Senin, 30 Januari 2012

Ironi Kemewahan

“Omahmu ojo kok pageri beling ning pagerono piring.”


“Orang kaya semakin banyak.” Demikian tutur banyak orang melihat fenomena sosial yang terlihat akhir-akhir ini. Semakin sering kita berpapasan dengan mobil mewah di jalan raya. Semakin padat pusat-pusat perbelanjaan dengan orang-orang yang berbelanja dan menikmati segala fasilitas kemewahannya. Penambahan pusat perbelanjaan di sana sini tetap saja dipenuhi pengunjung. Ini mungkin menjadi semacam pembenaran atas apa yang dirasakan oleh banyak orang bahwa orang kaya semakin banyak. Namun, terasa miris jika pernyataan itu berlanjut dengan, “Tetapi, orang miskin juga semakin bertambah”. Masih banyak kantung kemiskinan di berbagai kota dan tempat di Indonesia. Kita menyaksikan sendiri di televisi atau bahkan melihatnya secara nyata di sekitar kita.

Kemiskinan ini terasa lebih mengiris ketika pemberitaan mencuat mengenai rencana pembangunan gedung baru DPR lengkap dengan spa, kolam renang, dan fasilitas kemewahannya. Ditambah lagi dengan pemberitaan mengenai renumerasi (kenaikan gaji pejabat). Apa ini? Jika ini benar, gelar kehormatan “wakil rakyat” akan terasa semakin kabur dan dipertanyakan. Kondisi masyarakat seperti apa yang diwakili dengan kemewahan yang demikian? Sangat disayangkan jika semua yang nampak sangat jauh berbeda dengan keadaan masyarakat yang sesungguhnya.

Sangat terasa juga ironinya jika kita menyandingkan kemewahan tersebut dengan korban bencana alam negeri ini. Yang hangat terjadi dan masih berkelanjutan adalah bencana sekunder letusan Gunun Merapi yang masih mengancam hingga hari ini, yaitu banjir lahar dingin. Warga sekitar Muntilan, Magelang, sangat merasakan dampaknya. Tidak sedikit yang kehilangan tempat tinggal karena rumahnya tertimbun material vulkanik Merapi. Dan menurut perhitungan para ahli, jumlah material ini baru sepersepuluhnya. Artinya, masih ada lebih banyak material vulkanik yang setiap saat bisa meluncur sebagai lahar dingin dan mengancam keselamatan warga.


Lalu Bagaimana?

Kita harus bijak dan berimbang dalam melihat dan menilai hal ini. Memang tidak ada larangan untuk mencicipi hasil kerja keras dengan memiliki dan menikmati semua kemewahan. Memiliki mobil dan rumah mewah, berbelanja ke luar negeri, melancong ke berbagai tempat wisata, dan berpenampilan serba wah bisa jadi merupakan cara banyak orang untuk menggunakan uang mereka. Namun, mari kita melihat banyak sekali orang yang kurang mampu di sekitar kita. Jangankan untuk menikmati kemewahan, mereka harus membanting tulang dan mengais hanya untuk makan sehari-hari. Itu belum termasuk kebutuhan pendidikan dan kesehatan. Sudahkah kita cukup peduli dengan semua itu?

Perkataan Romo Mangun bisa menjadi permenungan yang menyentuh bagi kita semua. Budayawan dan rohaniwan yang dijuluki pendekar rakyat jelata ini mengatakan, “Omahmu ojo kok pageri beling ning pagerono piring” (rumahmu jangan dipagari dengan beling, tetapi pagarilah dengan piring). Rumahmu jangan dipagari dengan beling, artinya jangan sampai hidup kita tidak berarti bagi orang lain, bahkan menjadi masalah bagi orang di sekitar kita. Pagarilah dengan piring adalah ajakan untuk kita menjadi orang yang lebih berguna bagi orang lain dengan berbagi. Orang di sekitar kita adalah saudara kita. Ada Kristus dalam diri mereka. Apa yang kita lakukan dan berikan untuk mereka itu kita lakukan dan berikan untuk Kristus. Bukankah Kristus sendiri yang berkata demikian? Lagi pula, kebahagiaan dalam kemewahan kita akan semakin lengkap jika kita bisa menyaksikan orang-orang di sekitar kita juga turut merasakannya. Dengan demikian, kemewahan kita tidak lagi menjadi ironi yang miris dan mengiris.

*dimuat dalam majalah Bahana Februari 2011

Tidak ada komentar :

Posting Komentar