Senin, 30 Januari 2012

Pray for Indonesia

Pray for Indonesia. Kata-kata ini begitu karib dengan kita, terutama beberapa bulan silam ketika duka kembali menyelimuti Indonesia. Tiga kata yang digemakan untuk menghadirkan satu semangat: semangat untuk tetap berharap.

Masih lekat di ingatan, peristiwa ketika Merapi memuntahkan material vulkanik dan Mentawai diempas tsunami. Belum lagi banjir Wasior. Ketiganya terjadi dalam waktu yang hampir bersamaan. Harta dan nyawa direnggut bersamaan, menyisakan kepedihan dan kekhawatiran. Pedih karena kehilangan keluarga dan harta; khawatir apakah kehidupan bisa pulih seperti sedia kala. Menyaksikan tayangannya di televisi saja sudah membuat bergidik, tak berani membayangkan bila mengalaminya sendiri.

Belum beranjak duka di hati, ada SMS beredar mengenai letusan dahsyat Merapi yang memancing kepanikan orang-orang, bahkan yang berada di radius lebih dari 30 kilometer dari Merapi. Masih ditambah SMS yang beredar tentang rentetan bencana yang melanda Indonesia yang terjadi dalam tanggal yang hampir bersamaan. Demikian kira-kira bunyi SMS tersebut:
Tsunami Aceh 26, gempa Jogja 26, gempa Tasik 26, tsunami Mentawai 26, Merapi meletus 26. Ada apa dengan tanggal 26?

Itu masih ditambah dengan pemberitaan di televisi yang dinilai khalayak malah menambah kekhawatiran, alih-alih menenangkan keadaan. Kekhawatiran demi kekhawatiran membuat kita berpotensi dilanda krisis—krisis harapan. Harapan akan ketenangan; harapan akan keadaan yang lebih baik. Di tengah-tengah krisis ini, muncullah seruan serempak yang diawali di dunia maya: Pray for Indonesia.

Awalnya, masih simpang siur siapa yang pertama kali menggelindingkan semangat Pray for Indonesia, hingga akhirnya ada dialog seputar munculnya Pray for Indonesia dan komunitas yang mencetuskannya. “Doa adalah hal paling kecil dan bisa dilakukan semua orang secara spontan,” demikian kata seorang anggota komunitas yang dibentuk pada Mei 2010 ini. Rentetan bencana Wasior, Mentawai, dan Merapi membuat Pray for Indonesia berkumandang kian kuat sebagai isyarat harapan untuk bangkit dari keterpurukan. Tak heran bila simbol pita hitam, gambar Garuda Pancasila, dan tulisan “pray for Indonesia” tersemat di banyak website.

Pray for Indonesia sungguh memikat haru dan iba orang di seluruh dunia. Kita bisa menyaksikan dan membaca tentang hal ini di internet. Ada facebooker yang kemudian memilih simbol ini untuk menggantikan foto profilnya. Bahkan, pray for Indonesia sempat menjadi trending topic di Twitter. Simpati dan empati bertebaran untuk menyampaikan betapa duka para korban adalah duka kita bersama. Artis dunia pun menyatakan simpatinya dan turut menyerukan Pray for Indonesia, di antaranya:
“Just found out about the earthquake in Indonesia. Everyone please pray for the people there. #prayforindonesia.” —Justin Bieber
“My heart goes out to all those affected by the quake and the volcano eruption in Indonesia #lifeisprecious #prayforindonesia.”—Kim Kardashian.
“#prayforindonesia so sad.” —Joe Jonas.
“Indonesia I love you be strong #prayforindonesia.”— Joel Madden
“Just found out about the earthquake... everyone please pray for the people there. #prayforindonesia.”— Johnny Depp 


Tergerak dan Bergerak
Bencana, menurut definisinya, adalah sesuatu yang menyebabkan (menimbulkan) kesusahan, kerugian, dan penderitaan. Para korban mengalami kesusahan, kerugian, dan penderitaan. Air mata mereka nyata sekali mewakili semua itu. Bencana alam memang selalu meninggalkan kenangan pahit dan duka mendalam.

Akan tetapi, ada pembelajaran di balik itu. Kita bisa lihat banyak sekali orang, instansi, komunitas, dan perusahaan yang tidak hanya tergerak, tetapi juga bergerak untuk membantu para korban. Ada anak yang mengikhlaskan celengannya yang sarat uang. Ada komunitas pengamen kereta api yang merelakan waktu mereka yang berharga untuk mengumpulkan uang bagi para korban. Ada anak-anak kost yang merelakan uang jajan untuk dibelikan barang-barang kebutuhan para pengungsi. Tidak sedikit gereja dan perorangan yang mengupayakan makanan bagi mereka. Banyak relawan yang mau bertaruh nyawa untuk mengevakuasi korban. Seluruh masyarakat dan elemen bahu-membahu meringankan beban dengan memberikan dan menyumbangkan apa pun yang mereka miliki yang sekiranya dibutuhkan oleh para korban. Semua satu suara untuk menyerukan solidaritas tanpa batas.

Ini pembelajaran besar bagi kita bersama. Bagi yang mengalami, peristiwa bencana menegaskan bahwa kita tidak pernah sendirian. Setiap tangan yang terulur bisa menjadi bukti atas hal itu. Bagi yang membantu, peristiwa bencana menyentuh kesadaran kita bahwa kita bisa menjadi lebih berguna bagi orang lain.

Doa
Sesungguhnya dampak bencana alam tidak hanya dirasakan oleh para korban. Banyak pihak yang terkena imbasnya secara tidak langsung yang juga menimbulkan permasalahan tersendiri. Kasus bencana Merapi bisa menjadi contoh. Letusan Merapi dan dampaknya ternyata juga memicu kelesuan di Malioboro yang menyulitkan para pedagang di sana. Pasokan sayuran dari lereng Merapi yang otomatis tersendat sempat menyebabkan “kelangkaan” sayuran di beberapa pasar tradisional. Kalaupun ada, harganya melambung. Ini menimbulkan keresahan bagi penjual dan pembeli. Namun, dampak terbesar memang dialami oleh para korban. Tempat tinggal dan mata pencaharian yang tertimbun abu memunculkan kekhawatiran besar bagaimana memulihkan semuanya.

Berbagai fenomena alam seolah selalu menyelipkan kekhawatiran dan ketakutan ke dalam hidup kita. Merapi hanyalah satu contoh di antara sekian banyak fenomena alam di sekitar kita. Kekhawatiran dan ketakutan ini muncul karena kita tidak punya kendali atas fenomena alam yang terjadi. Namun, kita punya kendali penuh atas bagaimana menghadapi dan menyikapinya, bahkan memetik pelajaran darinya. Bencana alam bisa merampas semua harta kita, bahkan keluarga. Kabar baiknya, kita memiliki sesuatu yang tak akan pernah bisa dirampas oleh bencana sedahsyat apa pun, yaitu doa.

Doa adalah bahasa universal, yang bisa dilakukan oleh siapa pun, sebagai bentuk pengakuan bahwa ada Pribadi yang sanggup melakukan segala sesuatu, termasuk memulihkan keadaan kita. Doa adalah ungkapan berserah kepada Dia yang memiliki segalanya. Dialah Tuhan kita. Ungkapan “ketika kita terjatuh hingga bersimpuh, bukankah ini posisi terbaik untuk berdoa?” menunjukkan bahwa ketika kita merasa tidak memiliki apa pun dan tidak berdaya melakukan apa pun, doa menjadi senjata ampuh untuk kita bisa menghadapi dan melewati semua yang terjadi. Doa sungguh mengembuskan penghiburan, meniupkan kekuatan, memompa semangat, dan membersitkan harapan. Pray for Indonesia.


*pindahan dari blog lama ^_^

Tidak ada komentar :

Posting Komentar