Senin, 30 Januari 2012

The Alchemist dari Timur

Data Buku
Judul : Tiya
Penulis : Samarpan
Penerbit : Bentang
Terbit : November 2010
Penerjemah : Meidyna Arrisandi
Editor : Dhewiberta
Jumlah halaman : x + 194 halaman





Menariknya membaca fabel dan parabel adalah kita seperti membaca beberapa buku sekaligus; novel, buku psikologi, buku motivasi, bahkan terkadang buku agama. Pun dengan Tiya. Tiya adalah fabel yang penuh ungkapan bijak dan renungan mendalam. Demikian menurut Sahara Times, seperti tertulis di sampul depan buku ini. Entah ini buku keberapa di pasar yang memakai binatang sebagai media penyampai pesan seputar kehidupan, perubahan, dan tantangan untuk menyikapi dan menghadapinya. Binatang banyak dipilih mungkin karena binatang, tidak seperti manusia, tidak cemas dengan misi mereka dalam kehidupan sehingga mereka tidak memerlukan ucapan terima kasih. Mereka tidak cemas tentang apakah mereka benar atau salah, atau apakah mereka binatang yang baik atau jahat. Mereka melakukan sesuatu karena mereka diciptakan untuk melakukan hal itu dan mereka kemudian pergi (Animal Angel, Charlene R. Johnson & Michael Rebel). Semenjak kisah sukses Spencer Johnson lewat Who Moved My Cheese, karya-karya serupa muncul. Tiya adalah salah satunya.

Ditulis oleh seorang biksu dan guru spiritual India membuat buku ini sarat filosofi ketimuran. Samarpan menyarikannya dari konsep Kitab Weda dan filosofi para Yoga—bahwa setiap orang harus melewati jalan yang tidak perlu, sebelum dia bisa tumbuh besar melebihi keterbatasan yang secara alami dia miliki dan bahwa alam membawa setiap orang ke berbagai pengalaman menuju kebebasan dari segala keterbatasan. Latar belakang geografis penulis juga sangat kental dalam buku ini yang nampak dari pemilihan nama tokoh yang semuanya istilah India.

Metafora Kehidupan
Seperti lumrahnya cerita rekaan untuk menyampaikan ajaran agama, moral, atau kebenaran umum dengan menggunakan perbandingan atau ibarat, Tiya bertutur secara ringkas dan inspiratif tentang semua itu lewat karakter utamanya, Tiya, seekor burung beo.

Bagian satu buku ini merawikan keseharian di satu-satunya tempat yang telah menjadi bagian dari hidup Tiya si beo selama ini, yaitu pohon beringin. Bagi Tiya dan teman-temannya—yang juga burung—pohon ini tidak hanya menjadi tempat hidupnya, tetapi juga pelindungnya sejak kecil. Pohon itu adalah saksi bisu bagi setiap jenis kepribadian, bersamaan dengan harapan dan ekspektasi mereka, berayun dengan kesuksesan dan menunduk terlupakan (hal. 5). Keseharian Tiya berlangsung begitu-begitu saja setiap hari, tidak ada hal baru yang menantangnya. Hingga kemudian, Tuan Burung Hantu menyatakan bahwa Tiya mungkin akan mengalami perubahan besar dalam hidupnya. Ini kemudian ditegaskan oleh suara tak berwujud—Tuan Suara—,“Tiya, kau lebih dari yang kaupikirkan, dan kau bisa meraih jauh lebih banyak dari yang bisa kaupikirkan” (hal. 20).
Seperti lagu lama yang selalu segar yang ada di hampir semua buku tentang perubahan dan pencapaian keberhasilan: meninggalkan zona nyaman, Tiya pun harus meninggalkan pohon beringin itu bila ia ingin mencapai segala sesuatu yang lebih besar dalam hidupnya. Ini tidak bisa ditawar karena melekat hanya pada satu pengalaman akan membatasi pencapaiannya. Dari sinilah, Tiya akan menghadapi konsekuensi yang tak terhindarkan dari keputusannya itu, yaitu perubahan. Ia paham bahwa perubahan, apa pun bentuknya, seberapapun drastisnya, memang menggelisahkan. Betapa tidak, ia akan menghadapi segala sesuatu yang sama sekali baru yang tidak pernah diketahuinya, yang akan memperkaya hidupnya.

Bagian dua buku ini menguraikan petualangan panjang Tiya. Antusiasme, rasa ingin tahu, dan harapan menemaninya terbang dari daratan satu ke daratan lain, bertemu berbagai makhluk. Di sini, penulis membuat penggambaran yang unik dan cerdas bahwa setiap makhluk yang dijumpai Tiya adalah perwujudan sifat keduniawian insan. Ringan, tapi menohok.

Sebagai contoh, pendaratannya di sebuah pohon di dekat taman bermain. Anak-anak bermain di situ dan masing-masing ingin mengikuti aturannya sendiri-sendiri. Setiap anak ingin mengubah aturannya sesuai kepentingan masing-masing. Hanya dalam satu hal mereka memiliki aturan yang sama dan tetap, yaitu jika berkaitan dengan merugikan orang lain.

Tiya juga melihat para Zary (bahasa India: arca), arca batu, yang ternyata adalah manusia yang hidup dari pinggang ke atas. Mereka terlihat baik bicaranya, tetapi buruk kelakuannya. Tidak bisa ke mana-mana, mereka selalu marah dan meludah pada yang lain. Dan setiap kali marah, bagian yang mengeras akan bertambah naik sehingga mereka semakin sulit bergerak. Intinya, para Zary hanya perlu marah untuk menjadi semakin keras membatu.

Tiya juga hinggap di negeri air mata. Selama ini, ia mengenali air mata sebagai ketololan yang meleleh. Semakin banyak persediaan ketololan seseorang, semakin banyak air mata yang bisa dihasilkan. Setidaknya demikian penilaian Tiya pada orang-orang di negeri yang dijulukinya Leakton. Para Leakton hanya bisa meratapi dan menangisi perpisahan, kehancuran, kehilangan, dan penderitaan, tidak lebih. Sampai-sampai mereka memberikan Penghargaan Tahunan untuk Penangis Terbaik. Berbeda dari para Leakton, Tiya sudah mencapai tahap tak butuh alasan untuk menangis. Baginya, kesedihan sementara, ya—air mata yang berlebihan, tidak.

Pendaratan demi pendaratan, perjumpaan demi perjumpaan, mencelikkan Tiya bahwa semua itu membuatnya berproses dan bertumbuh. Keindahan yang memabukkan dari para Fay, kemarahan para Zary, air mata para Leakton, kesombongan Tuan Ambiger, kebodohan Lozo, keegoisan Lolly, topeng kehormatan Dingding, idealisme Skazo, ketololan Penunggang Gunung Es—membuat Tiya berterima kasih pada apa pun yang terjadi dan menimpanya. Betapapun buruk apa yang dialaminya sebelumnya, itu mempermudah ia dalam menghadapi situasi buruk di hadapannya, semuanya jadi lebih mudah diatasi.

Metafora yang dipilih Samarpan begitu mendarat dalam kehidupan kita: kemarahan, air mata, keegoisan, kebodohan, ketamakan, idealisme, dan kehormatan—semuanya menggambarkan apa yang jamak kita hadapi dalam keseharian. Perlu pengelolaan diri untuk bisa menghadapinya, untuk menjalani hidup yang berdasarkan pilihan, bukan sekadar peluang. Proses ini penting untuk bisa memahami apa yang menjadi pesan buku ini: bahwa kita lebih dari yang kita pikirkan, dan kita bisa meraih jauh lebih banyak dari yang bisa kita pikirkan.

The Alchemist dari Timur
The Alchemist dari Timur. Demikian teaser di kulit luar buku ini. Disandingkan dengan The Alchemist karya sukses Paulo Coelho, Tiya memiliki persamaan, dan juga banyak perbedaan. Persamaannya, keduanya sama-sama mengangkat tentang bagaimana mengambil keputusan penting, menghadapi perubahan, dan mengatasi rintangan. Keduanya menyampaikan pesan yang sama, yaitu tentang pencarian makna hidup. Bedanya The Alchemist adalah parabel, sedangkan Tiya adalah fabel. Santiago, si bocah dalam The Alchemist menempuh perjalanan untuk menemukan Legenda Pribadi dan harta dalam mimpinya. Untuk itu, Santiago memutuskan berhenti menjadi gembala yang sudah mendarah daging dalam kehidupannya. Menjual semua dombanya dan memulai kisahnya. Hingga kemudian perjalanan dan perjumpaan, kekecewaan dan impian, membuatnya paham bahwa di mana hatimu berada, di situlah hartamu.

Sebenarnya, ketimbang disandingkan dengan The Alchemist, Tiya lebih pas disandingkan dengan Ping (Stuart Avery Gold). Ping adalah kisah inspirasional tentang seekor katak bernama Ping yang melakukan perjalanan meninggalkan kolam lama untuk mencari kolam baru. Pamungkas buku ini menjelaskan alasan pembandingan ini: Ping merupakan kiasan dari apa pun yang Anda kehendaki dalam hidup, undangan yang memberdayakan, yang mendesak Anda untuk melihat menembus cakrawala dari zona aman Anda, ke dalam cara hidup yang baru dan lebih menggembirakan dengan menyadari kesejatian dan potensi Anda yang tiada batas. Namun, latar belakang marketing tentu berbicara di sini.

Dalam diri manusia, berdiam sosok Tiya yang mendapat berbagai mendapat berbagai pelajaran dalam perjalanan kehidupan. Namun, ada satu hal yang membuat segala sesuatu dalam diri kita berbeda, yaitu apa yang telah kita lakukan terhadap apa yang telah kita pelajari karena kita semua dibentuk oleh pengalaman dan pemahaman kita terhadap pengalaman tersebut.

Apa yang membuat hidup Tiya (dan Santiago dan Ping) menarik? Satu hal yang membuat hidup mereka—hidup kita—menarik adalah kemungkinan untuk mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Dalam prosesnya, kita akan sama-sama mendapati bahwa tidak ada satu pengalaman pun yang sia-sia dalam hidup ini (halaman 67).

___________________
*Resensi ini dikirim ke Kompas, tapi tidak dimuat karena katanya pilihan bukunya kurang pas untuk pembaca Kompas. Tak apa ... semangaaattt ^_^

Tidak ada komentar :

Posting Komentar