Stomach cannot wait. Perut tidak bisa menunggu.
Meskipun disitir Bung Karno bertahun-tahun silam, ungkapan tersebut masih bisa kita lihat relevansinya dengan kondisi masyarakat sekarang. Memang perut bukan urusan satu-satunya; dan bukan berarti ketika perut kenyang segalanya menjadi beres. Namun, urusan perut menjadi pertimbangan penting dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu, misalnya dalam hal pendidikan dan kesehatan.
Angka anak putus sekolah karena alasan ekonomi (baca: perut) cukup menyentak kesadaran kita. Angka anak putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia masih di atas satu juta siswa per tahun. Belum lagi data yang menunjukkan bahwa provinsi dengan tingkat pendapatan rendah cenderung memiliki angka putus sekolah yang juga tinggi. Bahkan yang membuat prihatin, tidak sedikit anak sekolah yang sengaja tidak mengikuti ujian nasional karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan bisa melanjutkan sekolah. Mereka harus bekerja karena tuntutan ekonomi (baca: perut).
Perut tidak bisa menunggu; orang lapar—kelaparan—akan mengerahkan upaya untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Bila ingin disederhanakan, bagaimana akan bersekolah dan belajar bila perut lapar?
Memang ini masalah klasik, tetapi bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa.
Bermenung dan Beraksi
Jutaan anak putus sekolah. Jutaan rakyat terpaksa hidup di kampung kumuh. Bahkan pada akhir 2009, lebih dari 100 kabupaten di Indonesia masih memiliki penduduk yang terancam gizi buruk. Belum lagi masalah kesehatan yang terpinggirkan karena lagi-lagi alasan ekonomi. Data ini akan tinggal data dan wacana jika tidak disertai aksi nyata. Bahkan tulisan ini tidak lebih dari sekadar barisan huruf-huruf bila saya hanya menulis dan tidak beraksi.
Kita membaca bahwa di Swedia, Norwegia, Finlandia, dan Denmark, para pejabat tingginya pergi ke kantor dengan naik sepeda, berjalan kaki, atau dengan kendaraan umum. Atau Presiden Filipina yang rela bermacet ria di jalan sebagai wujud solidaritas kepada rakyatnya (Jean Zieglar, Les Nouveaux Maitres, 2002). Sementara, di sini muncul berita tentang pembelian mobil dinas seharga 1,3 miliar untuk para pejabat negara kita. Disandingkan dan dibandingkan? Tragis, mengiris, ironis.
Kita juga membaca pemerintah berprestasi meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi, menurunkan angka kemiskinan, dan menekan praktik korupsi. Namun, kita masih melihat banyak orang tinggal di pemukiman kumuh atau hidup dengan kondisi ekonomi terpuruk. Bahkan ada yang tidak memiliki uang untuk berobat. Artinya, semua program pemerintah yang dijalankan belum menyentuh semua elemen.
Seperti perut tidak bisa menunggu, kita juga tidak perlu menunggu. Tidak perlu menunggu program pemerintah atau momen yang pas. Kita bisa meraih orang-orang di sekitar kita dengan cara sederhana, tentu saja semampu kita. Berbagi makanan. Membantu sedikit biaya pengobatan. Memberikan informasi dan peluang bekerja atau menambah pendapatan. Ini bisa menjadi bantuan kecil yang berarti. Kuncinya adalah tidak muluk-muluk, tetapi menyentuh kebutuhan. Tidak perlu jauh-jauh, tetangga sekitar bisa menjadi pertimbangan pertama.
Satu hal penting yang tidak boleh dihilangkan jika kita ingin masalah di atas tidak menjadi fenomena gunung es—hanya terlihat kecil (dan sepele) di permukaan, padahal di dalamnya menyimpan bahaya—, yaitu semangat kerelaan dan pengorbanan. Dan semangat ini dilandasi kuat oleh rasa kepedulian.
Kebaikan dan kepedulian (meski kecil) tidak hanya menyentuh, tetapi juga menular. Mari kita menularkannya.
*Bahana, November 2011
Tidak ada komentar :
Posting Komentar