Senin, 30 Januari 2012

Tiga Manula

Buku yang bikin ketawa ini saya dapat secara gratis, eh, diskon seratus persen. Ada bedanya lho. Kalo gratis, saya tidak keluar uang sama sekali. Sementara diskon seratus persen artinya harga buku itu memang nol rupiah, tapi saya harus bayar ongkos kirimnya. Tetap aja termasuk murah karena ongkos kirimnya jauh di bawah harga bukunya.

Saya mendapat buku itu hanya dengan mendaftar promonya di Facebook menggunakan nomor Telkomsel, dengan sistem tukar poin. Itu pun meminjam nomor teman. Hehe.
Setelah mendaftar untuk mendapatkan diskon seratus persen, seharusnya saya selalu cek email untuk mengetahui konfirmasi dan informasi selanjutnya dari Kepustakaan Populer Gramedia. Begitu konfirmasi via email diterima, pembayaran ongkos kirim harus dilakukan dalam waktu 2x24 jam. Di luar itu hangus atau musti mendaftar ulang. Sayang waktu itu saya sakit beberapa hari dan tidak tahu kalau sudah menerima email konfirmasi. Kecewa deh ....
Tapi, beberapa hari kemudian saya ditelepon Gramedia bahwa saya masih punya kesempatan mendapatkan buku Tiga Manula dengan diskon seratus persen. Asik asik, lumayaaannn.



Tiga Manula Jalan-jalan ke Singapura
Jika Anda akrab dengan kartun Benny-Mice di Kompas Minggu, Anda pasti mengenali karakter kartun dalam buku ini. Mirip!

Tiga Manula Jalan-jalan ke Singapura adalah karya terbaru Benny Rachmadi. Komik segar dan lucu ini mengisahkan tentang tiga manula yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda. Adalah Liem, seorang etnis Tionghoa dan juga pebisnis. Yang kedua adalah Sanip, seorang Betawi muslim yang digambarkan selalu memakai kopiah. Yang ketiga adalah Waluyo, orang Jawa yang nJawani. ^^

Ceritanya, Liem mentraktir dua sahabatnya itu, Sanip dan Waluyo, jalan-jalan ke Singapura. Lelucon segar bertebaran di sana sini membuat pembaca senyum-senyum sendiri. Misalnya ketika mereka berada di pesawat, Waluyo merasa pusing dan memakai PPO yang aromanya membuat semua penumpang "mabuk kepayang".

Contoh lain adalah ketika mereka sampai di Merlion Park. Saat Liem tengah berapi-api menceritakan tentang patung Merlion itu, Sanip dan Waluyo malah nyemplung berenang di kolamnya.

Di beberapa bagian, ada juga sentilan-sentilan yang tetap dikemas dalam bentuk guyonan. Misalnya tentang berbagai tujuan orang datang ke Singapura, dari belanja, berobat, urusan bisnis, sampai melarikan diri bersama uang hasil korupsi.

Melalui Liem, Sanip, dan Waluyo, sebenarnya pembaca juga diajak untuk mengenal kondisi sosial masyarakat Singapura, untuk kemudian secara pribadi membandingkannya dengan kita. Misalnya, bagaimana di sana tidak boleh merokok di tempat umum; dan sudah disediakan tempat khusus untuk merokok. Jadi, orang yang tidak merokok atau tidak suka asap rokok tidak perlu khawatir. Di sana juga ada aturan khusus ketika menyeberang jalan, yang beda sekali dengan di sini. O, ya, di sana ternyata Blackberry tidak setenar iPhone. Mereka sudah beralih ke iPhone, ipad, dan tablet.

Selain berisi ide segar dan lucu, buku ini sebenarnya bisa menjadi tour guide sederhana jika Anda akan bepergian ke Singapura karena di buku ini tertulis tempat-tempat yang wajib dikunjungi jika kita berlibur ke Singapura, juga tempat makannya.

Bacalah ...

Dua Bata Jelek

Sungguh terinspirasi dengan kisah dua bata jelek dalam buku Ajahn Brahm, Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya. Kisah ini berasal dari pengalamannya menjadi biksu yang bersama teman-temannya harus membangun sendiri wihara mereka. Karena tidak terbiasa melakukan pekerjaan tukang bangunan, Ajahn Brahm melakukan kesalahan ketika memasang batu bata. Dalam keseluruhan tembok yang didirikannya dengan seribu batu bata, ada dua bata yang tidak pas posisinya. Jadi, di tembok itu, dua bata tersebut kelihatan mencolok karena jeleknya. Setiap ada orang yang berkunjung ke wihara mereka, ia selalu berusaha supaya orang-orang tidak melihat tembok dengan dua bata jelek itu.

Hingga suatu kali, seorang pengunjung melihat tembok itu dan memujinya. "Tembok yang indah," katanya. Ajahn Brahm kaget, tak percaya. “Apakah Anda tidak melihat dua bata jelek yang merusak tembok itu secara keseluruhan?” Ajahn Bran bertanya.

“Ya, saya bisa melihat dua bata jelek itu. Tetapi saya juga melihat 998 bata yang bagus.”

Jawaban itu menghentak dan menyadarkan Ajahn Bram.


Seketika saya menurunkan buku yang saya baca dan terhenyak. Betapa saya juga sering seperti itu. Saya selalu sibuk memikirkan kesalahan yang saya lakukan dan keburukan yang saya miliki. Saya lupa bahwa Tuhan memberi saya begitu banyak kebaikan yang layak dan harus saya syukuri. Saya melupakan 998 batu bata bagus dalam diri saya. Fiuhhh ….

Pun kepada orang lain. Betapa saya juga lebih sering melihat kesalahan dan keburukan mereka. Padahal mereka juga memiliki 998 batu bata bagus.

Entah kenapa saya jadi ingat ikan bandeng ... he ... he ... he .... Saya tidak terlalu suka ikan bandeng karena durinya. Ribet banget makannya. Kecuali bandeng presto, tentu saja. Namun, setelah membaca kisah batu bata jelek itu saya jadi membandingkan. Lebih banyak mana, duri ikan bandeng atau daging ikan bandeng? Ha ha ha. Saya menertawai diri sendiri. Tentu saja lebih banyak dagingnya. Jadi, kenapa saya harus fokus pada durinya?

Berkat batu bata jelek itu, mungkin saya jadi lebih suka ikan bandeng.
Semoga ..... ^_^

Bersabar dalam Amarah

Bersabar dalam amarah? Pasti bercanda. Dulu saya pikir sabar dan marah adalah dua hal yang sama sekali tidak berhubungan. Maksudnya, sabar ya sabar. Marah ya marah. Mana bisa marah kok sabar? Prinsip ini ternyata malah membuat saya menuai keadaan yang semakin runyam, suasana hati yang makin tak keruan. Semua yang ada di sekeliling saya semakin karut-marut. Saya sebenarnya tahu, bila orang lain marah kepada saya dan saya ikut marah, kemarahan orang itu akan semakin besar. Membesarnya kemarahan orang itu akan membuat kemarahan saya bertambah. Bertambahnya kemarahan saya membuat kemarahan orang itu memuncak. Runyamlah jadinya. Berkali-kali begini, tapi kok masih saja ikut marah.

Sampai suatu ketika cerita anak-anak menempelak kesadaran saya. Cerita itu tentang monster amarah. Berbeda dengan monster "kebanyakan", monster ini tidak memangsa daging atau darah, apalagi nasi dan roti. Monster ini hanya memangsa kemarahan orang. Setiap kali orang di dekatnya marah, monster itu bertambah besar dan kuat.

Dikisahkan, suatu hari monster itu masuk ke sebuah istana dan membuat ulah yang menyebalkan seluruh penghuni istana. Orang-orang mulai marah, membentak, menghardik, bahkan mengusir siluman itu. Alih-alih pergi, monster itu justru semakin enjoy. Parahnya, monster itu malah semakin besar, kuat, dan mengerikan. Semakin mereka marah, semakin monster itu membesar, dan semakin sulit mereka mengusirnya pergi.

Persis seperti yang saya alami. Semakin saya marah, kemarahan itu terasa semakin dalam bercokol dalam hati. Pikiran-pikiran buruk mulai bermunculan. Perkataan tak menyenangkan tak jarang menyusul meluncur. Runyam, runyam, runyam.

Namun, di tengah karut marut suasana istana akibat kehadiran monster itu, sang raja tetap tenang. Di hadapan monster mengerikan itu raja berkata, "Selamat datang. Apakah pelayan-pelayan saya sudah menjamu makanan dan minuman enak untukmu?"

Ajaib! Ucapan lembut dan sikap baik raja itu membuat monster itu menyusut. Para pelayan yang tadinya garang berubah menjadi lembut. Perlakuan baik dari para pelayan semakin membuat tubuh monster itu menyusut. Semakin banyak ucapan lembut dan perlakukan baik yang diterimanya membuat tubuh monster itu kian menyusut, menyusut, dan menyusut. Ukurannya telah menjadi sangat kecil, nyaris tak terlihat. Satu lagi perkataan baik diterimanya, monster itu sudah lenyap tak berbekas.

Bersikap baik kepada orang, apalagi kepada orang yang sudah membuat kita sakit, repot, dan sedih, pasti sangat sulit. Marah sepertinya adalah satu-satunya cara untuk menghadapinya. Namun, ketika ternyata keadaan menjadi lebih rumit, masihkah marah menjadi alternatif terbaik? Saya rasa tidak.

Saya sudah mempraktikkan cara raja itu menghadapi monster amarah itu. Awalnya sangat sulit. Tapi sulit bukan berarti tidak bisa diatasi. Ketika monster amarah datang, saya sudah mempersiapkan amunisi terbaik: sikap dan perkataan yang baik. Dan, bim salabim ... saya tidak hanya bisa mengatasi keadaan itu, saya malah lupa bahwa saya sedang "seharusnya" marah.

Sampai hari ini saya masih belajar untuk menjadi tuan rumah yang baik setiap kali monster itu datang. Kemarahan tidak pernah muncul tanpa alasan, tetapi alasannya hampir tidak pernah benar. Artinya, tidak ada alasan yang bisa membenarkan bahwa saya berhak marah. Ingin sekali bisa sampai pada tahap itu: "kenapa harus marah?"

Cinta dan Pernikahan

Gadis cantik itu duduk tepat di hadapanku. Duduk di sampingnya, seorang laki-laki. Tatapannya penuh cinta pada si gadis. Semoga akan tetap seperti itu, bisikku dalam hati.
Hening. Hanya kami bertiga.

“Apakah cinta itu? Lalu apakah pernikahan itu?” si gadis buka suara.

Kutatap gadis itu lekat. Ternyata aku begitu menyayanginya. Aku mengerjap, menahan mataku yang tiba-tiba memanas.

Aku terdiam. Alih-alih, menanggapi pertanyaannya, kuraih selembar kertas yang terlipat rapi di dompetku. Sudah lusuh, batinku. Kubacakan isinya untuk mereka.


“Apakah cinta itu?” Plato bertanya.
Gurunya menjawab:
"Masuklah ke hutan, pilih dan ambillah satu ranting yang menurutmu paling baik, tetapi engkau harus berjalan ke depan dan jangan kembali ke belakang. Saat kau sudah memutuskan pilihanmu, keluarlah dari hutan dengan ranting itu."
Masuklah Plato ke hutan dan keluar tanpa membawa satu ranting pun. Ketika gurunya bertanya, Plato menjawab, "Saya sebenarnya sudah menemukan ranting yang bagus. tapi saya berpikir barangkali di depan saya ada ranting yang lebih baik. Tetapi setelah saya berjalan ke depan ternyata ranting yang sudah saya tinggalkan tadi-lah yang terbaik. Maka saya keluar dari hutan tanpa membawa apa-apa."
Gurunya berkata, "Itulah cinta."
”Lalu, apakah pernikahan itu?” tanya Plato lagi.
"Masuklah ke hutan, tapi kali ini kau harus membawa satu pohon yang menurutmu paling baik dan bawalah keluar hutan."
Maka masuklah plato ke hutan dan keluar membawa satu pohon yang tidak terlalu tinggi, juga tidak terlalu indah. Gurunya bertanya. Jawab Plato, "Saya bertemu pohon yang indah daunnya, besar batangnya ... tetapi saya tidak bisa memotongnya dan pastilah saya tidak bisa membawanya keluar dari hutan .... akhirnya saya tinggalkan. Kemudian saya menemukan pohon yang tidak terlalu buruk, tidak terlalu tinggi, dan saya pikir saya bisa membawanya karena mungkin saya tidak akan menemukan pohon seperti ini lagi di depan sana. Akhirnya, saya pilih pohon ini karena saya yakin mampu merawatnya dan menjadikannya indah."
Lalu sang guru berkata, "Itulah pernikahan."


Kuelus rambutnya, kurapikan poninya, seperti waktu ia kecil dulu. Kutahan rinduku untuk memeluknya—sesuatu yang “tak disukainya”. Kurengkuh lembut tangannya, “Ketika kamu menikah, kamu tidak mencari yang sempurna, tetapi untuk menjadi sempurna. Dan untuk itu, kamu hanya perlu mencintai, tanpa alasan.”


Duk … duk …. duk …
Ada sesuatu membentur-bentur kepalaku. Kulirik, Franklin dan Lingkungan.
“Mamah …. Mamah ….”
Lho, suara itu.
Kudongakkan kepalaku sedikit.
Lho, wajah itu.
Ternyata ….

^_^

Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya





Judul: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya
Penulis: Ajahn Brahm
Penerbit: Awareness Publication
Jml. hal. : xvi + 308

Don't judge a book by its cover.
Untuk buku ini saya tambah: Don't judge a book by its title. Judul buku ini memang membuat kita otomatis membayangkan cacing dan kotorannya. Tidak menarik. Tapi, jangan salah.


Buku ini ditulis oleh ilmuwan muda, cerdas, dan berbakat yang meninggalkan semua kenyamanan hidup untuk menjadi seorang biksu di Thailand. Kehidupannya yang begitu bersahaja sebagai biksu dan lingkungan wihara yang damai membuatnya menemukan ketenangan dan kedamaian yang sesungguhnya. Ia memaknai setiap pengalaman dan kejadian dalam hidupnya secara sederhana, tetapi mendalam dan menyentuh.

Sebagai biksu, ia acap kali bepergian ke luar kota, ke luar negeri, atau menjadi pembicara. Semua pengalaman, perjalanan, dan perjumpaannya ia tulis dalam buku ini. Setiap tulisannya singkat, tetapi sarat makna dan pembelajaran. Sering kali, bahkan diselingi dengan humor segar. Kata-kata yang dipakai sederhana, tidak muluk-muluk, tetapi setiap kali selesai membaca satu tulisan, saya selalu menarik kedua sudut bibir saya, tersenyum. Tersenyum mengiyakan ataupun tersenyum menertawakan diri sendiri. Mantap!

Ia menuturkan dengan lugas dan cerdas, sekaligus bernas mengenai hal-hal yang terjadi dalam kehidupannya sehari-hari, pun kehidupan kita. Bagaimana kita menyikapi kesempurnaan, kesalahan, bahkan kegagalan. Bagaimana kita membina cinta dan komitmen. Bagaimana kita mengatasi rasa sakit dan takut. Bagaimana kita menghadapi kemarahan dan memaafkan. Bagaimana kita menciptakan kebahagiaan kita sendiri. Bagaimana kita menghadapi penderitaan dan kematian. Semuanya begitu dekat dengan keseharian kita. Namun, cara Ajahn Brahm menuturkan dan menyelipinya dengan nilai-nilai hidup begitu menyentuh sampai ke kedalaman hati.

Lalu kenapa "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya"? "Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya" hanyalah satu cerita di antara 107 cerita lain dalam buku ini. Cerita yang memungkas buku ini menjadi senarai kisah yang bersahaja dan bermakna.

Inspiratif!

Ping

Judul: PING
Penulis: Stuart Avery Gold
Penerbit: BIP
Jml. hlm. 82 halaman









Ada satu hal yang tidak bisa dihindari oleh setiap insan di dunia fana ini, yaitu perubahan. Siapa yang akan menyangkalnya? Saya yakin tidak ada. Perubahan dalam hidup pasti ada, bisa berarti kemajuan ataupun kemunduran. Semuanya harus dihadapi, disikapi, diatasi, dan diperbaiki tentu saja.
Perubahan—perubahan besar—selalu menggelisahkan. … Perubahan itu dapat menciptakan kebingungan, keraguan, kemarahan, kecemasan, dan keputusasaan. Rasa takut akan perubahan bisa mencengkeram Anda dengan kekuatan yang begitu besar sehingga akan melumpuhkan Anda. Tetapi hanya jika Anda mengizinkannya. (hlm. 10)

Buku ini adalah tentang itu. Pertama kali melihat kaver buku ini dan membaca backcover-nya, yang pertama kali terlintas adalah buku Spencer Johnson yang fenomenal, Who Moved My Cheese? Keduanya bicara tentang bagaimana kita menyikapi dan mengantisipasi perubahan yang tidak bisa kita hindari. Hanya saja tokohnya berbeda.

PING, judul buku ini, adalah sekaligus nama tokoh utama di dalamnya. Ia adalah seekor katak penghuni kolam yang berpetualang untuk mencari kolam baru. Sebagai pelompat ulung, ia resah bila lingkungan sekitarnya sudah tidak memungkinkannya untuk menjadi pelompat ulung. Di kolam lama-nya, airnya tinggal sedikit. Ini membuatnya sulit untuk melompat. Perubahan inilah yang membuatnya memutuskan untuk meninggalkan kolam lamanya, zona nyamannya, untuk mencari kolam baru.

Perjalanan Ping mencari kolam baru sebenarnya menggambarkan perjalanan spiritual kita dalam hidup ketika kita menghadapi berbagai masalah dan perubahan. Burung hantu yang dijumpai Ping di jalan tidak hanya menuturkan kebijakan dan kebajikan kepada Ping selama perjalanannya, tetapi juga bicara kepada kita.

Meninggalkan kolam lama yang pastinya sudah memberikan kenyamanan kepada Ping tentu saja berisiko. Ping sadar itu. Namun, Ping juga sadar bahwa risiko itu memang harus diambil, atau ia akan mendapati risiko yang lebih besar. Pun kita. Ini soal pilihan; pilihan untuk meninggalkan masa lalu, menghadapi masa depan, dan melahirkan gagasan besar yang baru tentang hidup. Karena hidup adalah milik kita, untuk dijalani dengan penuh tujuan. Hidup yang berdasarkan pilihan, bukan peluang.

*sebenernya dulu pernah menulis resensi buku ini dan dimuat di harian Kedaulatan Rakyat, tapi lupa filenya di mana ... hehe 

Dimakamkan dengan Nama yang Salah

“Sekarang kami tahu,” kata petugas koroner itu, “bahwa orang yang selamat dalam kecelakaan yang sekarang sedang terbaring di rumah sakit itu dan dikenali sebagai Laura Van Ryn sebenarnya bukan Laura. Kenyataan ini dipastikan malam ini melalui catatan giginya.” … “Kami punya alasan untuk percaya bahwa putri Anda mungkin asih hidup.”
“Tidak. Tidak. Tidak mungkin. Kami sudah menguburkannya,” kata Colleen. Dalam keadaan setengah terbangun, ia mengira petugas koroner itu mengatakan bahwa Whitney masih hidup ketika ia dimasukkan ke dalam peti matinya, berarti keluarga mereka telah menguburkannya dalam keadaan hidup. Pemikiran itu membuatnya sangat ngeri. Petugas koroner itu segera menjelaskan kembali maksudnya. “Kami punya alasan untuk percaya bahwa gadis yang dikenali sebagai Laura Van Ryn, sebenarnya adalah putri Anda Whitney Cerak.”


***

Kehilangan seorang anak pasti mengerikan rasanya. Tapi tiba-tiba mengetahui bahwa anak yang selama ini diyakini sudah meninggal dalam kecelakaan ternyata masih hidup mungkin lebih mengerikan. Dan menyadari bahwa gadis yang mereka makamkan ternyata bukan putri mereka mungkin jauh lebih mengerikan.

Bila mau dibandingkan, mungkin akan jauh jauh lebih mengerikan begitu mengetahui kenyataan bahwa gadis yang sedang meregang nyawa di rumah sakit ternyata bukan putrinya, dan sesungguhnya putrinya sudah meninggal dalam kecelakaan yang menimpanya.

Jika disuruh memilih, pasti tidak akan ada yang memilih salah satunya. Tapi itulah kenyataan yang dialami oleh dua keluarga yang putrinya tertukar identitasnya dalam satu kecelakaan pada 26 April 2006 di Indiana I-69 yang menimpa beberapa mahasiswa Taylor University.

Mengharu biru mengikuti kisah mereka; bagaimana bisa Whitney disangka Laura dan Laura disangka Whitney, bagaimana Whitney harus menghadapi kenyataan baru dengan “identitas orang lain” yang dilekatkan padanya, bagaimana keluarga Laura harus menghadapi kenyataan bahwa gadis yang mereka tunggui di rumah sakit dengan penuh harap akan kesembuhannya ternyata bukan putri mereka dan ternyata putri mereka sudah meninggal dalam kecelakaan itu, dan bagaimana keluarga Whitney harus berhadapan dengan kenyataan putri mereka ternyata masih hidup dan ternyata mereka memakamkan “gadis yang salah”.

Kisah ini menjadi suatu kesaksian luar biasa dari keluarga Van Ryn (Keluarga Laura) dan Cerak (keluarga Whitney). Mereka tetap teguh dalam iman mereka di tengah pergumulan yang berat bahkan saat mereka mengetahui kenyataan sebenarnya tentang kesalahan identitas, mereka tetap beriman kepada Tuhan.

Kisah tentang bagaimana dua gadis, Laura Van Ryn dan Whitney Cerak, bisa tertukar satu sama lain mungkin terdengar fantastis dan tidak bisa dipercaya, tetapi bukan itu cerita yang sebenarnya di sini.

Buku ini benar-benar bercerita tentang bagaimana Allah telah menopang dua keluarga melalui kemurahan-Nya. Peristiwa ini bisa dilihat sebagai tragedi semata atau peringatan akan anugerah dan misteri kehidupan yang tak dapat diduga.


***

Kecelakaan dan semua yang terjadi setelahnya telah mengubah diriku. Aku adalah satu-satunya orang yang aku tahu pernah mendengar cerita tentang pemakamanku sendiri. Itu cukup aneh. Aku mengalaminya satu kali, dan satu kali sudah lebih dari cukup.—Whitney Cerak

Pray for Indonesia

Pray for Indonesia. Kata-kata ini begitu karib dengan kita, terutama beberapa bulan silam ketika duka kembali menyelimuti Indonesia. Tiga kata yang digemakan untuk menghadirkan satu semangat: semangat untuk tetap berharap.

Masih lekat di ingatan, peristiwa ketika Merapi memuntahkan material vulkanik dan Mentawai diempas tsunami. Belum lagi banjir Wasior. Ketiganya terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Harta dan nyawa direnggut bersamaan, menyisakan kepedihan dan kekhawatiran. Pedih karena kehilangan keluarga dan harta; khawatir apakah kehidupan bisa pulih seperti sedia kala. Menyaksikan tayangannya di televisi saja sudah membuat bergidik, tak berani membayangkan bila mengalaminya sendiri.

Belum beranjak duka di hati, ada SMS beredar mengenai letusan dahsyat Merapi yang memancing kepanikan orang-orang, bahkan yang berada di radius lebih dari 30 kilometer dari Merapi. Masih ditambah SMS yang beredar tentang rentetan bencana yang melanda Indonesia yang terjadi dalam tanggal yang hampir bersamaan. Demikian kira-kira bunyi SMS tersebut:
Tsunami Aceh 26, gempa Jogja 26, gempa Tasik 26, tsunami Mentawai 26, Merapi meletus 26. Ada apa dengan tanggal 26?

Itu masih ditambah dengan pemberitaan di televisi yang dinilai khalayak malah menambah kekhawatiran, alih-alih menenangkan keadaan. Kekhawatiran demi kekhawatiran membuat kita berpotensi dilanda krisis—krisis harapan. Harapan akan ketenangan; harapan akan keadaan yang lebih baik. Di tengah-tengah krisis ini, muncullah seruan serempak yang diawali di dunia maya: Pray for Indonesia.

Awalnya, masih simpang siur siapa yang pertama kali menggelindingkan semangat Pray for Indonesia, hingga akhirnya ada dialog seputar munculnya Pray for Indonesia dan komunitas yang mencetuskannya. “Doa adalah hal paling kecil dan bisa dilakukan semua orang secara spontan,” demikian kata seorang anggota komunitas yang dibentuk pada Mei 2010 ini. Rentetan bencana Wasior, Mentawai, dan Merapi membuat Pray for Indonesia berkumandang kian kuat sebagai isyarat harapan untuk bangkit dari keterpurukan. Tak heran bila simbol pita hitam, gambar Garuda Pancasila, dan tulisan “pray for Indonesia” tersemat di banyak website.

Pray for Indonesia sungguh memikat haru dan iba orang di seluruh dunia. Kita bisa menyaksikan dan membaca tentang hal ini di internet. Ada facebooker yang kemudian memilih simbol ini untuk menggantikan foto profilnya. Bahkan, pray for Indonesia sempat menjadi trending topic di Twitter. Simpati dan empati bertebaran untuk menyampaikan betapa duka para korban adalah duka kita bersama. Artis dunia pun menyatakan simpatinya dan turut menyerukan Pray for Indonesia, di antaranya:
“Just found out about the earthquake in Indonesia. Everyone please pray for the people there. #prayforindonesia.” —Justin Bieber
“My heart goes out to all those affected by the quake and the volcano eruption in Indonesia #lifeisprecious #prayforindonesia.”—Kim Kardashian.
“#prayforindonesia so sad.” —Joe Jonas.
“Indonesia I love you be strong #prayforindonesia.”— Joel Madden
“Just found out about the earthquake... everyone please pray for the people there. #prayforindonesia.”— Johnny Depp 


Tergerak dan Bergerak
Bencana, menurut definisinya, adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, dan penderitaan. Para korban mengalami kesusahan, kerugian, dan penderitaan. Air mata mereka nyata sekali mewakili semua itu. Bencana alam memang selalu meninggalkan kenangan pahit dan duka mendalam.

Akan tetapi, ada pembelajaran di balik itu. Kita bisa lihat banyak sekali orang, instansi, komunitas, dan perusahaan yang tidak hanya tergerak, tetapi juga bergerak untuk membantu para korban. Ada anak yang mengikhlaskan celengannya yang sarat uang. Ada komunitas pengamen kereta api yang merelakan waktu mereka yang berharga untuk mengumpulkan uang bagi para korban. Ada anak-anak kost yang merelakan uang jajan untuk dibelikan barang-barang kebutuhan para pengungsi. Tidak sedikit gereja dan perorangan yang mengupayakan makanan bagi mereka. Banyak relawan yang mau bertaruh nyawa untuk mengevakuasi korban. Seluruh masyarakat dan elemen bahu-membahu meringankan beban dengan memberikan dan menyumbangkan apa pun yang mereka miliki yang sekiranya dibutuhkan oleh para korban. Semua satu suara untuk menyerukan solidaritas tanpa batas.

Ini pembelajaran besar bagi kita bersama. Bagi yang mengalami, peristiwa bencana menegaskan bahwa kita tidak pernah sendirian. Setiap tangan yang terulur bisa menjadi bukti atas hal itu. Bagi yang membantu, peristiwa bencana menyentuh kesadaran kita bahwa kita bisa menjadi lebih berguna bagi orang lain.

Doa
Sesungguhnya dampak bencana alam tidak hanya dirasakan oleh para korban. Banyak pihak yang terkena imbasnya secara tidak langsung yang juga menimbulkan permasalahan tersendiri. Kasus bencana Merapi bisa menjadi contoh. Letusan Merapi dan dampaknya ternyata juga memicu kelesuan di Malioboro yang menyulitkan para pedagang di sana. Pasokan sayuran dari lereng Merapi yang otomatis tersendat sempat menyebabkan “kelangkaan” sayuran di beberapa pasar tradisional. Kalaupun ada, harganya melambung. Ini menimbulkan keresahan bagi penjual dan pembeli. Namun, dampak terbesar memang dialami oleh para korban. Tempat tinggal dan mata pencaharian yang tertimbun abu memunculkan kekhawatiran besar bagaimana memulihkan semuanya.

Berbagai fenomena alam seolah selalu menyelipkan kekhawatiran dan ketakutan ke dalam hidup kita. Merapi hanyalah satu contoh di antara sekian banyak fenomena alam di sekitar kita. Kekhawatiran dan ketakutan ini muncul karena kita tidak punya kendali atas fenomena alam yang terjadi. Namun, kita punya kendali penuh atas bagaimana menghadapi dan menyikapinya, bahkan memetik pelajaran darinya. Bencana alam bisa merampas semua harta kita, bahkan keluarga. Kabar baiknya, kita memiliki sesuatu yang tak akan pernah bisa dirampas oleh bencana sedahsyat apa pun, yaitu doa.

Doa adalah bahasa universal, yang bisa dilakukan oleh siapa pun, sebagai bentuk pengakuan bahwa ada Pribadi yang sanggup melakukan segala sesuatu, termasuk memulihkan keadaan kita. Doa adalah ungkapan berserah kepada Dia yang memiliki segalanya. Dialah Tuhan kita. Ungkapan “ketika kita terjatuh hingga bersimpuh, bukankah ini posisi terbaik untuk berdoa?” menunjukkan bahwa ketika kita merasa tidak memiliki apa pun dan tidak berdaya melakukan apa pun, doa menjadi senjata ampuh untuk kita bisa menghadapi dan melewati semua yang terjadi. Doa sungguh mengembuskan penghiburan, meniupkan kekuatan, memompa semangat, dan membersitkan harapan. Pray for Indonesia.


*pindahan dari blog lama ^_^

Ironi Kemewahan

“Omahmu ojo kok pageri beling ning pagerono piring.”


“Orang kaya semakin banyak.” Demikian tutur banyak orang melihat fenomena sosial yang terlihat akhir-akhir ini. Semakin sering kita berpapasan dengan mobil mewah di jalan raya. Semakin padat pusat-pusat perbelanjaan dengan orang-orang yang berbelanja dan menikmati segala fasilitas kemewahannya. Penambahan pusat perbelanjaan di sana sini tetap saja dipenuhi pengunjung. Ini mungkin menjadi semacam pembenaran atas apa yang dirasakan oleh banyak orang bahwa orang kaya semakin banyak. Namun, terasa miris jika pernyataan itu berlanjut dengan, “Tetapi, orang miskin juga semakin bertambah”. Masih banyak kantung kemiskinan di berbagai kota dan tempat di Indonesia. Kita menyaksikan sendiri di televisi atau bahkan melihatnya secara nyata di sekitar kita.

Kemiskinan ini terasa lebih mengiris ketika pemberitaan mencuat mengenai rencana pembangunan gedung baru DPR lengkap dengan spa, kolam renang, dan fasilitas kemewahannya. Ditambah lagi dengan pemberitaan mengenai renumerasi (kenaikan gaji pejabat). Apa ini? Jika ini benar, gelar kehormatan “wakil rakyat” akan terasa semakin kabur dan dipertanyakan. Kondisi masyarakat seperti apa yang diwakili dengan kemewahan yang demikian? Sangat disayangkan jika semua yang nampak sangat jauh berbeda dengan keadaan masyarakat yang sesungguhnya.

Sangat terasa juga ironinya jika kita menyandingkan kemewahan tersebut dengan korban bencana alam negeri ini. Yang hangat terjadi dan masih berkelanjutan adalah bencana sekunder letusan Gunun Merapi yang masih mengancam hingga hari ini, yaitu banjir lahar dingin. Warga sekitar Muntilan, Magelang, sangat merasakan dampaknya. Tidak sedikit yang kehilangan tempat tinggal karena rumahnya tertimbun material vulkanik Merapi. Dan menurut perhitungan para ahli, jumlah material ini baru sepersepuluhnya. Artinya, masih ada lebih banyak material vulkanik yang setiap saat bisa meluncur sebagai lahar dingin dan mengancam keselamatan warga.


Lalu Bagaimana?

Kita harus bijak dan berimbang dalam melihat dan menilai hal ini. Memang tidak ada larangan untuk mencicipi hasil kerja keras dengan memiliki dan menikmati semua kemewahan. Memiliki mobil dan rumah mewah, berbelanja ke luar negeri, melancong ke berbagai tempat wisata, dan berpenampilan serba wah bisa jadi merupakan cara banyak orang untuk menggunakan uang mereka. Namun, mari kita melihat banyak sekali orang yang kurang mampu di sekitar kita. Jangankan untuk menikmati kemewahan, mereka harus membanting tulang dan mengais hanya untuk makan sehari-hari. Itu belum termasuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Sudahkah kita cukup peduli dengan semua itu?

Perkataan Romo Mangun bisa menjadi permenungan yang menyentuh bagi kita semua. Budayawan dan rohaniwan yang dijuluki pendekar rakyat jelata ini mengatakan, “Omahmu ojo kok pageri beling ning pagerono piring” (rumahmu jangan dipagari dengan beling, tetapi pagarilah dengan piring). Rumahmu jangan dipagari dengan beling, artinya jangan sampai hidup kita tidak berarti bagi orang lain, bahkan menjadi masalah bagi orang di sekitar kita. Pagarilah dengan piring adalah ajakan untuk kita menjadi orang yang lebih berguna bagi orang lain dengan berbagi. Orang di sekitar kita adalah saudara kita. Ada Kristus dalam diri mereka. Apa yang kita lakukan dan berikan untuk mereka itu kita lakukan dan berikan untuk Kristus. Bukankah Kristus sendiri yang berkata demikian? Lagi pula, kebahagiaan dalam kemewahan kita akan semakin lengkap jika kita bisa menyaksikan orang-orang di sekitar kita juga turut merasakannya. Dengan demikian, kemewahan kita tidak lagi menjadi ironi yang miris dan mengiris.

*dimuat dalam majalah Bahana Februari 2011

The Alchemist dari Timur

Data Buku
Judul : Tiya
Penulis : Samarpan
Penerbit : Bentang
Terbit : November 2010
Penerjemah : Meidyna Arrisandi
Editor : Dhewiberta
Jumlah halaman : x + 194 halaman





Menariknya membaca fabel dan parabel adalah kita seperti membaca beberapa buku sekaligus; novel, buku psikologi, buku motivasi, bahkan terkadang buku agama. Pun dengan Tiya. Tiya adalah fabel yang penuh ungkapan bijak dan renungan mendalam. Demikian menurut Sahara Times, seperti tertulis di sampul depan buku ini. Entah ini buku keberapa di pasar yang memakai binatang sebagai media penyampai pesan seputar kehidupan, perubahan, dan tantangan untuk menyikapi dan menghadapinya. Binatang banyak dipilih mungkin karena binatang, tidak seperti manusia, tidak cemas dengan misi mereka dalam kehidupan sehingga mereka tidak memerlukan ucapan terima kasih. Mereka tidak cemas tentang apakah mereka benar atau salah, atau apakah mereka binatang yang baik atau jahat. Mereka melakukan sesuatu karena mereka diciptakan untuk melakukan hal itu dan mereka kemudian pergi (Animal Angel, Charlene R. Johnson & Michael Rebel). Semenjak kisah sukses Spencer Johnson lewat Who Moved My Cheese, karya-karya serupa muncul. Tiya adalah salah satunya.

Ditulis oleh seorang biksu dan guru spiritual India membuat buku ini sarat filosofi ketimuran. Samarpan menyarikannya dari konsep Kitab Weda dan filosofi para Yoga—bahwa setiap orang harus melewati jalan yang tidak perlu, sebelum dia bisa tumbuh besar melebihi keterbatasan yang secara alami dia miliki dan bahwa alam membawa setiap orang ke berbagai pengalaman menuju kebebasan dari segala keterbatasan. Latar belakang geografis penulis juga sangat kental dalam buku ini yang nampak dari pemilihan nama tokoh yang semuanya istilah India.

Metafora Kehidupan
Seperti lumrahnya cerita rekaan untuk menyampaikan ajaran agama, moral, atau kebenaran umum dengan menggunakan perbandingan atau ibarat, Tiya bertutur secara ringkas dan inspiratif tentang semua itu lewat karakter utamanya, Tiya, seekor burung beo.

Bagian satu buku ini merawikan keseharian di satu-satunya tempat yang telah menjadi bagian dari hidup Tiya si beo selama ini, yaitu pohon beringin. Bagi Tiya dan teman-temannya—yang juga burung—pohon ini tidak hanya menjadi tempat hidupnya, tetapi juga pelindungnya sejak kecil. Pohon itu adalah saksi bisu bagi setiap jenis kepribadian, bersamaan dengan harapan dan ekspektasi mereka, berayun dengan kesuksesan dan menunduk terlupakan (hal. 5). Keseharian Tiya berlangsung begitu-begitu saja setiap hari, tidak ada hal baru yang menantangnya. Hingga kemudian, Tuan Burung Hantu menyatakan bahwa Tiya mungkin akan mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Ini kemudian ditegaskan oleh suara tak berwujud—Tuan Suara—,“Tiya, kau lebih dari yang kaupikirkan, dan kau bisa meraih jauh lebih banyak dari yang bisa kaupikirkan” (hal. 20).
Seperti lagu lama yang selalu segar yang ada di hampir semua buku tentang perubahan dan pencapaian keberhasilan: meninggalkan zona nyaman, Tiya pun harus meninggalkan pohon beringin itu bila ia ingin mencapai segala sesuatu yang lebih besar dalam hidupnya. Ini tidak bisa ditawar karena melekat hanya pada satu pengalaman akan membatasi pencapaiannya. Dari sinilah, Tiya akan menghadapi konsekuensi yang tak terhindarkan dari keputusannya itu, yaitu perubahan. Ia paham bahwa perubahan, apa pun bentuknya, seberapapun drastisnya, memang menggelisahkan. Betapa tidak, ia akan menghadapi segala sesuatu yang sama sekali baru yang tidak pernah diketahuinya, yang akan memperkaya hidupnya.

Bagian dua buku ini menguraikan petualangan panjang Tiya. Antusiasme, rasa ingin tahu, dan harapan menemaninya terbang dari daratan satu ke daratan lain, bertemu berbagai makhluk. Di sini, penulis membuat penggambaran yang unik dan cerdas bahwa setiap makhluk yang dijumpai Tiya adalah perwujudan sifat keduniawian insan. Ringan, tapi menohok.

Sebagai contoh, pendaratannya di sebuah pohon di dekat taman bermain. Anak-anak bermain di situ dan masing-masing ingin mengikuti aturannya sendiri-sendiri. Setiap anak ingin mengubah aturannya sesuai kepentingan masing-masing. Hanya dalam satu hal mereka memiliki aturan yang sama dan tetap, yaitu jika berkaitan dengan merugikan orang lain.

Tiya juga melihat para Zary (bahasa India: arca), arca batu, yang ternyata adalah manusia yang hidup dari pinggang ke atas. Mereka terlihat baik bicaranya, tetapi buruk kelakuannya. Tidak bisa ke mana-mana, mereka selalu marah dan meludah pada yang lain. Dan setiap kali marah, bagian yang mengeras akan bertambah naik sehingga mereka semakin sulit bergerak. Intinya, para Zary hanya perlu marah untuk menjadi semakin keras membatu.

Tiya juga hinggap di negeri air mata. Selama ini, ia mengenali air mata sebagai ketololan yang meleleh. Semakin banyak persediaan ketololan seseorang, semakin banyak air mata yang bisa dihasilkan. Setidaknya demikian penilaian Tiya pada orang-orang di negeri yang dijulukinya Leakton. Para Leakton hanya bisa meratapi dan menangisi perpisahan, kehancuran, kehilangan, dan penderitaan, tidak lebih. Sampai-sampai mereka memberikan Penghargaan Tahunan untuk Penangis Terbaik. Berbeda dari para Leakton, Tiya sudah mencapai tahap tak butuh alasan untuk menangis. Baginya, kesedihan sementara, ya—air mata yang berlebihan, tidak.

Pendaratan demi pendaratan, perjumpaan demi perjumpaan, mencelikkan Tiya bahwa semua itu membuatnya berproses dan bertumbuh. Keindahan yang memabukkan dari para Fay, kemarahan para Zary, air mata para Leakton, kesombongan Tuan Ambiger, kebodohan Lozo, keegoisan Lolly, topeng kehormatan Dingding, idealisme Skazo, ketololan Penunggang Gunung Es—membuat Tiya berterima kasih pada apa pun yang terjadi dan menimpanya. Betapapun buruk apa yang dialaminya sebelumnya, itu mempermudah ia dalam menghadapi situasi buruk di hadapannya, semuanya jadi lebih mudah diatasi.

Metafora yang dipilih Samarpan begitu mendarat dalam kehidupan kita: kemarahan, air mata, keegoisan, kebodohan, ketamakan, idealisme, dan kehormatan—semuanya menggambarkan apa yang jamak kita hadapi dalam keseharian. Perlu pengelolaan diri untuk bisa menghadapinya, untuk menjalani hidup yang berdasarkan pilihan, bukan sekadar peluang. Proses ini penting untuk bisa memahami apa yang menjadi pesan buku ini: bahwa kita lebih dari yang kita pikirkan, dan kita bisa meraih jauh lebih banyak dari yang bisa kita pikirkan.

The Alchemist dari Timur
The Alchemist dari Timur. Demikian teaser di kulit luar buku ini. Disandingkan dengan The Alchemist karya sukses Paulo Coelho, Tiya memiliki persamaan, dan juga banyak perbedaan. Persamaannya, keduanya sama-sama mengangkat tentang bagaimana mengambil keputusan penting, menghadapi perubahan, dan mengatasi rintangan. Keduanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu tentang pencarian makna hidup. Bedanya The Alchemist adalah parabel, sedangkan Tiya adalah fabel. Santiago, si bocah dalam The Alchemist menempuh perjalanan untuk menemukan Legenda Pribadi dan harta dalam mimpinya. Untuk itu, Santiago memutuskan berhenti menjadi gembala yang sudah mendarah daging dalam kehidupannya. Menjual semua dombanya dan memulai kisahnya. Hingga kemudian perjalanan dan perjumpaan, kekecewaan dan impian, membuatnya paham bahwa di mana hatimu berada, di situlah hartamu.

Sebenarnya, ketimbang disandingkan dengan The Alchemist, Tiya lebih pas disandingkan dengan Ping (Stuart Avery Gold). Ping adalah kisah inspirasional tentang seekor katak bernama Ping yang melakukan perjalanan meninggalkan kolam lama untuk mencari kolam baru. Pamungkas buku ini menjelaskan alasan pembandingan ini: Ping merupakan kiasan dari apa pun yang Anda kehendaki dalam hidup, undangan yang memberdayakan, yang mendesak Anda untuk melihat menembus cakrawala dari zona aman Anda, ke dalam cara hidup yang baru dan lebih menggembirakan dengan menyadari kesejatian dan potensi Anda yang tiada batas. Namun, latar belakang marketing tentu berbicara di sini.

Dalam diri manusia, berdiam sosok Tiya yang mendapat berbagai mendapat berbagai pelajaran dalam perjalanan kehidupan. Namun, ada satu hal yang membuat segala sesuatu dalam diri kita berbeda, yaitu apa yang telah kita lakukan terhadap apa yang telah kita pelajari karena kita semua dibentuk oleh pengalaman dan pemahaman kita terhadap pengalaman tersebut.

Apa yang membuat hidup Tiya (dan Santiago dan Ping) menarik? Satu hal yang membuat hidup mereka—hidup kita—menarik adalah kemungkinan untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Dalam prosesnya, kita akan sama-sama mendapati bahwa tidak ada satu pengalaman pun yang sia-sia dalam hidup ini (halaman 67).

___________________
*Resensi ini dikirim ke Kompas, tapi tidak dimuat karena katanya pilihan bukunya kurang pas untuk pembaca Kompas. Tak apa ... semangaaattt ^_^

Minggu, 29 Januari 2012

Nasib Pejalan Kaki

Kemarin jalan-jalan di pusat kota dan tiba-tiba teringat opini di Kompas beberapa waktu lalu tentang nasib pejalan kaki di kota.
Sudah jamak kita ketahui bersama bahwa pejalan kaki sepertinya semakin tidak mendapatkan tempat di ruang sosial yang bernama jalan. Setiap kali ada pembangunan jalan baru, mobil dan motorlah yang diprioritaskan. Sementara, pejalan kaki tidak masuk pertimbangan, padahal pejalan kaki juga termasuk salah satu pengguna jalan. Ada Undang-undang yang menyebutkan soal itu (pasal berapa ya??).

megapolitan.kompas.com


Dengan berkurangnya area khusus untuk pejalan kaki berarti hal ini membicarakan wacana lain yang juga penting, yaitu keselamatan. Bagaimana dengan keselamatan pejalan kaki jika mereka harus berbagi jalan dengan mobil dan motor yang kecepatannya tidak sebanding. Padahalnya lagi, pengguna jalan bukan hanya motor dan mobil, serta pejalan kaki, tetapi juga becak, andong, dan sepeda. Bagaimana dengan mereka? Untuk sepeda, memang sekarang sudah ada area khusus sepeda. Bahkan di traffic light, kita akan menjumpai area khusus bagi sepeda. Di Yogyakarta ini, bahkan di banyak tempat di sekitar tikungan biasanya diberi petunjuk jalan yang berbunyi "Alternatif sepeda menuju ....". Sebuah dukungan dan sarana yang bagus untuk mendukung kampanye "bike to work" atau "bike to school", meskipun hal ini belum menyentuh kebutuhan dan kepentingan orang-orang yang "walk to work" atau "walk to school".

Ini sebenarnya tidak hanya bicara soal hak menggunakan jalan, tetapi juga bagaimana menghargai orang lain. Saya pernah melihat tayangan di televisi mengenai kawasan pedestrian di Australia. Bagaimana pejalan kaki di sana begitu dimanja dengan kawasan berjalan kaki yang bersih, luas, dan nyaman. Bahkan, di sepanjang jalan di sediakan semacam kran air bersih siap minum. Woww ....

Yah, mungkin terlambat kalau kita ingin menata ulang kota kita menjadi seperti itu karena itu tidak memungkinkan. Yang bisa kita lakukan adalah memulainya dari diri sendiri dengan menghormati para pejalan kaki yang berbagi jalan dengan mobil atau motor kita. Atau, apabila ada proyek pembangunan jalan, mungkin pemerintah bisa memasukkan para pejalan kaki sebagai salah satu pertimbangan penataan jalan.

Mmmmm ....

Pinter Tapi Keblinger

Pertengahan tahun seperti ini dan bahkan bulan-bulan sebelumnya selalu diwarnai dengan kesibukan orangtua dan siswa untuk memilih sekolah dan perguruan tinggi. Yang diincar adalah sekolah dan perguruan tinggi favorit dengan harapan mendapatkan pendidikan dan fasilitas belajar yang terbaik.

Di antara mereka bahkan ada yang mengejar ilmu sampai ke luar negeri. Orangtuanya pun tak segan merogoh kocek karena mahalnya pendidikan di sana. Semua demi merencanakan masa depan yang lebih baik dan menjanjikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan diharapkan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji menggiurkan terbentang di depan mata. Atau, sebisa mungkin lulus dengan nilai baik dari universitas terkemuka sehingga menjadi daya tarik bagi perusahaan-perusahaan besar untuk merekrutnya.

Pintar dan Peka
Lalu, bagaimana bila ternyata orang-orang yang dinilai berkualitas secara akademis justru melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak mencerminkan keunggulan yang seharusnya? Misalnya, para pejabat yang korupsi atau para pemuda pelajar yang terlibat berbagai kriminalitas dan penggunaan obat terlarang. Kasus-kasus yang kita baca di media massa atau yang kita saksikan di televisi mengarahkan pada satu anggapan bahwa sikap empati, saling menghargai dan menghormati sudah terkikis oleh keinginan mengedepankan kepentingan diri. Jika demikian, apakah sistem pendidikan kita kecolongan sehingga insan yang seharusnya bisa diandalkan ternyata malah berbuat tidak sepantasnya? Memang tidak semua begitu dan kita tidak bisa memukul rata semuanya. Namun, berbagai kasus yang terjadi cukup menjadi alasan kuat untuk melihat kembali celah yang bisa memungkinkan semua itu.

Sejatinya pendidikan memang mencetak manusia berkualitas unggul, terdidik, dan berkompetensi—sumber daya manusia yang sangat berharga bagi kemajuan bangsa. Banyak manusia berpendidikan yang pintar, berotak encer, dan berprestasi secara akademik, tetapi bagaimana dengan watak dan karakter mereka? Sungguh disayangkan bila kita hanya mengejar dan menonjolkan kemampuan akademis dan mengabaikan pengasahan kemampuan untuk mengelola rasa demi terbentuknya watak dan karakter yang unggul. Sangat disayangkan bila kita menjadi orang pinter, tapi keblinger. Pencapaian akademis memang penting, tetapi pembentukan watak dan karakter jelas tidak bisa diabaikan. Di sinilah pentingnya kita menerapkan pendidikan yang memekarkan rasa—meminjam istilah I Ketut Sumarta.

Artinya, bagaimana kita melatih kepekaan rasa terhadap orang lain dan kondisi di sekitar kita. Semakin peka rasa seseorang, berarti semakin cerdas budinya, maka dorongan untuk berlaku kekerasan pun semakin terkendali; pun sebaliknya (I Ketut Sumarta dalam Membuka Masa Depan Anak-anak Kita, hal. 181). Tentu saja yang dimaksudkan dengan peka rasa di sini bukan hanya basa-basi lahiriah. Bukan pula melulu tentang bagaimana kita bersikap sopan kepada orang lain. Tetapi, bagaimana kita dengan sepenuh hati menaruh peduli pada kepentingan orang lain.

Harapannya, sikap peduli dan menghormati orang lain ini tidak hanya seperti pencapaian akademis yang bisa ditakar dengan angka, tetapi elannya benar-benar berakar dalam diri. Ini bisa menjadi semacam warning system untuk tidak menyakiti orang lain dalam bentuk apa pun. Perlu dipikirkan bersama bagaimana olah rasa ini dapat meresap dalam diri mereka melalui kegiatan belajar dan keseharian mereka. Semua elemen, tidak hanya sekolah, perlu terlibat di dalamnya untuk menjadikan generasi kita generasi yang pinter dan tidak keblinger.

Jika ini berhasil, tidak akan ada insan terdidik yang tega melakukan perbuatan yang tidak mencerminkan keunggulan diri, apalagi merugikan orang lain. Semoga.

*dimuat di majalah Bahana, Juni 2011*

Berproses ...

Beberapa waktu lalu, saya membaca esai Bre Redhana "Aku tidak berpikir, maka aku ada". 
Langsung menyungging senyum membaca judulnya. Semua pasti tahu itu plesetan dari ungkapan filsuf yang sangat terkenal Rene Descartes. Seharusnya berbunyi "Aku berpikir maka aku ada" atau cogito ergo sum. Bre dengan pintar memelesetkannya untuk mengungkapkan bahwa dunia kita sekarang sudah akrab sekali dengan budaya instan, budaya malas berpikir. Semakin cepat semakin baik. Semakin cepat berhasil, semakin disukai. Hhhmmm ...

Budaya malas berpikir, budaya malas berusaha ... sepertinya sudah jamak kita saksikan dan dengar hari-hari ini. Orang mulai membuat berbagai permisif bagi diri sendiri untuk tidak berpikir dan berupaya keras. Yang penting enak dan nikmat secara instan. Padahal jika kita mau jujur, pembelajaran yang sesungguhnya adalah proses itu sendiri. Keberhasilan dan ketenaran sesungguhnya "hanyalah" bonus dari sikap kita untuk bertahan dalam proses. Daya tahan inilah yang mengantarkan kita ke puncak (keberhasilan dan sebagainya).

Sangat disayangkan jika pola pikir instan ini merasuk ke dalam gaya hidup kita, tanpa membuat pengecualian atau pengutamaan untuk para pelajar dan generasi muda. Kita semua, siapa pun, patut untuk memberikan pembelajaran kepada diri sendiri arti pentingnya berproses dan bertahan dalam proses itu. Seorang anak yang belajar naik sepeda akan belajar dan merasakan banyak hal selama dia berupaya keras untuk bisa menaiki sepeda dengan baik dan lincah. Setiap jatuh, meskipun sakit, itu hanya mengingatkan dan memberi tahu dia satu cara lagi bagaimana supaya tidak terjatuh dari sepeda. Bukankah kita sering kali demikian? Setiap kekalahan, meskipun menyakitkan, akan membuat kita lebih kuat dan mengenali banyak hal untuk menghindari kekalahan yang sama.

Sounds familiar?

Jumat, 27 Januari 2012

Game Quiz

Dua hari lalu, tiba-tiba ada seseorang dari Penerbit & Percetakan Kanisius datang ke rumah sambil membawa amplop cokelat besar. Hari sebelumnya memang sudah ada SMS bahwa akan ada seseorang datang mengantarkan dokumen, tapi begitu saya tanya tentang dokumen itu, tidak ada balasan. 

Begitu membuka amplop cokelat itu, saya melihat ada tiga buku besar  full color. Saya baca surat yang disertakan di amplop itu. Dan badallahh ... ternyata saya menang game quiz spesial Hari Ibu yang diadakan oleh Kanisius.



Hadiahnya berupa tiga buku seri Mom and Me. Bukunya menarik, penuh warna, dan bilingual. Terjemahan oke. Isinya juga sangat edukatif. Lumayan buanget buat nambahi bahan mendongeng untuk anak lanang saya yang hobi banget mendengar cerita. ^^ 


Bulan kemarin memang ada game quiz di web-nya Kanisius dan saya ikutan, tetapi setelah itu saya tidak mengikuti pengumuman selanjutnya. hehe. Kuisnya sederhana dan menarik. Pertanyaannya adalah apa yang pernah dikatakan atau dilakukan anak Anda sehingga membuat Anda terharu dan bangga menjadi ibunya? Peserta kuis harus bisa menuangkannya dalam tulisan singkat, tidak lebih dari 10 kalimat.

Sebenarnya saya udah agak lupa kalimat persis yang saya tulis karena waktu itu benar-benar spontan, tapi kira-kira seperti ini:

Percakapan pada suatu pagi
Anak Lanang (3,5 tahun) : "Mamah mau ke kantor ya?"
Saya : "Iya, Dik."
Anak Lanang : "Kerja ya, Mah?"
Saya : "Iya."
Anak Lanang : "Besok kalau aku udah besar, aku yang kerja, Mamah di rumah aja."

Hehe ... bahkan saya sekarang masih terharu kalo ingat obrolan kecil itu.
Love u, Gagas ...

*update: ternyata ada pengumumannya, hehe, bisa dilihat di sini ...

Senin, 23 Januari 2012

Begitulah Ayah

Dia laki-laki berusia senja, sekaligus kepala keluarga yang berjuang keras untuk keluarganya. Meskipun hanya seorang penggembala itik-itik yang bukan miliknya, tidak berarti ia tidak bersungguh-sungguh dengan pekerjaannya. Hampir setiap malam ia rela tidur di sawah bersama istrinya di tempat yang ala kadarnya, hanya terpal yang dibuat sebagai tenda, tanpa alat penerangan. Ini dilakukannya bersama teman-temannya untuk memastikan bahwa itik-itik yang dipercayakan kepada mereka itu baik-baik saja. Siang hari, dia akan menggembalakan itik-itik di sawah yang becek dengan sebelah kakinya yang sakit karena infeksi terkena cangkul. Dan berapa gajinya? Duh Gusti ... dia hanya digaji dengan telur-telur bebek yang masih harus dibagi dua dengan pemiliknya. Sungguh!

Saya jadi teringat kisah yang dimuat di Chinadaily beberapa waktu silam. Du Jinhui, warga Beijing, kira-kira berusia 30-an tahun, rela dikelupas kulitnya tanpa dibius untuk menghemat biaya rumah sakit. Ia rela menderita demi pengobatan anak gadisnya yang menderita luka bakar hampir sekujur tubuhnya. Meski kesakitan selama proses pengelupasan itu, ia mengatakan bahwa dokter boleh mengambil kulitnya lebih banyak jika itu bagus dan bisa menyembuhkan anaknya. Ckckck ...

Gambar: www.chinadaily.com.cn

Saya tidak bisa membayangkan bagaimana dia menahan sakit "hanya" untuk menghemat biaya rumah sakit. Terlepas dari pertanyaan tentang jaminan kesehatan di sana untuk warga yang kurang mampu, jelas terlihat bahwa cinta sanggup melalui setiap kesulitan.

Begitulah ayah ....


*teringat padamu, Pah. Terima kasih, love u ...


Kue Keranjang

Meskipun tidak merayakan tahun baru Imlek, tapi selalu ikut seneng. Barongsay, liong, dan semua kemeriahan Imlek ... semuanya membawa keceriaan. Dan tentu saja, kue keranjangnya, kue khas dan wajib setiap perayaan tahun baru Imlek. 

Karena perusahaan tempat saya bekerja adalah keluarga Tionghoa, setiap Imlek tiba, kami selalu kebagian kue ranjang. Ada teman yang "ditunjuk secara khusus" mengolah kue keranjang jatah kami itu. Kadang digoreng pake telur dan kadang dikukus trus dimakan bersama kelapa parut. Tapi sering kali juga dimakan begitu saja.


Hari ini nonton tayangan tentang pembuatan kue keranjang di acara Laptop Si Unyil (hallahh tontonane .. hehe), jadi pengen menuliskannya. Ada yang menyebutnya kue keranjang, ada juga yang menyebutnya kue ranjang. Disebut juga Nian Gao. Disebut kue keranjang ternyata karena awalnya dulu dibuat menggunakan cetakan berbentuk keranjang yang terbuat dari bambu. Kini, cetakan dari kaleng lebih banyak digunakan (dipakai sampai empat kali cetak). 

Bahan dasar kue yang teksturnya kenyal dan lengket ini adalah tepung ketan dan gula. Adonan yang sudah jadi dan ditakar akan dikukus dalam waktu yang tidak sebentar, yaitu 12 jam ... weww .... Setelah itu,  adonan kue yang sudah matang harus segera dikeluarkan dari cetakan. Kue yang masih panas kemudian didinginkan untuk kemudian dikemas.

Ada kepercayaan bahwa awalnya kue keranjang ditujukan sebagai hidangan untuk menyenangkan Dewa Tungku agar Dewa Tungku membawa laporan yang menyenangkan kepada Raja Surga. Mengapa bentuknya bulat? Itu memiliki makna agar keluarga yang merayakan Imlek dapat terus bersatu, rukun dan bertekad bulat dalam menghadapi tahun yang akan datang. Ternyata kota Yogyakarta disebut sebagai salah satu kota yang banyak memproduksi kue keranjang. Imlek tahun depan pengen ah lihat langsung pembuatannya. ^^

Di Cina, ada kebiasaan khusus saat tahun baru Imlek, yaitu mereka terlebih dahulu menyantap kue keranjang sebelum menyantap nasi. Ini ada maknanya, yaitu sebagai harapan agar sepanjang tahun mereka selalu beruntung dalam pekerjaan.

Nian Gao. Nian berarti tahun. Gao berarti kue, dan juga terdengar seperti kata "tinggi". Oleh karena itu, kue keranjang sering disusun tinggi atau bertingkat. Susunan kue itu semakin ke atas semakin mengecil. Ini juga punya makna, yaitu agar rezeki atau kemakmuran semakin meningkat. Pada zaman dahulu, banyaknya atau tingginya kue keranjang menunjukkan tingkat kemakmuran keluarga pemilik rumah. Biasanya kue keranjang disusun ke atas dengan kue mangkok berwarna merah di bagian atasnya. Ini sebagai simbol kehidupan manis yang semakin menanjak dan mekar seperti kue mangkok. 

Hhhmm ... selalu sarat pengharapan, doa, dan makna.

Selamat Tahun Baru Imlek ...

Gambar: beritanet.com


Sabtu, 21 Januari 2012

Tampak Sepuluh Tahun Lebih Muda ....

Beberapa hari yang lalu saya ke Mirota Kampus. Seorang ibu setengah baya, "tidak kurus", antre di depan saya (di kasir). Dia membeli produk pelembab yang harganya mencapai seratus ribu. Mahal menurut ukuran saya … hehe. Sewaktu melihat satu-satunya barang yang dibelinya itu kontan saya teringat iklan produk itu di TV: membuat Anda tampak sepuluh tahun lebih muda. Jadi mikir-mikir, kalo saya memakai produk itu, berarti saya akan tampak berusia 20 tahun, baru saja lulus kuliah. Hhhmmm ….

Jadi teringat kisah seorang ibu yang menyesali hobinya ke salon kecantikan setelah merasakan akibatnya sekarang. Ini benar-benar kisah nyata dan ceritanya dituturkan olehnya sendiri. Tapi, identitas dirahasiakan ya, demi kemaslahatan bersama … hallahh ….

Dia berusia 30-an tahun, kulitnya putih. Tetapi dengan mata berkaca-kaca, dia mengatakan bahwa dia sedih dan prihatin dengan wajahnya yang tidak mulus dan dipenuhi jerawat. Sewaktu masih sekolah dulu, dia tidak pernah memakai produk-produk kecantikan, apalagi ke salon, tetapi wajahnya halus dan mulus, tidak bermasalah. Namun, pergaulan dan gaya hidup membuatnya tergiur untuk ikut teman-temannya nyalon. Sekali dua kali, dia puas dengan hasilnya karena kulit wajahnya benar-benar mulus. Tapi, setelah itu dia mendapati wajahnya berjerawat dan bermasalah. Semua upaya sudah ditempuh untuk mengembalikan kondisi kulit wajahnya, tetapi sampai sekarang belum ada hasil. Dia benar-benar sedih. Saya benar-benar tercenung mendengar kisahnya.

Yahh … mungkin itu salah satu dampak bila setiap hari kita disodori tayangan televisi tentang orang-orang yang sangat peduli dengan penampilan fisik. Siapa coba yang tidak pengen punya kulit bening, cerah, nan mulus. Saya juga mau itu hehehe. Buntutnya, tua dan keriput menjadi begitu mengerikan dan sebisa mungkin dihindari, apalagi tua sebelum waktunya … hehe … maksud saya premature aging alias penuaan dini. Tidak heran kalo produk-produk anti aging laris manis di pasaran.

Beda banget sama perempuan-perempuan Prancis. Saya pernah membaca di Kompas tentang rahasia cantik dan seksi mereka, yaitu mereka tidak takut tua. Para perempuan Prancis justru menganggap bahwa proses penuaan merupakan salah satu bentuk keseksian mereka dan sama sekali bukan hal yang menakutkan. Mereka juga tidak terlalu menyukai perawatan anti aging. Waahhh….

Lady Dior, Marion Cotillard [Kompas.com]


Selain itu, mereka juga menikmati makanan, tanpa pusing memikirkan berat badan, asalkan diimbangi dengan olahraga. Buat saya ini terdengar teoretis … hehe …. Tapi mendengar seloroh bahwa tidak ada perempuan Prancis yang gemuk, saya jadi berpikir ulang untuk menyebut itu teoretis (meskipun saya belum pernah ke Prancis dan membuktikannya). Dalam logika saya, mungkin karena mereka santai, tidak khawatir berlebihan soal berat badan, mereka menjadi easy going; mengarahkan energi dan waktu untuk hal-hal yang lebih penting. Ini membuat mereka memiliki waktu luang untuk berolahraga dan bersantai, istirahat menjadi lebih nyenyak, tidak mudah stres. Semua itu akan memengaruhi keseimbangan hormon di dalam tubuh. Dan jadilah mereka perempuan yang selalu cantik, langsing, dan segar. Ini analisis saya sendiri lhoooo … :D

Eh, masih ada satu lagi rahasia cantik mereka, yaitu mereka sering berhubungan seks dengan pasangan (baca: suami) .... Ups!  Bahkan para perempuan setengah baya pun masih sering berhubungan seks dengan suaminya. Tua dan keriput bukan halangan, Saudara-saudara …. Naaahhhhhhh ….
Inspiratif ya? Hehehe…

Kalau saya, cukup mengingat pesan simbah: menjadi tua itu pasti, tetapi memiliki semangat muda itu pilihan …. hehehe … ^_^

Terasi

Lagi-lagi terhubung dengan cerita ini; cerita tentang kakek dan terasi. 
Ada kakek tua berjenggot panjang yang tinggal dengan cucunya di pondok sederhana.
Suatu sore, ketika bangun dari tidur siangnya, ia mencium bau terasi yang sangat menyengat. “Wah, kamarku bau terasi,” katanya. Ia kemudian segera keluar kamar. Ia kaget karena bau terasi itu masih tercium. “Kok di sini juga bau terasi,” katanya lagi. Ia menuju kamar cucunya. Di sana juga bau terasi. Di dapur juga bau terasi. Ruang tamu juga bau terasi. Kakek itu pun keluar rumah. Di sana pun bau terasi. Aneh, pikirnya. Ia pun kemudian berteriak, “Seluruh dunia bau terasi.”
Padahal ternyata terasi itu ada di jenggotnya, pantas saja ia selalu mencium bau terasi di mana pun ia berada. :)

Ho ho ho …. Dulu, waktu pertama kali membaca kisah ini, saya tertawa. Bukan tertawa karena ceritanya lumayan lucu. Saya menertawakan diri sendiri karena merasa tertempelak.



www.cartoonstock.com


Sore ini melihat anak lanang bermain dengan kursi plastik. Kursi digelimpangkan, trus dijadikan mobil-mobilan. Saking semangatnya, brukkk! Dia kejedug dan jatuh. Seketika dia berdiri sambil marah-marah dan menendang kursi itu. Haha ... saya tertawa. Bukan menertawakan anak lanang, tentu saja. Menertawakan diri sendiri (lagi).


Betapa sering saya buru-buru melihat kesalahan orang lain atau malah menyalahkan keadaan tanpa terlebih dulu melihat dalam diri sendiri. Ibarat berjalan dan menginjak kerikil yang membuat kaki sakit, lalu dengan konyolnya menyalahkan kerikil yang jelas-jelas diam saja di tempatnya. Saya marah-marah dan menendang kerikil itu jauh-jauh. Hehehe ... jangan ditiru ... :D

Selasa, 17 Januari 2012

Sandal Jepit ...

Sandal oh sandal ...

Masih geleng-geleng kalo ingat kasus pencurian sandal jepit milik anggota Brimob Polda Sul-Teng yang dilakukan oleh remaja berinisial AAL di Palu. Banyak kritik dan protes atas penanganan kasus ini. Sampai-sampai seratus pasang sandal jepit diserahkan ke posko pengumpulan sandal kepada Kapolri di Mabes Polri untuk pembebasan AAL.


Gambar: oase.kompas.com

Pencurian memang tindakan kriminal dan memang seharusnya dihukum. Tapi bukan tindakan kriminalitasnya yang menarik simpati dan keprihatinan banyak pihak, terutama para pekerja seni yang kemudian menggelar aksi-aksi teatrikal. Melainkan bagaimana keadilan sepertinya dijalankan tanpa nurani.
Menarik membaca salah satu "rerasan" atau untaian bernada doa yang mengungkapkan keprihatinan yang dalam terkait kasus sandal jepit yang menghebohkan.


Goleke gampang tur irit, ora ngenteke duwit, werno abang, ijo, biru, putih, ireng, ono komplit. Kenopo dadi soal sing rumit. Mung ilang sandal jepit kok jerat-jerit. Kok ino, sandal olo tekan perdoto kono. Kok ino, ora eman dadi punggowo negoro. Kok ino, hukum perdoto kok yo nompo. Kok ino, diece disurak poro kawulo. Kok ino, ra rumongso duwe roso. Kok ino, mung sandal jepit ngilangke wibowo.


Yah, jika mau itung-itungan, berapa coba harga sepasang sandal jepit. Kalau beli di warung mungkin sekitar 3 ribu atau empat ribu. Yang "ecek-ecek" (sekali dua kali pakai trus rusak) mungkin bisa murah dari itu. Tapi alas kaki seperti itu bisa membuat heboh pengadilan. Ckckck ... Apa mungkin karena itu sandal jepit aparat, jadi diperlakukan khusus? Hhhmmm ...

Rerasan di atas memang menggelitik. Hanya sandal jepit yang bisa dibeli murah kok bisa menjadi persoalan yang rumit dan bikin menjerit-jerit. Hanya sandal jepit kok ya diterima sebagai kasus di pengadilan dan ditangani aparat. Hanya karena sandal jepit kok ya tidak malu disorot rakyat. Hanya karena sandal jepit kok ya merelakan wibawa.

Kasus ini mirip dengan ironi hukum yang menimpa Nenek Minah yang iseng mengambil 3 buah kakao dari perkebunan milik sebuah perusahaan. Usai mengambil kakao, Si Nenek tidak menyembunyikannya, malah meletakkannya begitu saja di bawah pohonnya. Ketika mandor perkebunan bertanya, Nenek Minah dengan jujur mengatakan bahwa dia yang memetiknya untuk dijadikan bibit. Karena si mandor menegur perbuatannya sebagai tindakan pencurian, Nenek meminta maaf dan mengembalikan kakao itu kepada si mandor.

Badallahh … ternyata peristiwa itu berbuntut, si Nenek dituntut dan diadili. Nenek tua dan miskin harus menjadi pesakitan hanya karena 3 kakao yang bahkan sudah dikembalikannya kepada pemiliknya. Dari yang saya baca di berita, sidang yang menggelar kasus ini diwarnai keharuan mendalam, bahkan hakim terlihat menangis saat membacakan vonis.

Tidak sedikitnya komunitas seni yang menggelar aksi keprihatinan dan aktivis LSM yang tergerak pada kasus-kasus semacam ini menunjukkan bahwa rakyat peduli dan kritis —bagaimana keadilan seharusnya dijalankan tetap dalam kebijakan dan kearifan.

Apakah masih akan ada yang seperti ini, kasus kecil tapi melukai hati banyak orang?

Minggu, 15 Januari 2012

Kepergianmu ...

Di Beranda Ini Angin Tak Kedengaran Lagi

Di beranda ini angin tak kedengaran lagi
Langit terlepas. Ruang menunggu malam hari
Kau berkata: pergilah sebelum malam tiba
Kudengar angin mendesak ke arah kita

Di piano bernyanyi baris dari Rubayyat
Di luar detik dan kereta telah berangkat
Sebelum bait pertama. Sebelum selesai kata
Sebelum hari tahu ke mana lagi akan tiba

Aku pun tahu: sepi kita semula
bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata
Pohon-pohon pun berbagi dingin di luar jendela
mengekalkan yang esok mungkin tak ada



----



Selalu sesak setiap kali baca puisi GM yang ini. Hiks...
Ini untuk mengenangmu, Sahabat.
Selamat berkarya di tempatmu yang baru, Kang Abed yang kemlothak ... mantap jaya, kaya raya, pesta pora, top markotop ....
Nadian, Lik Martokendhang, Cwi Lan Seng, Kartolo Kempol Geyong-geyong, Margondhes Ponakan Wiropenthil, Sobron Aidit, Ki Luwak Luweng, Syeikh Afriad Lanang, Syeikh Bajigur, Trah Tumenggung Darmopenthil, Ki Cokrosonthong Geyong-geyong, Laskar Kothar-Kathur, Komandan Gondhal-Gandhul, Wirolentho, Lorenzo Lawas, Lik Wirokatul .... Sampai ketemu lagi yaaaa ...
whuuaa .... gero-gero ...