Selasa, 17 Januari 2012

Sandal Jepit ...

Sandal oh sandal ...

Masih geleng-geleng kalo ingat kasus pencurian sandal jepit milik anggota Brimob Polda Sul-Teng yang dilakukan oleh remaja berinisial AAL di Palu. Banyak kritik dan protes atas penanganan kasus ini. Sampai-sampai seratus pasang sandal jepit diserahkan ke posko pengumpulan sandal kepada Kapolri di Mabes Polri untuk pembebasan AAL.


Gambar: oase.kompas.com

Pencurian memang tindakan kriminal dan memang seharusnya dihukum. Tapi bukan tindakan kriminalitasnya yang menarik simpati dan keprihatinan banyak pihak, terutama para pekerja seni yang kemudian menggelar aksi-aksi teatrikal. Melainkan bagaimana keadilan sepertinya dijalankan tanpa nurani.
Menarik membaca salah satu "rerasan" atau untaian bernada doa yang mengungkapkan keprihatinan yang dalam terkait kasus sandal jepit yang menghebohkan.


Goleke gampang tur irit, ora ngenteke duwit, werno abang, ijo, biru, putih, ireng, ono komplit. Kenopo dadi soal sing rumit. Mung ilang sandal jepit kok jerat-jerit. Kok ino, sandal olo tekan perdoto kono. Kok ino, ora eman dadi punggowo negoro. Kok ino, hukum perdoto kok yo nompo. Kok ino, diece disurak poro kawulo. Kok ino, ra rumongso duwe roso. Kok ino, mung sandal jepit ngilangke wibowo.


Yah, jika mau itung-itungan, berapa coba harga sepasang sandal jepit. Kalau beli di warung mungkin sekitar 3 ribu atau empat ribu. Yang "ecek-ecek" (sekali dua kali pakai trus rusak) mungkin bisa murah dari itu. Tapi alas kaki seperti itu bisa membuat heboh pengadilan. Ckckck ... Apa mungkin karena itu sandal jepit aparat, jadi diperlakukan khusus? Hhhmmm ...

Rerasan di atas memang menggelitik. Hanya sandal jepit yang bisa dibeli murah kok bisa menjadi persoalan yang rumit dan bikin menjerit-jerit. Hanya sandal jepit kok ya diterima sebagai kasus di pengadilan dan ditangani aparat. Hanya karena sandal jepit kok ya tidak malu disorot rakyat. Hanya karena sandal jepit kok ya merelakan wibawa.

Kasus ini mirip dengan ironi hukum yang menimpa Nenek Minah yang iseng mengambil 3 buah kakao dari perkebunan milik sebuah perusahaan. Usai mengambil kakao, Si Nenek tidak menyembunyikannya, malah meletakkannya begitu saja di bawah pohonnya. Ketika mandor perkebunan bertanya, Nenek Minah dengan jujur mengatakan bahwa dia yang memetiknya untuk dijadikan bibit. Karena si mandor menegur perbuatannya sebagai tindakan pencurian, Nenek meminta maaf dan mengembalikan kakao itu kepada si mandor.

Badallahh … ternyata peristiwa itu berbuntut, si Nenek dituntut dan diadili. Nenek tua dan miskin harus menjadi pesakitan hanya karena 3 kakao yang bahkan sudah dikembalikannya kepada pemiliknya. Dari yang saya baca di berita, sidang yang menggelar kasus ini diwarnai keharuan mendalam, bahkan hakim terlihat menangis saat membacakan vonis.

Tidak sedikitnya komunitas seni yang menggelar aksi keprihatinan dan aktivis LSM yang tergerak pada kasus-kasus semacam ini menunjukkan bahwa rakyat peduli dan kritis —bagaimana keadilan seharusnya dijalankan tetap dalam kebijakan dan kearifan.

Apakah masih akan ada yang seperti ini, kasus kecil tapi melukai hati banyak orang?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar