 November 2012

Pekerja Bangunan

Dulu waktu SMA, sekolah pernah mengadakan program live in untuk para siswanya. Dalam program itu, para siswa tinggal bersama penduduk di kampung dan ikut bekerja bersama mereka. Ada yang jadi pemulung, pengamen, penyortir kertas, dan lain-lain. Waktu itu, saya dan beberapa teman kejatah menjadi karyawan di sebuah perusahaan konveksi, dan tinggal di gudang sebuah rumah besar.

Tujuannya jelas, supaya para siswa lebih mendalami kehidupan orang lain. Dengan demikian kami bisa lebih menghargai dan menghormati orang lain, lebih tepo saliro.

Kemarin berasa live in untuk yang kedua kali. Di rumah baru ada tukang bangunan karena ada beberapa hal yang perlu dibenahi. Dan acara kemarin adalah ngecor teras. Kata orang, pekerjaan ngecor itu harus sekali jadi, maka perlu beberapa orang supaya pekerjaan itu bisa cepat selesai. Karena kurang orang, jadilah saya menawarkan diri membantu. Hahaha .... *gaya*

Tugas saya adalah menaikkan ember berisi bahan cor (semen, pasir, kerakal, yang sudah dicampur dengan air). Ember demi ember .... Astagaaa beratnyaaa ... Ternyata seperti itu rasanya jadi tukang bangunan. Sungguh besar jasamu mas-mas....

Pegel? Hohoho ... sudah pasti! ^_^
Tapi dapat ilmu. Setidaknya sekarang saya tahu campuran cor yang biasa dipakai para pekerja bangunan, berapa perbandingan antara semen, pasir, dan kerakalnya. Sekarang saya juga tahu bahwa melakukan pekerjaan seperti itu menimbulkan efek lapar yang berbeda. Makanan yang disajikan tidak boleh sembarangan, apalagi sedikit. Hehehe. 

Minggu, 18 November 2012

Cacoethes Scribendi

If all the trees in all the woods were men;
And each and every blade of grass a pen;
If every leaf on every shrub and tree
Turned to a sheet of foolscap; every sea
Were changed to ink, and all earth's living tribes
Had nothing else to do but act as scribes,
And for ten thousand ages, day and night,
The human race should write, and write, and write,
Till all the pens and paper were used up,
And the huge inkstand was an empty cup,
Still would the scribblers clustered round its brink
Call for more pens, more paper, and more ink.

Oliver Wendell Holmes

Senin, 05 November 2012

[Tidak] Suka Nama Sendiri

Siang ini rame-rame ngobrol soal nama. Nama panggilan, nama masa kecil, nama lengkap ... apalagi ya tadi? 

Satu topik yang mencuat adalah "seandainya bisa memilih nama untuk diri sendiri". Bahasa lainnya adalah tidak [begitu] suka nama pemberian orangtua (hehehe). Saya tertohok. Jadi ingat dulu waktu kecil, saya suka banget membayangkan memiliki nama seperti nama orang lain. Entah kenapa, selalu merasa aneh setiap kali mengenalkan diri dengan nama "wiwin". Wew ...

Tapi itu duluuuuuuuu. Setelah semakin matang (baca: berumur, hahaha) dan belajar banyak dari hukum kausalitas terbalik, semuanya berubah. Bukan nama saya yang akan menuturkan kisah tentang saya. Saya yang akan membuat kisah untuk nama saya.

Yeaaa ...

Mestakung

Semesta membaca kesungguhan.
Ketika ada seseorang bersungguh-sungguh dengan upaya baiknya, semesta seolah bersatu padu meluruskan jalan dan menyiapkan kesempatan. Mestakung, semesta mendukung.

Semesta tidak pendendam. 
Ketika ada seseorang bersungguh-sungguh dengan upaya baiknya, semesta tidak memandang ke belakang, apalagi menegaskan kesalahan yang pernah ada.

Tapi di balik itu semua,  ada Penjaga yang mengatur segala sesuatunya.


*ini ditulis sebagai pengingat akan suatu "proyek" yang tertunda dan sedikit terabaikan karena proyek lainnya.
Mestakung di sini tidak sama dengan mestakung yang digagas oleh Prof. Yohanes Suryo. Hanya pinjam istilahnya. ^_^

Jumat, 19 Oktober 2012

Wow Geetttooo




Gambar di atas adalah cuplikan soal UTS SD. Beberapa hari lalu menemukan link tersebut di sebuah blog ketika sedang blogwalking. Respons pertama saya adalah fffiuuuuhhh. Spontan saya membayangkan menjadi murid yang sedang mengerjakan soal itu dan dengan polos menyilang jawaban B. ^_^

Karena ingin tahu respons spontan orang lain, saya share link itu di Facebook. Beberapa acung jempol, beberapa tertawa, dan beberapa melekatkan responsnya. Antara lain:
A: miris ...
B: epic fail!
C: hadehh...
D: beneran tuh?
E: pembuat soalnya alay nih ...
F: pembuat tesnya jangan-jangan punya kerjaan sampingan nulis skenario sinetron.

Sepertinya, benang merahnya adalah prihatin.


Catatan: sumber asli potongan soal itu belum diketahui.

Kamis, 18 Oktober 2012

Siapa yang Minum Kanabis?

Pernah merasa orang lain berubah sikap terhadap kita? Dia bagai habis meminum ramuan kanabis, semua perilakunya berubah. Tak ramah, tak bersapa, ketus. 

Hal yang lumrah dilakukan ketika merasa seperti itu adalah melihat ke dalam diri. Dan pertanyaan yang terselip kemudian adalah, apa yang salah dengan diriku. Pertanyaan meditatif spontan yang [saya pikir] bagus karena itu berarti kita tidak spontan menyalahkan orang lain atas perubahan sikapnya.

Melihat ke dalam. Perubahan sikap orang lain bisa menjadi early warning system untuk melihat ke dalam diri, adakah perubahan yang tidak kita rasakan, tetapi sebenarnya terpancar keluar dan tertangkap oleh orang lain. Apa pun perubahan itu. Perubahan menjadi baik saja bisa menuai respons yang tidak kita harapkan, apalagi perubahan yang tidak baik. 

Melihat ke luar. Dalam hati orang tak ada yang tahu. Karena itulah, manusia [baca: saya] butuh kepekaan dan empati. Mungkin sebenarnya dia sedang mengalami masalah dalam kehidupannya, dan saya sedang terlalu sensitif. Akibatnya, jadilah saya menganggap dia berubah, padahal sebenarnya tidak. 

Dalam keadaan seperti ini, wewajibkan diri sendiri untuk tidak berburuk sangka akan membuat segala sesuatunya tidak semakin parah. Tragis bila pertemanan kandas hanya karena prasangka. 

Tidak berburuk sangka [harapannya] akan membuat saya tidak melulu mementingkan suasana hati sendiri dengan menafikan kenyataan bahwa orang lain juga punya perasaan dan masalahnya sendiri.

Tidak berburuk sangka [harapannya] akan membuat saya tetap rendah hati untuk tidak menilai diri sendiri benar, dan sebaliknya.

Tidak berburuk sangka [harapannya] tidak membuat saya berkutat dengan perasaan sendiri.

Bagaimanapun, pertemanan yang sudah terjalin jauh lebih berharga daripada perasaan sesaat seperti ini. Saya tidak pernah tahu, mungkin saja dia memiliki penilaian yang sama terhadap saya, dan mungkin sebenarnya [tanpa saya sadari] sayalah yang habis menenggak ramuan kanabis.

Rabu, 10 Oktober 2012

Lebih Pagi

Pagi ini berangkat lebih pagi karena harus memfotokopi sebuah dokumen. Ternyata tidak mudah mencari fotokopian yang buka pagi-pagi. Rata-rata mereka buka jam 7-an lebih. Setelah mencari-cari, akhirnya nemu juga kios fotokopi yang buka lebih pagi dari yang lainnya. Cocok!

Jadi teringat nasihat orangtua, bangun pagi biar dekat rezekinya. Pengusaha fotokopi itu mungkin pernah mendengar nasihat yang sama. hehe. Karena buka lebih pagi dari yang lain, otomatis akan mendapat pelanggan lebih banyak. Jika di antara para pelanggan ada yang sering membutuhkan fotokopi pada pagi hari, seperti saya, mereka pasti akan langsung meluncur ke kios tersebut. 

Lesson learned.
Bangun pagi tidak hanya sehat, tetapi juga membuat kita memiliki lebih banyak pilihan dan kesempatan. The earlier we rise, the more possibilities there are to fill our day! Lebih banyak kemungkinan dan pilihan yang bisa dipertimbangkan ketika kita tidak terburu-buru, kan? 

The early bird gets the worm. ^_^

Rabu, 03 Oktober 2012

[Bukan] Sekadar Rutinitas

Setiap bulan, sekitar tanggal 4 sampai beberapa hari ke depan, saya kejatah tugas me-lay out buku kumpulan renungan. Ada sekitar 160-an halaman warna yang harus dikerjakan dalam durasi 3–4 hari. Beberapa artikel perlu layout yang berbeda, tetapi design besarnya hampir selalu sama setiap bulan. Bosan? Hhmm ... setiap kali perasaan enggan mengerjakan datang, saya berusaha untuk tidak memaknainya sebagai bosan.

Hampir setiap bulan, saya selalu menemukan cara untuk membuat pekerjaan tersebut lebih cepat dan efisien. Saya jadi tahu cara mengatur paragraf dengan cepat, cara praktis mengatasi missing style, menyalin warna dengan akurat, mengoptimalkan fungsi setiap tool di program design yang saya gunakan, mengatur master page supaya lebih memudahkan. Ini hanya beberapa contoh, tapi ini saja sudah menjadi pelajaran besar.

Menengok ke belakang, ketika menghadapi suatu kegiatan atau pekerjaan yang tampaknya rutinitas belaka, betapa sering saya mengeluh, bahkan sebelum  memulai mengerjakannya. Sikap ini ternyata hanya mendatangkan energi negatif ke dalam diri sendiri. Sesuatu yang harusnya bisa menyenangkan menjadi tidak menarik sama sekali. Semangat surut, kemauan susut, perasaan karut marut. Sudah pasti kerja menjadi tidak optimal. Dan saya akan "ketinggalan pelajaran". 

Memetik hikmat dari mainan favorit di rumah, saya belajar untuk melihat semua hal yang berjudul rutinitas seperti mainan Lego dalam sebuah kotak. Kepingan-kepingan yang ada di dalamnya akan selalu sama, bentuk dan warnanya. Namun, dari kepingan-kepingan kecil itu kita bisa membuat bermacam mainan, dari yang sederhana hingga yang kompleks. Selalu menarik untuk dicoba dan dimainkan. Rangkaian yang sama bisa dibuat, tetapi rangkaian lain yang berbeda bisa lebih banyak karena sesungguhnya tidak ada hal yang persis sama.

Yeaa ...

Selasa, 02 Oktober 2012

Kuda Mati di Alun-alun Lor

Tadi pagi sekitar pukul 6, saat mentari masih belum sepenuhnya menyibak sisa hujan pertama semalam, saya bersepeda motor di sekitar alun-alun lor Jogja. Agenda pagi ini adalah membeli susu segar. Pulangnya, di sisi barat selatan alun-alun, banyak orang berkerumun. Di situ memang ada warung tenda sih, tapi kerumunan yang terbentuk di dekatnya tidak wajar dalam pandangan saya. Saya memelankan motor, menepi dan mengamati. Ternyata orang-orang di situ sedang mengerumuni seekor kuda yang tergeletak mati di trotoar. 

Kuda hitam besar yang gagah itu tiba-tiba terjatuh saat dilatih di area sekitar keraton. Begitu kata seorang ibu yang saya tanya. "Kudanya masuk angin," seru seorang bapak yang berdiri di dekat kuda; mungkin menjawab pertanyaan seseorang. Di wajah si kuda terlihat ada luka memerah. Mungkin lecet karena tergores badan jalan waktu ia jatuh.  

Tak lama kemudian, seseorang datang membawa papan beroda untuk mengangkut si kuda. Beberapa laki-laki dewasa berpadu tenaga berusaha memindahkan si kuda dari trotoar ke atas papan. Sepertinya tidak mudah. Dengan arahan seorang bapak yang terlihat lebih sepuh dari yang lainnya, akhirnya si kuda berhasil dinaikkan ke papan dengan bagian kepala tetap dipegangi supaya tidak terkulai turun dari papan. Papan itu kemudian didorong ke arah museum kereta. Dan kerumunan pun bubar.


Selasa, 18 September 2012

Berkilau

A : Kalau satu sudah berkilau, apalagi dua!
B: Kalau satu sudah berkilau, kenapa harus dua?

Baris pertama itu adalah tag line sebuah iklan sampo kenamaan. Perusahaan sampo itu meluncurkan sampo sachet yang dikemas 2 sekaligus. Jadi ada 2 sachet sampo dalam satu kemasan. Sembari mengibaskan rambutnya yang hitam nan berkilau, modelnya mengatakan, “Kalau satu sudah berkilau, apalagi dua.” 

Sejak melihat iklan itu pertama kali sampai hari ini, setiap iklan itu nongol di TV saya selalu tidak tahan untuk nyeletuk, “Kalau satu sudah berkilau, kenapa harus dua?”

Ini bukan masalah saya pakai satu sachet dan sudah berkilau. Saya termasuk pemakai setia sampo itu sejak kecil. Beberapa kali tergoda sampo lain, tapi itu pun hanya bertahan beberapa hari, dan ujungnya bisa ditebak, saya balik lagi memakai sampo itu. Tapi, meskipun selalu memakai sampo itu, kok rambut saya tidak berkilau seperti model itu yaa? … *hallah*

Untuk urusan kosmetik, juga sabun mandi dan sabun cuci, saya sudah memiliki semacam nota kesepahaman dengan diri sendiri (eaaa …) bahwa “syarat dan ketentuan berlaku”. Tidak semuanya bisa dipukul rata dengan begitu mudah. Jadi, jika hasil pemakaian tidak sesuai dengan yang diiklankan, saya tidak (begitu) kecewa.

Dan soal sampo, saya punya standar sendiri. Asal baunya tidak aneh, tidak bikin kering, ketombean dan gatal, itu sudah cukup. Berkilau itu hanyalah bonus. Soal berkilau atau tidak, ah, itu hanya masalah pencahayaan …. Hehehe *menghibur diri*

Senin, 27 Agustus 2012

Kenyang FTV


Libur Lebaran sepuluh hari kemarin benar-benar kenyang. Bukan hanya kenyang dalam arti yang sesungguhnya, kenyang perut, melainkan juga kenyang hal-hal lainnya.

Salah satunya adalah kenyang nonton TV, dan acara yang saya lihat sering “mondar-mandir” di tayangan televisi adalah FTV. Rasanya sudah lama nggak nonton FTV karena TV di rumah lebih banyak menayangkan acara anak-anak. :D :D

Kepanjangan dari FTV adalah Film Televisi (dari frasa Television Movie). Melihat dari namanya, FTV adalah film yang diproduksi untuk televisi yang dibuat oleh stasiun televisi atau rumah produksi. Durasinya sekitar 2 jam. Jadi, film layar lebar yang ditayangkan di televisi bukan FTV, meskipun ada FTV yang diangkat menjadi film layar lebar, atau sebaliknya, film layar lebar yang dibuat versi FTV-nya

FTV mulai diproduksi di Indonesia pada 1995, dipelopori oleh SCTV. Sejak itu hingga sekarang, SCTV adalah “surganya” FTV. Saya tidak tahu persis frekuensi penyiarannya pada hari-hari biasa, tetapi kemarin selama liburan, setidaknya ada 3 FTV tayang dalam sehari—pagi, siang, malam. Banyaaaakk. Belum lagi stasiun lain yang juga menyiarkan FTV.

Sebenarnya ini potensi sekaligus bisa menjadi sarana promosi. Potensi karena dengan dengan demikian semakin banyak orang yang terlibat dalam pembuatannya. Semoga bisa menciptakan lapangan kerja baru. Semakin banyaknya FTV yang diproduksi semoga memicu para senimannya untuk lebih kreatif sehingga menghasilkan tayangan lebih berbobot. Ini juga bisa menjadi sarana promosi, apalagi jika mengambil setting daerah-daerah tertentu yang memiliki potensi wisata bagus tapi belum dikenal luas.

Bicara hal yang lebih ideal lagi, akan lebih berbobot jika tayangan FTV yang dihasilkan tidak hanya membawa pengaruh baik bagi penonton, tetapi juga para pemainnya.

____

One good thing about acting in film is that it's good therapy. -- Denzel Washington

____

Rabu, 15 Agustus 2012

Sekolah

Genap satu bulan anak lanang masuk TK. Sebenarnya sih TK A, tapi banyak yang mengira sudah TK B karena postur badannya yang tinggi.

Hari pertama dia pakai seragam merah putih, lengkap dengan dasi, rompi, dan topi, rasanya begitu terharu memandangnya. Kira-kira 25 tahun silam, saya seperti itu. Dan sekarang saya memandang anak sendiri dengan pakaian seragam. Jadi membayangkan, mungkin begini yang dirasakan ibu 25 tahun yang lalu. :D

Hanya bertiga di rumah, tanpa pembantu atau anggota keluarga yang lain, membuat kesibukan pagi selalu heboh, riweh, dan keponthal-ponthal (pinjam istilah kawan ^_^), tapi banyak pelajaran berharga.

Pelajaran berharga pertama, pelajaran bangun lebih pagi. Yang ini perlu adaptasi keras mengingat saya ngantukan dan hobi tidur, eh ketiduran. :D

 Pelajaran berharga kedua, meluangkan waktu lebih banyak untuk mendampingi. Biasanya kesibukan sore sampai malam  diisi dengan main bareng anak, beres-beres rumah, mencuci, baca buku, nonton film, bla bla bla. Sekarang, semua harus diatur ulang. Bagaimanapun, kata banyak buku parenting, anak mengeja cinta dengan W-A-K-T-U.

 Pelajaran berharga ketiga, menjaga sikap dan perkataan karena daya serap anak itu seperti spons. Hehehe, idealis banget kedengarannya. Tapi semenjak menjadi ibu dan anak lanang sudah mulai berinteraksi dengan orang lain, hal ini terasa menjadi sangat penting.

Pelajaran berharga keempat, tentu saja berhemat. Sekolah zaman sekarang tidak ada yang murah. :D

 Pelajaran berharga kelima, fiuuhhh, harus lebih sabar. Saban hari, selalu ada “kejutan”. Dari celetukan-celetukan yang belum pernah terdengar keluar dari mulutnya sampai baju yang belepotan tanah. Jadi ingat iklan detergen, “kalau nggak kotor, ya nggak belajar”. Dulu waktu  masih gadis, belum menikah dan punya anak, saya setuju banget sama tag line itu. Sekarang? Kalau bisa belajar tanpa harus berkotor-kotor, saya mungkin memilih yang terakhir ini. Hehe

Tapi, di antara semua itu, pelajaran terbesarnya adalah bertiga semakin kompak. Berusaha saling mandiri, membantu, dan mengasihi. Memaksimalkan cinta di bawah atap, begitu kata Leo Tolstoy.

Balik Lagi

Ini postingan pertama setelah kira-kira dua bulan tanpa jejak, tidak mampir. :D
Ke mana aja? Ngapain? Sama siapa?

1. "Proyek" bersama teman
Ada sesuatu yang sudah dan masih dikerjakan. Menyenangkan, meskipun menyita waktu.

2. Bapak sakit
Opname dua kali sempat membuat ketir-ketir. Pelajarannya, jadi lebih dekat dan lebih sering berkomunikasi. I love u full.

3. Anak masuk sekolah
Senang, terharu, kacau, riweh. Dan akan ada cerita tersendiri.

4. Meluangkan lebih banyak waktu untuk tidur.
Sebenarnya yang ini hanya alibi. :D

5. Nonton drama-drama seri Korea
Astaga astaga astaga ... setelah sekian lama bertahan, akhirnya terempas Korean Wave.

6. Nonton Master Chef Indonesia, Season 2
Hehehe .... Tidak bisa melewatkan yang satu ini. Kalau nggak sempat nonton harus download dari Youtube. Bukan karena nge-fans sama Chef  Juna, tapi saya pengen banget bisa ikut acara Master Chef, entah season berapa. :D :D

7. Ngenet terus, baca-baca resep
Yang ini persiapan untuk ikutan Master Chef ... hahaha.

Selasa, 22 Mei 2012

Jatuh dengan Gaya



Beberapa hari lalu, lagi-lagi menonton Toy Story. Entah untuk yang keberapa kali. Di film ini, ada dialog favorit saya, yang belakangan juga menjadi dialog favorit anak lanang saya. Ini adalah dialog pendek antara Woody dan Buzz Lightyear ketika mereka berdua terlontar ke udara saat mengejar truk pindahan yang berisi semua mainan Andy.



Woody: “Kau terbang, Buzz.”
Buzz Lightyear: “Ini bukan terbang. Ini jatuh dengan gaya.”


Buzz Lightyear adalah tokoh petualangan luar angkasa, jadi seharusnya dia bisa terbang. Sayang, Buzz “hanya” mainan, dia tidak benar-benar bisa terbang, Jadi, ketika mereka terlontar ke udara, Buzz dan Woody yang dipegangnya bersiap meluncur jatuh. Tapi, mereka berdua sepertinya menikmati. Meskipun tahu akan jatuh, Woody menganggap mereka sedang terbang, sedangkan Buzz menyebut mereka sedang jatuh, tapi dengan gaya.

Tidak jarang kita membuat lelucon-lelucon kecil mengenai masalah yang sedang kita hadapi. Bukan berarti kita menganggap remeh masalahnya. Sama sekali tidak. Masalah yang ada tetaplah serius, tapi sering kali lelucon-lelucon yang kita lontarkan entah bagaimana membuat pikiran lebih ringan sehingga kita tetap bisa bersikap positif.  Seperti yang kemudian diteriakkan Woody saat mereka “terbang”, “Menuju tak terbatas dan melampauinyaaaaaa ….”

Sikap positif ini memunculkan energi positif yang membuat kita lebih tenang dan mengarahkan upaya untuk mencari solusi yang tepat [saya meyakini hal ini]. Buzz memang tidak benar-benar bisa terbang, tetapi karena tidak panik, dia setidaknya bisa mengarahkan sayapnya supaya kalaupun jatuh, mereka jatuh di tempat yang diinginkan. Dan syukur-syukur, itu mengatasi masalahnya. 



Kamis, 26 April 2012

Obrolan Kecil, Sniff, Scurry, Hem, & Haw

Pagi tadi ngobrol sedikit dengan Leni. Topiknya adalah seorang kawan yang tak diduga telah selesai menulis buku dan diterbitkan oleh penerbit kenamaan di negeri ini.

Obrolan yang membuat pikiran saya terjaga seketika. Pembicaraan setema ini selalu membangunkan mimpi yang tertidur; terninabobokan oleh kesibukan, kenyamanan, pekerjaan, keletihan, dan “hobi” ketiduran (ini parah). Ah, lagi-lagi alasan ini. Padahal banyak orang yang tetap bisa melakukan banyak hal di luar pekerjaan rutinnya. Hiks. Tertohok.

Sniff, Scurry, Hem, & Haw
Saya jadi ingat kisah Sniff, Scurry, Hem, dan Haw di buku Who Moved My Cheese. Buku yang saya baca beberapa tahun silam dan saya suka banget dengan metaforanya. Sebenarnya sederhana, tetapi begitu dekat dengan keseharian kita dalam pekerjaan dan pencapaian sesuatu; dan yang paling penting dalam menyikapi perubahan.

Sniff dan Scurry adalah seekor tikus. Sementara, Hem dan Haw adalah kurcaci (little people). Mereka berempat memiliki sifat yang berbeda.
  • Sniff, sesuai namanya Si Tukang Endus, mampu mengendus perubahan dengan segera. 
  • Scurry, Si Tukang Lacak, selalu sigap dalam bertindak.
  • Hem, selalu menolak dan tidak menghendaki perubahan
  • Haw, setiap saat selalu berusaha beradaptasi sehingga siap menghadapi perubahan dan mencapai hal yang lebih baik.


Mereka berempat tinggal dalam suatu Maze, labirin-labirin yang sarat ketidakpastian dalam menemukan keju. Dengan kemampuan masing-masing, mereka berupaya mencari keju-keju yang lezat melewati labirin-labirin yang tak jarang menyesatkan mereka. Hingga kemudian pada suatu hari mereka menemukan keju yang berlimpah ruah di Cheese Station C. Girang tak terkira.

Setiap hari mereka berempat mengunjungi Cheese Station C dan makan sepuasnya. Namun, sifat mereka masing-masing ikut menentukan cara mereka menyikapi penemuan besar ini hari-hari berikutnya.
  • Sniff dan Scurry selalu bangun pagi dan bergegas menuju Cheese Station C, melepas dan mengikat sepatunya dan menggantungkan di lehernya, baru kemudian menyantap keju. Namun, mereka tidak sekadar makan dan kenyang, tetapi juga mengamati keadaan sekitar Station C itu dan perubahannya.
  • Hem dan Haw juga bangun pagi, tetapi itu hanya hari-hari awal. Lama-kelamaan mereka hafal jalan menuju Cheese Station C dan mulai bangun siang. Berjalan ke tempat itu pun, mereka santai-santai. Mereka puas dan bahagia. 
“Bim Salabim”
Suatu hari, mereka berempat mendapati bahwa tidak ada lagi keju di Cheese Station C, kosong melompong. Semua kejunya hilang! Seperti mereka bereaksi secara berbeda terhadap penemuan besar, mereka pun beraksi secara berbeda terhadap kehilangan besar; perubahan besar.

Sniff dan Scurry tidak kaget dengan hilangnya keju itu karena mereka tidak terlena. Mereka sadar bahwa lama-kelamaan keju di tempat itu akan habis karena setiap hari dimakan. Mereka sudah siap dan segera bertindak; memakai sepatu dan berlari mencari Station lain, mencari keju baru.

Sementara, Hem dan Haw sangat terkejut, marah-marah, dan tidak segera bertindak. Mereka berteriak-teriak, “Who moved my cheese?”; menyalahkan keadaan dan pihak lain yang mungkin memindahkan keju mereka. Mereka berdua takut tidak akan bisa mendapatkan keju lagi. Mereka yakin keju mereka masih ada di sekitar tempat itu. Mereka mulai memanjat dinding dan mencari-cari, tetapi keju itu tetap tidak ada. Hem hanya diam dan putus asa. Haw tidak demikian, tidak mau diam saja. Ia mengajak Hem mencari keju di luar Station C, tetapi dia menolak. Hem masih yakin kejunya akan kembali.

Haw akhirnya pergi sendirian meskipun awalnya ia merasa takut menelusuri labirin Maze. Sepanjang jalan yang dilewatinya diberi tanda. Harapannya, itu akan memudahkan Hem seandainya ingin menyusul. Kemudian sampailah Haw di Cheese Station N; dan mendapati Sniff dan Scurry sedang menikmati keju yang lezat. Haw sangat gembira.

“Kembali ke Laptop”
Kembali ke kisah kawan yang berhasil menyelesaikan bukunya. Bagi saya, kabar ini (dan percakapan-percakapan sejenis) ibarat keterkejutan Sniff, Scurry, Hem, dan Haw ketika mendapati Cheese Station C kosong. Sebuah perubahan yang harus segera disadari dan disikapi (apalagi jika itu terkait mimpi besar kita).

Pengennya sih seperti Sniff dan Scurry, langsung sigap mengenakan sepatu dan tancap gas (baca: menulis). Tapi saya tidak sehebat itu. Haw lebih pas untuk dijadikan metafora saya. Awalnya kaget, stres, bingung, tapi tidak berkubang. Setelah “dibangunkan” dari tidur panjang kenyamanan, mulai perlahan mencoba melangkah, mempercepat langkah, dan berlari. Tidak berhenti belajar dan mengamati. Semoga.

Yang penting tidak seperti Hem. ^_^


Rabu, 25 April 2012

Ritsleting


[Sebenarnya pengen posting ini kemarin biar pas, tapi halah ketiduran. Hadehh .. the same old story.]





Baiklah. Kemarin, 24 April, saya penasaran dengan tampilan Google; ada ritsletingnya. Iseng nge-klik, badalah, ritsletingnya terbuka dan tampaklah semua link terkait Gideon Sundbäck. Ternyata, kemarin adalah hari ulang tahun bapak penemu ritsleting itu. Oooo …. Penemuan Anda sungguh berarti, Pak! :D

Menurut berita, Gideon Sundbäck bukanlah pencetus pertama ritsleting. Jauh sebelumnya, Elias Howe sudah menemukan “nenek moyang”-nya ritsleting yang waktu itu tanpa slider. Barulah pada 1906–1914, Gideon Sundbäck mengembangkan ristleting dengan berbagai versi dan perbaikan.

Sekitar satu dekade kemudian, ritsleting dipopulerkan oleh BF Goodrich (perusahaan ban internasional) ketika dipasang pada produk sepatu boot mereka. Baru dua puluh tahun sesudah masa itu, ritsleting mulai diterapkan dalam industri fashion sampai sekarang dengan segala perkembangannya; seperti yang kita lihat.

Untnglah ada ritsleting. Kalau tidak, bagaimana nasib celana jin kita? Pakai kolor? Hehehe …. ^_^

Senin, 23 April 2012

Tidak Mencerdaskan

Sumber: Iklan & Postingan di Facebook

Membaca iklan ini beberapa waktu lalu, langsung miris. Sebegini mudahnya intelektualitas diperjualbelikan? Hanya ditakar dengan uang?  Zaman apa ini sebenarnya?

Dan kalimat kedua iklan di atas? "Ijazah dijamin resmi, asli, dan terdaftar di kampus & DIKTI/Kopertis." Semoga ini salah dan hanya iming-iming dari pemasang iklan belaka. Jika tidak, deretan keprihatinan kita akan semakin panjang. 

Sebenarnya praktik-praktik semacam ini sudah banyak dan menjadi rahasia umum (termasuk jasa pembuatan skripsi, desertasi, dan semacamnya), tetapi mengiklankannya terang-terangan di media publik dan jejaring sosial, saya benar-benar tidak habis pikir.

Saya pernah secara terus-terang menyampaikan keberatan pribadi saya kepada seseorang yang saya tahu dia memiliki usaha pembuatan skripsi. Saya katakan, "Itu usaha yang tidak ikut mencerdaskan kehidupan bangsa." Anda tahu apa jawabannya? Dia bilang, "Aku cuma memanfaatkan kemalasan anak-anak yang tidak mau membuat skripsi." Astaga! Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Jika kemalasan memang adalah masalah, mengapa kita tidak menjadi bagian dari solusinya?  Jika memang kemalasan menjadi masalah, bukankah "memfasilitasi" akan membuatnya semakin parah?  

Poin penting lain yang pantas juga kita lihat bersama adalah stigma terhadap sekolah dan pencapaian nilai (lulus dan mendapatkan ijazah). Entah bagaimana, sepertinya pelajar memandang hal itu sebagai sesuatu yang sangat sulit. Tentu saja, sistem pendidikan dan kurikulum juga tidak bisa dipisahkan dalam masalah ini. Oleh karena itu, ketika ada jalan mudah untuk mendapatkan semua itu (ijazah instan), tidak sedikit yang memanfaatkannya. Jika kondisi ini terus-menerus diabaikan dan tidak disikapi, pelajar yang pekat dengan "daya tahan" akan langka ditemukan. Sangat disayangkan.

Terkait dengan hal itu, saya sangat salut dengan beberapa teman guru yang saya tahu mereka berupaya mengubah image pelajaran yang "menakutkan" di mata siswa menjadi sesuatu yang menyenangkan. Entah melalui kegiatan pembelajaran yang asyik atau melalui penerbitan buku-buku yang mencerahkan.  Dengan demikian, mereka menjadi bagian dari solusi dengan cara yang sehat. Dengan kreativitas, mereka membuat siswa tertarik untuk belajar, dengan dorongan yang muncul dari diri sendiri, bukan dari luar. Saya yakin seseorang yang memiliki dorongan kuat dalam dirinya akan memiliki daya tahan belajar yang lebih baik—dan semangat pantang menyerah ini akan menemani mereka sampai jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jauh dalam hati saya berharap, dengan demikian, mereka tidak akan mudah tergiur dengan iming-iming kemudahan membuat ijazah instan.

Jadi sebenarnya ini bukan semata-mata tentang mencari uang, melainkan kepedulian.


Jumat, 20 April 2012

Punggung


...

seperti cinta yang betah berjaga
di tempat yang tak diketahui mata.

seperti doa yang merapalkan diri
di tempat yang hanya diketahui hati.


... nukilan dari JokPin ...


Rabu, 18 April 2012

Les Miserables


Judul Buku : Les Miserables


Penulis : Victor Hugo


Penerjemah : Anton Kurnia


Penerbit : Bentang Pustaka


Tebal : viii + 692 halaman







Adalah Jean Valjean, tokoh utama dalam buku ini yang menunjukkan bahwa cahaya tetaplah cahaya di tengah kegelapan sekelam apa pun. … mengubah hydra menjadi malaikat.

Jean Valjean kecil adalah seorang yatim yang tinggal dengan kakak perempuannya. Saat Jean Valjean berusia 25 tahun, suami sang kakak meninggal dunia, meninggalkan istri dan ketujuh anaknya. Jean Valjeanlah yang menghidupi mereka. Untuk itu, ia bekerja sebagai tukang kebun, dan kuli. Pada suatu musim dingin, ia tidak menghasilkan uang untuk menghidupi ketujuh keponakannya dan dirinya sendiri karena ia tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali. Ia akhirnya terpaksa mencuri roti. Hanya berawal dari roti, akibatnya tragis, ia dijatuhi hukuman kerja paksa di kapal selama 5 tahun. Beberapa kali ia berusaha kabur, tetapi gagal, dan akibatnya lebih tragis, hukumannya berkembang dari 5 tahun menjadi 19 tahun (1796–1815).

Kehidupan keras selama di kapal menempanya menjadi seorang yang jiwanya diliputi kegelapan dan kebencian. Vicor Hugo dengan apik menggambarkan kekalutan ini.

Jean Valjean masuk kapal kerja paksa dengan tersedu dan gemetar; ia keluar dengan wajah keras. Ia masuk dengan putus asa; ia keluar dengan penuh amarah. Hidup macam apakah yang telah dijalani jiwa ini?

Pada tahun yang sama ketika ia dibebaskan, ia bertemu dengan seorang uskup di kota D___. Untuk pertama kalinya dalam 19 tahun, ia mengalami dan merasakan kebaikan dan ketulusan hati. Alih-alih merasakan ketenangan dan kedamaian, ia justru bingung dengan semuanya itu. Ia akhirnya memilih meninggalkan sang uskup. Namun, tanpa disadarinya, pertemuan ini menjadi cahaya yang kelak akan mengubah seluruh kehidupannya.

Pada akhir tahun itu, ia menemukan peluang bisnis dan dalam waktu singkat ia menjadi seorang kaya raya, yang (ajaibnya) berhati lembut. Usaha yang dijalankannya mengubah kehidupan masyarakat di sekitarnya, tidak hanya dalam hal kesejahteraan, tetapi juga dalam hal stabilitas dan keamanan karena tingkat kejahatan dan pengangguran menurun drastis. Berangkat dari sini, ia diangkat menjadi walikota dan dipanggil sebagai Monsieur Madeleine. Tidak ada lagi Jean Valjean.

Hingga suatu hari, kelembutan hatinya justru membawanya kembali ke kapal dan menjalani kerja paksa. Tragedi ini berawal ketika seseorang bernama Champmathieu ditangkap karena dikenali sebagai Jean Valjean. Ia akan segera diadili berkenaan dengan kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Sontak Monseur Madeleine terkejut dan bingung. Tidak rela orang lain menanggung perbuatan yang tak pernah dilakukannya, Monseur Madeleine mengaku dan membuka jati dirinya. Dengan besar hati, ia menanggalkan kehormatannya dan kembali menjadi narapidana.

Selang beberapa tahun sesudahnya, Monsieur Madeleine atau Jean Valjean dikabarkan meninggal karena tenggelam di laut seusai menolong narapidana lain yang akan jatuh. Sesungguhnya, ia belum mati. Semangat hidupnya begitu besar demi mencari seorang anak bernama Cosette. Ia adalah anak perempuan Fantine, wanita yang pernah ditolongnya ketika ia menjadi walikota. Jean Valjean menepati janjinya dan pergi ke Montfermeil, dekat Paris, tempat ia akhirnya menemukan Cosette yang nasibnya tak jauh beda dengan ibunya, malang dan menderita. Selama ini, Cosette menjadi pembantu yang menyedihkan di keluarga Thenardier, padahal Fantine selalu mengirimkan uang kepada keluarga itu untuk anaknya. Jean Valjean akhirnya membawa Cosette pergi dari keluarga itu.

Meskipun sama sekali tidak mengenalnya, Cosette sangat memercayai Jean Valjean, bahkan menganggapnya ayah. Penderitaan yang sama-sama dialami Cosette dan Jean Valjean menumbuhkan sebuah perasaan yang langka bagi mereka, mencintai dan dicintai. Namun, kini mereka sama-sama merasakan itu. Keistimewaan matahari terbit adalah membuat kita menertawakan semua ketakutan kita semalam dan riuhnya tawa kita itu selalu seimbang dengan besarnya ketakutan yang kita rasakan. Mungkin demikian penggambarannya, seperti yang dituliskan Victor Hugo.

Tahun demi tahun berlalu, Cosette tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kekosongan jiwa Jean Valjean terisi penuh dengan kehadiran Cosette dalam kehidupannya. Dapat dikatakan ia akan melakukan apa pun demi Cosette. Perasaan cinta ini entah bagaimana berkembang dan bukan lagi cinta seorang ayah kepada anaknya (saya merasa demikian, seperti yang secara tipis digambarkan oleh Victor Hugo). Akibatnya, ia marah ketika mengetahui Cosette jatuh cinta kepada Marius, begitu pula Marius, dan mereka sering bertemu secara sembunyi-sembunyi. Ia berusaha menjauhkan Cosette dari Marius dengan membawanya pergi dari kota itu. Upaya ini pun tidak mudah karena bagaimanapun, Jean Valjean adalah buronan.

Meskipun hatinya sakit, kelembutan hatinya tak pernah sirna. Di tengah-tengah kisruh pasca Revolusi Prancis, justru Jean Valjeanlah yang menyelamatkan Marius melalui medan yang hampir mustahil dilalui oleh manusia. Dia juga yang mempertemukan Cosette dan Marius, dan akhirnya mereka menikah. Di akhir cerita, dituliskan bahwa setelah melalui berbagai konflik, Marius mengetahui bahwa Jean Valjeanlah yang menyelamatkan nyawanya.


Yah, mencintai dan dicintai, itu cukup. Jangan meminta yang lebih dari itu. Tak akan ada mutiara lain yang bisa ditemukan di kegelapan palung kehidupan. Mencintai adalah sebentuk penyempurnaan.

-------

Meskipun bukunya besar, tebal, dan hurufnya kecil-kecil, tidak membutuhkan “ketabahan khusus” untuk menyelesaikan baca buku ini karena terjemahannya ciamik. Les Miserables bukan sekadar fiksi karena banyak muatan sejarahnya. Tidak heran jika di dalamnya terdapat banyak tokoh dan kelompok, juga sudut pandang politik. Dalam pembacaan saya, ini menggambarkan bahwa situasi saat itu benar-benar sulit. Beberapa pembaca mengatakan buku ini berat, hhmmm mungkin, tapi saya sangat menikmatinya dan puas.

Benang merahnya, buku ini sarat kepedihan, keputusasaan, [dan kebahagiaan] Jean Valjean. Namun, kepedihan sama saja dengan segala hal lain, lama-kelamaan menjadi tertanggungkan dan akhirnya menghasilkan bentuk dan kemapanan tertentu. Begitu Jean Valjean memaknai setiap penderitaannya, hingga akhirnya ia menutup mata dan memberikan pelajaran besar [untuk saya] bahwa wujud terindah dari mencintai bukanlah memiliki, melainkan memastikan kebahagiaannya.

Menutup halaman terakhir buku ini, saya menangis.
  

Perut Tidak Bisa Menunggu

Stomach cannot wait. Perut tidak bisa menunggu.

Meskipun disitir Bung Karno bertahun-tahun silam, ungkapan tersebut masih bisa kita lihat relevansinya dengan kondisi masyarakat sekarang. Memang perut bukan urusan satu-satunya; dan bukan berarti ketika perut kenyang segalanya menjadi beres. Namun, urusan perut menjadi pertimbangan penting dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu, misalnya dalam hal pendidikan dan kesehatan.

Angka anak putus sekolah karena alasan ekonomi (baca: perut) cukup menyentak kesadaran kita. Angka anak putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia masih di atas satu juta siswa per tahun. Belum lagi data yang menunjukkan bahwa provinsi dengan tingkat pendapatan rendah cenderung memiliki angka putus sekolah yang juga tinggi. Bahkan yang membuat prihatin, tidak sedikit anak sekolah yang sengaja tidak mengikuti ujian nasional karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan bisa melanjutkan sekolah. Mereka harus bekerja karena tuntutan ekonomi (baca: perut).

Perut tidak bisa menunggu; orang lapar—kelaparan—akan mengerahkan upaya untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Bila ingin disederhanakan, bagaimana akan bersekolah dan belajar bila perut lapar?
Memang ini masalah klasik, tetapi bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Bermenung dan Beraksi
Jutaan anak putus sekolah. Jutaan rakyat terpaksa hidup di kampung kumuh. Bahkan pada akhir 2009, lebih dari 100 kabupaten di Indonesia masih memiliki penduduk yang terancam gizi buruk. Belum lagi masalah kesehatan yang terpinggirkan karena lagi-lagi alasan ekonomi. Data ini akan tinggal data dan wacana jika tidak disertai aksi nyata. Bahkan tulisan ini tidak lebih dari sekadar barisan huruf-huruf bila saya hanya menulis dan tidak beraksi.

Kita membaca bahwa di Swedia, Norwegia, Finlandia, dan Denmark, para pejabat tingginya pergi ke kantor dengan naik sepeda, berjalan kaki, atau dengan kendaraan umum. Atau Presiden Filipina yang rela bermacet ria di jalan sebagai wujud solidaritas kepada rakyatnya (Jean Zieglar, Les Nouveaux Maitres, 2002). Sementara, di sini muncul berita tentang pembelian mobil dinas seharga 1,3 miliar untuk para pejabat negara kita. Disandingkan dan dibandingkan? Tragis, mengiris, ironis.

Kita juga membaca pemerintah berprestasi meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi, menurunkan angka kemiskinan, dan menekan praktik korupsi. Namun, kita masih melihat banyak orang tinggal di pemukiman kumuh atau hidup dengan kondisi ekonomi terpuruk. Bahkan ada yang tidak memiliki uang untuk berobat. Artinya, semua program pemerintah yang dijalankan belum menyentuh semua elemen.

Seperti perut tidak bisa menunggu, kita juga tidak perlu menunggu. Tidak perlu menunggu program pemerintah atau momen yang pas. Kita bisa meraih orang-orang di sekitar kita dengan cara sederhana, tentu saja semampu kita. Berbagi makanan. Membantu sedikit biaya pengobatan. Memberikan informasi dan peluang bekerja atau menambah pendapatan. Ini bisa menjadi bantuan kecil yang berarti. Kuncinya adalah tidak muluk-muluk, tetapi menyentuh kebutuhan. Tidak perlu jauh-jauh, tetangga sekitar bisa menjadi pertimbangan pertama.

Satu hal penting yang tidak boleh dihilangkan jika kita ingin masalah di atas tidak menjadi fenomena gunung es—hanya terlihat kecil (dan sepele) di permukaan, padahal di dalamnya menyimpan bahaya—, yaitu semangat kerelaan dan pengorbanan. Dan semangat ini dilandasi kuat oleh rasa kepedulian.

Kebaikan dan kepedulian (meski kecil) tidak hanya menyentuh, tetapi juga menular. Mari kita menularkannya.

*Bahana, November 2011


Kamis, 05 April 2012

Entah Apa Judulnya ...

Sejenak menatap ke hari itu, tapi dari kejauhan kau berteriak “jangan!”
Kenapa?

 “Aku tidak ingin kau melihatku memunguti kenangan.”
(mendung menggantung)

“Kau membuatku berpuisi, tapi kenangan kita terasa berhenti.”
(gerimis turun)

“Di antara kerutan waktu, kenangan ini akan membawaku kepadamu.”
….
Kau memungut kenangan terakhir itu, lalu berpaling.
Dan hujan pun berderai.


*menemukan ini di antara yang terserak pada suatu masa dan belum berjudul. ^^

Selasa, 06 Maret 2012

2 Marquez



Target (baca: obsesi) Maret ini adalah menyelesaikan dua buku Marquez (Gabriel Garcia Marquez), penulis yang pertama kali mempopulerkan genre realisme magis. Dua buku itu adalah Love in The Time of Cholera (672 halaman) dan Innocent Erendira & Other Stories (286 halaman). Dengan sejibun pekerjaan, kewajiban, dan idealisme (*eh), semoga kelar. :D

Gara-gara baca Seratus Tahun Kesunyian, karyanya yang paling terkenal, jadi penasaran pengen baca buku Marquez yang lain. Sebenarnya udah lama cari dua buku ini, sayangnya buku-buku ini udah susah dicari di toko buku. Mau beli online, wallahh, harga bukunya aja udah mahal, nanti ditambah ongkir bisa tambah mahal. Tapi kemarin saya dapat dua buku ini dengan diskon 50% dan tidak perlu mikirin ongkos kirim karena bukunya diantar. Wuiihh …. *lonjak-lonjak*. Makasih atas inpoh-nya ya Kang Abed.

Khusus Love in The Time of Cholera, sebenarnya udah tahu garis besar ceritanya, udah ada filmnya juga. Tapi, pengen baca bukunya. Menurut cerita, novel ini ditulis berdasarkan kisah cinta orangtua Marquez sendiri. Oprah Winfrey menilai buku ini, “This is one of the greatest love stories I have ever read. ... It is so beautifully written that it really takes you to another place in time and will make you ask yourself—how long could you, or would you, wait for love?" Hmmm … benarkah?

Baiklah … begitu pembacaan selesai, ceritanya akan segera dilaporkan. ^_^

Senin, 05 Maret 2012

Keadilan Nir Nurani

Awal Maret ini dibuka dengan kisah dari akun Facebook Polres Sidoarjo. Banyak teman yang sudah share kisahnya. Saya akan share ulang di sini, sebagai pengingat untuk saya, dan juga kita semua.

Di ruang sidang pengadilan, seorang hakim duduk tercenung menyimak tuntutan jaksa PU terhadap seorang nenek yang dituduh mencuri singkong. Nenek itu berdalih bahwa hidupnya miskin, anak lelakinya sakit, dan cucunya kelaparan. Namun, laki-laki yang merupakan manajer dari PT yang memiliki perkebunan singkong tersebut tetap pada tuntutannya, dengan alasan agar menjadi contoh bagi warga lainnya.
 Hakim menghela napas. dan berkata, “Maafkan saya, Bu”, katanya sambil memandang nenek itu.
 ”Saya tak dapat membuat pengecualian hukum, hukum tetap hukum, jadi Anda harus dihukum. Saya mendenda Anda Rp 1 juta dan jika Anda tidak mampu bayar, Anda harus masuk penjara 2,5 tahun, seperti tuntutan jaksa PU.”
 Nenek itu tertunduk lesu, hatinya remuk redam. Namun, tiba-tiba hakim mencopot topi toganya, membuka dompetnya kemudian mengambil dan memasukkan uang Rp 1 juta ke topi toganya serta berkata kepada hadirin yang berada di ruang sidang.
“Saya, atas nama pengadilan, juga menjatuhkan denda kepada tiap orang yang hadir di ruang sidang ini, sebesar Rp50 ribu, karena menetap di kota ini, dan membiarkan seseorang kelaparan sampai harus mencuri untuk memberi makan cucunya.”
 "Saudara panitera, tolong kumpulkan dendanya dalam topi toga saya ini lalu berikan semua hasilnya kepada terdakwa.”
Sebelum palu diketuk, nenek itu telah mendapatkan sumbangan uang sebanyak Rp 3,5 juta dan sebagian telah dibayarkan ke panitera pengadilan untuk membayar dendanya. Setelah itu, dia pulang dengan wajah penuh kebahagian dan haru dengan membawa sisa uang termasuk uang Rp 50 ribu yang dibayarkan oleh manajer PT yang menuntutnya.

Senin, 27 Februari 2012

Online Cerdas

Siang malam ku selalu
menatap layar terpaku
untuk online online
online online

Ingat lagu Saykoji yang judulnya Online ‘kan? Pastinya. Lagu itu release sekitar pertengahan tahun 2009. Meskipun menurut saya agak lebay, lirik lagu itu bisa menjadi gambaran betapa era informasi dan komunikasi sekarang sudah dominan digital. Di Indonesia, hingga akhir tahun 2011, pengguna internet mencapai 48 juta orang. Dan sebagian besar di antara mereka adalah generasi muda. Pantesan ya remaja-remaja kita gawl abiezt

Jadi ingat, saya pernah beberapa kali memergoki beberapa pelajar duduk di satu meja, tapi tidak ngobrol sama sekali karena semuanya terpaku pada netbook masing-masing. Hhmm … mungkin semuanya sedang chatting antarmereka sendiri atau komen-komenan di Facebook. Hehehe ….

Rupa-rupa tujuan orang online
Ada yang memang hobi mencari teman, jadi dia mengikuti banyak (jika tidak bisa disebut semua) jejaring sosial. Cocok dengan tulisan yang pernah saya baca bahwa pengguna internet di Indonesia yang mengunjungi situs jejaring sosial mencapai 89%. Acung jempol buat yang bisa seperti ini ^_^.

Ada yang memang harus online karena itulah pekerjaannya, misalnya orang yang berbisnis saham online atau orang yang mempunyai dan menjalankan online shop.

Ada yang online untuk unjuk kebolehan (eits, maksud saya bukan sombong lho), misalnya suka dan pinter nyanyi, lalu mengunggah video di Youtube. Banyak ‘kan yang sudah terbukti terkenal dengan cara ini. … ^_^

Ada yang online untuk menyalurkan bakat dan keterampilan, misalnya membuat animasi online dan antivirus online atau bermain game online.

Yang suka sepak bola bisa meng-update  skor pertandingan bola secara live seandainya tidak ditayangkan di televisi.

Itu hanya beberapa contoh.


Saya?
Bagi saya, rasanya sulit sekali hidup tanpa internet .… *hahaha (lebay ya?)* Tapi memang iya. Mengingat sehari-hari saya berkutat dengan buku, mengedit dan mengoreksi, sering kali saya harus bolak-balik tanya Mbah Google untuk mencari arti kata atau istilah yang saya tidak mengerti dan tidak ada di kamus (dan ini sering terjadi).

Saya juga mewajibkan diri untuk selalu membaca berita-berita terbaru. Membaca koran sebenarnya bisa menjawab kebutuhan ini. Namun, frekuensi update koran hanya sehari sekali, sementara internet bisa update dalam hitungan menit. Bukan berarti, keduanya saling meniadakan. Justru sebaliknya, saling melengkapi.

Cerita kecil lain soal online, sebenernya saya juga sempat belajar sedikiiiittt tentang internet marketing. Menarik dan menggiurkan, tapi sayang saya belum “ada hati” untuk menekuninya lebih lanjut. Bahkan, saya sempat iseng-iseng ikut PTC (Paid to Click) meskipun hanya sebentar. Sebenarnya masih pengen melanjutkan dan membuktikan The Power of “Receh”, tapi buku catatan saya raib entah ke mana, padahal semua harta informasi tentang PTC ada di situ, termasuk password-nya. Whuuaaaaa …. :((

Di antara segudang manfaat internet, ada tiga hal utama yang saya sukai dan syukuri:

1. Mendengarkan radio online
Gandrung banget sama yang satu ini. Televisi, internet, gadget terbaru dan tercanggih, juga media hiburan lainnya terasa (oleh saya) semakin meminggirkan radio sebagai sarana hiburan dan informasi yang murah meriah dan merakyat. Apalagi radio transistor, he he.

Seiring waktu berlalu, radio rasanya semakin menjauh. Oleh karena itu, ketika muncul radio online ... whhuaa ... rasanya terjawab rindu itu.

Mendengarkan radio online tidak hanya membuat saya “serasa” terhubung dengan masa lalu, tetapi juga membuat saya seperti terhubung dengan dunia luar. Selama hampir delapan jam di kantor dan berkutat dengan pekerjaan yang tidak pernah habis, mendengarkan radio membuat saya lebih fresh dan “tahu” kabar di luar sana. Hehehe.

Dari radio, kita juga bisa tahu berita terbaru yang sedang hangat. Saya bisa mengikuti talkshow, diskusi, dan bahkan mendengarkan lagu-lagu lawas yang sering diputar di stasiun tertentu. Bagaimanapun, mendengarkan radio tetap terasa berbeda. Memang beginilah seharusnya perkembangan teknologi. Tidak sekadar menawarkan kemudahan, tetapi juga meningkatkan efisiensi tanpa meminggirkan urusan hati dan memori ... *hallahh


2. Mengunduh lagu, buku, komik gratis
Bagi saya, ini seperti harta karun … hehe. Saya sering sekali berburu e-book  gratis untuk dikumpulkan dan dibaca terutama kalo sedang tongpes (kantong kempes) dan tidak ada duit untuk beli buku. Sudah lumayan banyak koleksinya. Sebagian besar adalah buku dan komik lama yang dulu pernah dibaca, tapi tidak punya bukunya satu pun karena waktu itu hanya pinjam teman atau sewa dari taman bacaan. Kalo senggang, saya bisa melihat-lihat dan membacanya lagi.

Begitu juga dengan lagu-lagu. Internet benar-benar memberikan kemudahan untuk mencari dan menemukan lagu-lagu yang kita inginkan, dari zaman baheula  sampai sekarang. Sukaaaa ...

Lagi-lagi bernostalgia.


3. Blogging
Kedua poin di atas mungkin tidak ada hubungannya dengan ke-eksis-an, tapi poin ketiga ini jelas ada hubungannya. ^_^

Tidak sedikit blogger yang eksis dan terkenal dari nge-blog, bahkan banyak yang blog-nya mendatangkan duit, mulai dari pasang iklan, bergabung dengan program afiliasi, mengikuti PTR (Paid to Review), dan lain-lain. Hhhmmm …. sounds great.

Jumlah blog di Indonesia mencapai 5 juta, bahkan lebih (tentu saja termasuk yang tidak aktif). Jadi, wajar bila ada beragam alasan orang nge-blog. Ada blogger yang menggunakan blog-nya sebagai ajang curhat, berbagi tips dan informasi, atau menumpahkan hobi dan bakat menulis. Benang merahnya, mengelola blog adalah mengasah keterampilan menulis. Apalagi jika kita sering mengikuti Blog Writing Competition, seperti yang diadakan oleh AXIS.






Bagi saya, menulis (melalui media apa pun) adalah tentang meninggalkan jejak. Seperti kita mengabadikan momen penting (senang dan susah) dalam sebuah foto atau video. Menulis pun begitu. Setiap peristiwa dan kenangan juga bisa menjadi abadi dalam tulisan. Dari setiap masa, kita bisa menengok ke belakang, melihat jejak, melalui tulisan-tulisan kita. Blog adalah salah satu wadahnya.


Petik Manfaat: Pelajaran BESAR
Ini sebagai penutup. Bijak jika kita bisa mendapatkan banyak hal (baca: pelajaran) dari setiap hal yang kita lakukan. Online pun sebaiknya begitu.

Misalnya:

Di Facebook, bertemanlah dengan orang-orang yang telah berhasil yang memiliki hobi yang sama dengan kita. Misalnya kita suka menulis, bertemanlah dengan para penulis, syukur bila bisa berteman dengan para penulis yang sudah kondang namanya dan juga bagus karya-karyanya. Sejauh yang saya amati, orang-orang seperti ini biasanya tidak asal-asalan pasang status dan note. Ambil pelajaran sebanyak-banyaknya dari mereka. Atau, kita juga bisa membaca pengumuman lomba menulis yang banyak di-share di FB dan mengikutinya. Jadi, ketika buka Facebook, kita tidak hanya pasang status galau melulu. Hehe ….

Atau di Twitter, ­follow-lah orang-orang dan komunitas yang bisa mendatangkan manfaat untuk kita. Misalnya, kita suka baca, kita bisa follow komunitas-komunitas baca, mengikuti kuis-kuis buku, dan sebagainya. Berapa kali pun kita nge-tweet dalam sehari, lebih baik bila kita bisa sambil belajar hal-hal lain.

Ini baru namanya online cerdas. ^_^

Rabu, 22 Februari 2012

200 Tahun Charles Dickens [3]: Butterfingers

Kira-kira lima tahun belakangan, saya berlangganan idiom (berbahasa Inggris) melalui surel. Idiom adalah frasa atau gabungan kata yang membentuk arti baru yang biasanya tidak berhubungan dengan kata pembentuknya. Contohnya dalam bahasa Indonesia adalah kambing hitam (orang yang menjadi tempat pelimpahan kesalahan)  dan jago merah (api dalam kebakaran).

Selama ini, idiom dikirimkan seminggu sekali, biasanya setiap Jumat. Yang saya suka, idiom tersebut tidak hanya dijelaskan maknanya, tetapi juga asal-usulnya; misalnya siapa yang mencetuskan pertama kali atau di buku apa disebutkan pertama kali. Tidak hanya menambah simpanan kosakata, tetapi juga menambah pengetahuan. Ini sangat bermanfaat, terutama jika kita sehari-harinya berkutat dengan penerjemahan dan penyuntingan. ^_^

Beberapa waktu lalu, kiriman sempat tidak datang teratur, bahkan sempat terhenti sesaat, tetapi sekarang sudah rutin kembali. Jika dikumpulkan sampai hari ini mungkin sudah lebih dari 200 idiom yang saya terima, ada yang baru (belum ada di kamus), ada juga yang lama. Sayang sekali saya belum bisa meluangkan waktu khusus untuk mengarsip semuanya. Hehehe (*alasan)  :D

Awal bulan ini, bertepatan dengan minggu perayaan dua abad Charles Dickens, idiom atau frasa yang dikirimkan adalah yang “diciptakan” oleh Dickens. Tidaklah sulit menemukan “frasa yang Dickens banget” karena Dickens berada di peringkat enam dalam daftar “jumlah kata dalam bahasa Inggris yang diciptakan sendiri oleh seorang penulis”.

Kata tersebut adalah butterfingers.





Butterfingers
Butterfingers adalah ejekan bagi seseorang yang gagal menangkap bola atau sering tak sengaja menjatuhkan barang dari tangan mereka. (Di kamus Inggris-Indonesia karangan Peter Salim ada kata ini).

Charles Dickens menggunakan kata ini pertama kali pada tahun 1836, tidak persis sama karena Dickens menuliskannya dengan tanda hubung, butter-fingers. Kata ini terdapat dalam salah satu karya besarnya The Pickwick Papers (lebih tepatnya The Posthumous Papers of the Pickwick Club):

Setiapa kali gagal menangkap dan menghentikan bola, dia melontarkan ketidaksenangannya kepada si biang kekacauan dengan cacian seperti, ‘Ah, ah!-Stupid’ – ‘Now, butter-fingers’ – ‘Muff’ – ‘Humbug’ – dan sebagainya.


Meskipun sejumlah pakar meyakini kata ini “ditemukan” oleh Dickens, ternyata kata ini sudah pernah disebut sebelumnya, yaitu di koran The Leeds Intelegencer dari Yorkshire yang terbit pada Mei 1823 (lebih awal dari Pickwick). Namun, setelah diteliti, ternyata kata ini juga dikutip dari buku langka yang ditulis oleh Gervase Markham pada 1615. Ia menyebut kata ini (tidak persis) ketika menjabarkan tentang resep menjadi ibu rumah tangga yang baik:
“Pertama, dia harus bersih tubuh dan pakaiannya; dia harus memiliki mata yang jeli, penciuman yang tajam, selera tinggi, dan telinga yang peka; dia tidak boleh ‘bertangan licin’ (butter-fingered), gemar makan yang manis-manis …." 


Sampai sekarang kata butterfingers masih digunakan, kebanyakan dalam bidang olahraga untuk mengejek seseorang yang gagal menangkap bola. Tapi ada juga grup musik dan judul film yang memakai kata ini. Bahkan, Nestle memakai butterfinger (tanpa “s”) sebagai nama serangkaian produknya (saya baru tahu), mulai dari permen, cokelat, snack, dan sebagainya. Saya belum pernah mencicipi, tapi melihat gambar-gambarnya sepertinya semua produk Nestle yang memakai nama butterfinger ini berbalut cokelat. Mungkin karena licin di tangan, makanya diberi nama butterfinger. Hehehe.

(Jadi lapar … :D)


*Urusan terjemahan dibantu oleh : Leo Sabath .... ^_^

Dapat Dipercaya

Di pojok alun-alun kidul Yogyakarta, tepatnya di Jl. Patehan Wetan, ada sebuah perpustakaan asyik yang terkenal dengan nama Angkringan Buku. Banyak sekali kegiatan membangun yang digagas Angkringan Buku, mulai dari bincang-bincang buku sampai radio buku. Koleksi bukunya sangat beragam, dari buku anak, novel, sastra, hingga buku-buku sejarah dan biografi. Siapa pun bisa datang dan membaca di situ, tanpa bayar. Gratis euyy …

Mengapa dinamakan Angkringan Buku? Ya karena di perpustakaan itu ada angkringannya. Hehe. Seperti laiknya angkringan pada umumnya, angkringan di Patehan Wetan ini juga hampir sama isinya, ada sego kucing, gorengan, minuman instan, dan sebagainya.

Satu hal yang menarik di angkringan ini adalah sistem kasir terbuka. Angkringan di tempat ini tidak ada yang menunggu atau menjaga. Semua pengunjung mengambil makanan dan minumannya sendiri. Di situ sudah disediakan gelas, sendok, termos berisi air panas, dan juga aneka minuman instan, lengkap dengan daftar harganya. Bikin sendiri yaaahh. Gratis? Tentu saja tidak. Selain mengambil makanan sendiri, membuat minuman sendiri, pengunjung juga harus “membayar sendiri”. Artinya, pengunjung diharapkan memasukkan uang pembayarannya ke kotak yang telah disediakan. Uang kembalian (jika memang uangnya lebih) juga diambil sendiri dari kotak itu. Makanya dinamakan kasir terbuka. 

Cara ini mengondisikan pengunjung (termasuk saya) untuk jujur dan dapat dipercaya. Kalaupun mau ambil makanan dan minuman tanpa bayar, bisa saja. Toh tidak ada orang yang melihat. Tapi, di sinilah karakter kita diuji. Wuuihhh …. bahasanyaaaa … :D

Di dalam perpustakaan ada cooler berisi minuman kemasan dengan sistem kasir terbuka juga. Sudah ada daftar harga dan kotak uangnya. Silakan ambil minum, lihat daftar harga, masukkan uang pembayaran, dan ambil kembaliannya. Pokoke benar-benar “swalayan”.

Namun, sekitar dua minggu  lalu, ketika saya berkunjung ke sana, saya menjumpai hal yang berbeda dari biasanya. Di angkringan sudah tidak ada lagi makanan dan minuman. Di cooler juga tinggal satu dua minuman kemasan. Hhmmm … ada apakah gerangan? Semoga hanya karena stoknya habis dan belum belanja, atau mungkin mau ganti dengan sistem  baru. Yang penting semoga bukan karena pengunjungnya (saya termasuk di dalamnya) adalah orang yang tidak bisa dipercaya.

Sayang sekali.

Jumat, 10 Februari 2012

200 Tahun Charles Dickens [2]: yang menggelikan sekaligus miris di Oliver Twist



Novel Charles Dickens yang satu ini sudah berulang kali difilmkan, menurut yang saya baca sudah 15 kali. Yang terbaru adalah tahun 2005. Ada juga yang “keluaran” 2007, tapi itu berupa TV series. Di film ini, yatim piatu Oliver Twist diperankan oleh Barney Clark (ganteng dan imut … hehe).

Kondisi masyarakat di Inggris waktu itu (abad ke-19) digambarkan sangat menyedihkan, apalagi untuk anak yatim piatu. Mereka  tinggal di panti sosial di bawah pengawasan semacam Dinas Sosial pemerintah dan ditunjang oleh pemerintah. Panti sosial yang seharusnya menjadi tempat bernaung dan berlindung jauh dari kriteria nyaman; ditambah ada “sunatan” anggaran makanan dan kebutuhan oleh orang-orang yang tidak mau mengerti kesusahan anak-anak itu. Jadi, bisa dikatakan, kelaparan adalah kawan karib.

Ada satu adegan di bagian awal film ini yang menggelikan, tetapi sebenarnya miris, yaitu adegan di panti sosial tempat Oliver tinggal bersama anak-anak lain. Waktu menjelang tidur, ada satu anak laki-laki yang tidak bisa tidur, namanya Tom. Ia hanya mondar-mandir. Suara langkah kakinya yang berisik tentu saja mengganggu anak-anak lain. Di novelnya [seingat saya], adegan ini sebenarnya hanya berupa narasi, bukan dialog. Tapi di filmnya, karena dibuat dialog, kesan kegelisahan dan penderitaan mereka lebih tertangkap.


Teman:  Tom, berhenti. Kami mau tidur.
Tom (suaranya bergetar): Aku tak bisa tidur. Terlalu lapar.
Teman: Kita semua lapar.
Tom: Ya, tapi aku takut.
Teman: Takut? Kenapa?
Tom: Kenapa??? Aku lapar sekali. Aku takut akan memakan anak yang tidur di sebelahku.


Di akhir adegan diperlihatkan (tanpa kata-kata) bahwa anak yang tidur di sebelah Tom adalah Oliver. 


“To a young heart everything is fun.”  ― Charles Dickens

Senin, 06 Februari 2012

200 Tahun Charles Dickens [1]: Google Doodle

“There is nothing in the world so irresistibly contagious as laughter and good humor.”  ― Charles Dickens, A Christmas Carol


200 tahun lalu, 7 Februari 1812, “calon” penulis besar dunia, Charles Dickens , lahir di Inggris. Nama lengkapnya Charles John Huffam Dickens. Ia dikenal sebagai penulis roman dan reformis pada era Ratu Victoria. Banyak tulisannya yang mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi sosial masyarakat ketika itu. Hingga sekarang, karya-karyanya masih banyak dibaca dan diadaptasi.

Google doodle hari ini didedikasikan khusus untuk merayakan dua abad Dickens. Doodle yang istimewa karena tersusun dari beberapa karakter dalam novel Dickens, seperti Scrooge (karakter atau tokoh utama dalam novel, film, dan drama A Christmas Carol), Bob Cratchit (pegawai Ebenezer Scrooge yang hidupnya menderita dan diperlakukan sewenang-wenang), juga karakter-karakter dari novel yang lain, misalnya dari Great Expectations, A Tale of Two Cities, Little Dorrit, dan sebagainya. Semuanya dipadukan bersama latar belakang yang khas dan huruf g-o-o-g-l-e yang senada. Jika gambarnya di-klik, Google akan langsung menampilkan link-link “menuju” karya-karya Dickens.




Google selalu membuat doodle untuk tokoh-tokoh terkenal, atau peristiwa tertentu, dan hari raya tertentu. Penulis besar lain yang juga pernah di-doodle-kan oleh Google, antara lain Mark Twain yang kondang dengan The Adventures of Tom Sawyer dan The Adventures of Huckleberry Finn.

dari cerita The Adventures of Tom Sawyer


Juga, sastrawan besar Rusia Fyodor Dostoyevsky.

^_^