Kamis, 26 April 2012

Obrolan Kecil, Sniff, Scurry, Hem, & Haw

Pagi tadi ngobrol sedikit dengan Leni. Topiknya adalah seorang kawan yang tak diduga telah selesai menulis buku dan diterbitkan oleh penerbit kenamaan di negeri ini.

Obrolan yang membuat pikiran saya terjaga seketika. Pembicaraan setema ini selalu membangunkan mimpi yang tertidur; terninabobokan oleh kesibukan, kenyamanan, pekerjaan, keletihan, dan “hobi” ketiduran (ini parah). Ah, lagi-lagi alasan ini. Padahal banyak orang yang tetap bisa melakukan banyak hal di luar pekerjaan rutinnya. Hiks. Tertohok.

Sniff, Scurry, Hem, & Haw
Saya jadi ingat kisah Sniff, Scurry, Hem, dan Haw di buku Who Moved My Cheese. Buku yang saya baca beberapa tahun silam dan saya suka banget dengan metaforanya. Sebenarnya sederhana, tetapi begitu dekat dengan keseharian kita dalam pekerjaan dan pencapaian sesuatu; dan yang paling penting dalam menyikapi perubahan.

Sniff dan Scurry adalah seekor tikus. Sementara, Hem dan Haw adalah kurcaci (little people). Mereka berempat memiliki sifat yang berbeda.
  • Sniff, sesuai namanya Si Tukang Endus, mampu mengendus perubahan dengan segera. 
  • Scurry, Si Tukang Lacak, selalu sigap dalam bertindak.
  • Hem, selalu menolak dan tidak menghendaki perubahan
  • Haw, setiap saat selalu berusaha beradaptasi sehingga siap menghadapi perubahan dan mencapai hal yang lebih baik.


Mereka berempat tinggal dalam suatu Maze, labirin-labirin yang sarat ketidakpastian dalam menemukan keju. Dengan kemampuan masing-masing, mereka berupaya mencari keju-keju yang lezat melewati labirin-labirin yang tak jarang menyesatkan mereka. Hingga kemudian pada suatu hari mereka menemukan keju yang berlimpah ruah di Cheese Station C. Girang tak terkira.

Setiap hari mereka berempat mengunjungi Cheese Station C dan makan sepuasnya. Namun, sifat mereka masing-masing ikut menentukan cara mereka menyikapi penemuan besar ini hari-hari berikutnya.
  • Sniff dan Scurry selalu bangun pagi dan bergegas menuju Cheese Station C, melepas dan mengikat sepatunya dan menggantungkan di lehernya, baru kemudian menyantap keju. Namun, mereka tidak sekadar makan dan kenyang, tetapi juga mengamati keadaan sekitar Station C itu dan perubahannya.
  • Hem dan Haw juga bangun pagi, tetapi itu hanya hari-hari awal. Lama-kelamaan mereka hafal jalan menuju Cheese Station C dan mulai bangun siang. Berjalan ke tempat itu pun, mereka santai-santai. Mereka puas dan bahagia. 
“Bim Salabim”
Suatu hari, mereka berempat mendapati bahwa tidak ada lagi keju di Cheese Station C, kosong melompong. Semua kejunya hilang! Seperti mereka bereaksi secara berbeda terhadap penemuan besar, mereka pun beraksi secara berbeda terhadap kehilangan besar; perubahan besar.

Sniff dan Scurry tidak kaget dengan hilangnya keju itu karena mereka tidak terlena. Mereka sadar bahwa lama-kelamaan keju di tempat itu akan habis karena setiap hari dimakan. Mereka sudah siap dan segera bertindak; memakai sepatu dan berlari mencari Station lain, mencari keju baru.

Sementara, Hem dan Haw sangat terkejut, marah-marah, dan tidak segera bertindak. Mereka berteriak-teriak, “Who moved my cheese?”; menyalahkan keadaan dan pihak lain yang mungkin memindahkan keju mereka. Mereka berdua takut tidak akan bisa mendapatkan keju lagi. Mereka yakin keju mereka masih ada di sekitar tempat itu. Mereka mulai memanjat dinding dan mencari-cari, tetapi keju itu tetap tidak ada. Hem hanya diam dan putus asa. Haw tidak demikian, tidak mau diam saja. Ia mengajak Hem mencari keju di luar Station C, tetapi dia menolak. Hem masih yakin kejunya akan kembali.

Haw akhirnya pergi sendirian meskipun awalnya ia merasa takut menelusuri labirin Maze. Sepanjang jalan yang dilewatinya diberi tanda. Harapannya, itu akan memudahkan Hem seandainya ingin menyusul. Kemudian sampailah Haw di Cheese Station N; dan mendapati Sniff dan Scurry sedang menikmati keju yang lezat. Haw sangat gembira.

“Kembali ke Laptop”
Kembali ke kisah kawan yang berhasil menyelesaikan bukunya. Bagi saya, kabar ini (dan percakapan-percakapan sejenis) ibarat keterkejutan Sniff, Scurry, Hem, dan Haw ketika mendapati Cheese Station C kosong. Sebuah perubahan yang harus segera disadari dan disikapi (apalagi jika itu terkait mimpi besar kita).

Pengennya sih seperti Sniff dan Scurry, langsung sigap mengenakan sepatu dan tancap gas (baca: menulis). Tapi saya tidak sehebat itu. Haw lebih pas untuk dijadikan metafora saya. Awalnya kaget, stres, bingung, tapi tidak berkubang. Setelah “dibangunkan” dari tidur panjang kenyamanan, mulai perlahan mencoba melangkah, mempercepat langkah, dan berlari. Tidak berhenti belajar dan mengamati. Semoga.

Yang penting tidak seperti Hem. ^_^


Rabu, 25 April 2012

Ritsleting


[Sebenarnya pengen posting ini kemarin biar pas, tapi halah ketiduran. Hadehh .. the same old story.]





Baiklah. Kemarin, 24 April, saya penasaran dengan tampilan Google; ada ritsletingnya. Iseng nge-klik, badalah, ritsletingnya terbuka dan tampaklah semua link terkait Gideon Sundbäck. Ternyata, kemarin adalah hari ulang tahun bapak penemu ritsleting itu. Oooo …. Penemuan Anda sungguh berarti, Pak! :D

Menurut berita, Gideon Sundbäck bukanlah pencetus pertama ritsleting. Jauh sebelumnya, Elias Howe sudah menemukan “nenek moyang”-nya ritsleting yang waktu itu tanpa slider. Barulah pada 1906–1914, Gideon Sundbäck mengembangkan ristleting dengan berbagai versi dan perbaikan.

Sekitar satu dekade kemudian, ritsleting dipopulerkan oleh BF Goodrich (perusahaan ban internasional) ketika dipasang pada produk sepatu boot mereka. Baru dua puluh tahun sesudah masa itu, ritsleting mulai diterapkan dalam industri fashion sampai sekarang dengan segala perkembangannya; seperti yang kita lihat.

Untnglah ada ritsleting. Kalau tidak, bagaimana nasib celana jin kita? Pakai kolor? Hehehe …. ^_^

Senin, 23 April 2012

Tidak Mencerdaskan

Sumber: Iklan & Postingan di Facebook

Membaca iklan ini beberapa waktu lalu, langsung miris. Sebegini mudahnya intelektualitas diperjualbelikan? Hanya ditakar dengan uang?  Zaman apa ini sebenarnya?

Dan kalimat kedua iklan di atas? "Ijazah dijamin resmi, asli, dan terdaftar di kampus & DIKTI/Kopertis." Semoga ini salah dan hanya iming-iming dari pemasang iklan belaka. Jika tidak, deretan keprihatinan kita akan semakin panjang. 

Sebenarnya praktik-praktik semacam ini sudah banyak dan menjadi rahasia umum (termasuk jasa pembuatan skripsi, desertasi, dan semacamnya), tetapi mengiklankannya terang-terangan di media publik dan jejaring sosial, saya benar-benar tidak habis pikir.

Saya pernah secara terus-terang menyampaikan keberatan pribadi saya kepada seseorang yang saya tahu dia memiliki usaha pembuatan skripsi. Saya katakan, "Itu usaha yang tidak ikut mencerdaskan kehidupan bangsa." Anda tahu apa jawabannya? Dia bilang, "Aku cuma memanfaatkan kemalasan anak-anak yang tidak mau membuat skripsi." Astaga! Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Jika kemalasan memang adalah masalah, mengapa kita tidak menjadi bagian dari solusinya?  Jika memang kemalasan menjadi masalah, bukankah "memfasilitasi" akan membuatnya semakin parah?  

Poin penting lain yang pantas juga kita lihat bersama adalah stigma terhadap sekolah dan pencapaian nilai (lulus dan mendapatkan ijazah). Entah bagaimana, sepertinya pelajar memandang hal itu sebagai sesuatu yang sangat sulit. Tentu saja, sistem pendidikan dan kurikulum juga tidak bisa dipisahkan dalam masalah ini. Oleh karena itu, ketika ada jalan mudah untuk mendapatkan semua itu (ijazah instan), tidak sedikit yang memanfaatkannya. Jika kondisi ini terus-menerus diabaikan dan tidak disikapi, pelajar yang pekat dengan "daya tahan" akan langka ditemukan. Sangat disayangkan.

Terkait dengan hal itu, saya sangat salut dengan beberapa teman guru yang saya tahu mereka berupaya mengubah image pelajaran yang "menakutkan" di mata siswa menjadi sesuatu yang menyenangkan. Entah melalui kegiatan pembelajaran yang asyik atau melalui penerbitan buku-buku yang mencerahkan.  Dengan demikian, mereka menjadi bagian dari solusi dengan cara yang sehat. Dengan kreativitas, mereka membuat siswa tertarik untuk belajar, dengan dorongan yang muncul dari diri sendiri, bukan dari luar. Saya yakin seseorang yang memiliki dorongan kuat dalam dirinya akan memiliki daya tahan belajar yang lebih baik—dan semangat pantang menyerah ini akan menemani mereka sampai jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jauh dalam hati saya berharap, dengan demikian, mereka tidak akan mudah tergiur dengan iming-iming kemudahan membuat ijazah instan.

Jadi sebenarnya ini bukan semata-mata tentang mencari uang, melainkan kepedulian.


Jumat, 20 April 2012

Punggung


...

seperti cinta yang betah berjaga
di tempat yang tak diketahui mata.

seperti doa yang merapalkan diri
di tempat yang hanya diketahui hati.


... nukilan dari JokPin ...


Rabu, 18 April 2012

Les Miserables


Judul Buku : Les Miserables


Penulis : Victor Hugo


Penerjemah : Anton Kurnia


Penerbit : Bentang Pustaka


Tebal : viii + 692 halaman







Adalah Jean Valjean, tokoh utama dalam buku ini yang menunjukkan bahwa cahaya tetaplah cahaya di tengah kegelapan sekelam apa pun. … mengubah hydra menjadi malaikat.

Jean Valjean kecil adalah seorang yatim yang tinggal dengan kakak perempuannya. Saat Jean Valjean berusia 25 tahun, suami sang kakak meninggal dunia, meninggalkan istri dan ketujuh anaknya. Jean Valjeanlah yang menghidupi mereka. Untuk itu, ia bekerja sebagai tukang kebun, dan kuli. Pada suatu musim dingin, ia tidak menghasilkan uang untuk menghidupi ketujuh keponakannya dan dirinya sendiri karena ia tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali. Ia akhirnya terpaksa mencuri roti. Hanya berawal dari roti, akibatnya tragis, ia dijatuhi hukuman kerja paksa di kapal selama 5 tahun. Beberapa kali ia berusaha kabur, tetapi gagal, dan akibatnya lebih tragis, hukumannya berkembang dari 5 tahun menjadi 19 tahun (1796–1815).

Kehidupan keras selama di kapal menempanya menjadi seorang yang jiwanya diliputi kegelapan dan kebencian. Vicor Hugo dengan apik menggambarkan kekalutan ini.

Jean Valjean masuk kapal kerja paksa dengan tersedu dan gemetar; ia keluar dengan wajah keras. Ia masuk dengan putus asa; ia keluar dengan penuh amarah. Hidup macam apakah yang telah dijalani jiwa ini?

Pada tahun yang sama ketika ia dibebaskan, ia bertemu dengan seorang uskup di kota D___. Untuk pertama kalinya dalam 19 tahun, ia mengalami dan merasakan kebaikan dan ketulusan hati. Alih-alih merasakan ketenangan dan kedamaian, ia justru bingung dengan semuanya itu. Ia akhirnya memilih meninggalkan sang uskup. Namun, tanpa disadarinya, pertemuan ini menjadi cahaya yang kelak akan mengubah seluruh kehidupannya.

Pada akhir tahun itu, ia menemukan peluang bisnis dan dalam waktu singkat ia menjadi seorang kaya raya, yang (ajaibnya) berhati lembut. Usaha yang dijalankannya mengubah kehidupan masyarakat di sekitarnya, tidak hanya dalam hal kesejahteraan, tetapi juga dalam hal stabilitas dan keamanan karena tingkat kejahatan dan pengangguran menurun drastis. Berangkat dari sini, ia diangkat menjadi walikota dan dipanggil sebagai Monsieur Madeleine. Tidak ada lagi Jean Valjean.

Hingga suatu hari, kelembutan hatinya justru membawanya kembali ke kapal dan menjalani kerja paksa. Tragedi ini berawal ketika seseorang bernama Champmathieu ditangkap karena dikenali sebagai Jean Valjean. Ia akan segera diadili berkenaan dengan kejahatan yang dituduhkan kepadanya. Sontak Monseur Madeleine terkejut dan bingung. Tidak rela orang lain menanggung perbuatan yang tak pernah dilakukannya, Monseur Madeleine mengaku dan membuka jati dirinya. Dengan besar hati, ia menanggalkan kehormatannya dan kembali menjadi narapidana.

Selang beberapa tahun sesudahnya, Monsieur Madeleine atau Jean Valjean dikabarkan meninggal karena tenggelam di laut seusai menolong narapidana lain yang akan jatuh. Sesungguhnya, ia belum mati. Semangat hidupnya begitu besar demi mencari seorang anak bernama Cosette. Ia adalah anak perempuan Fantine, wanita yang pernah ditolongnya ketika ia menjadi walikota. Jean Valjean menepati janjinya dan pergi ke Montfermeil, dekat Paris, tempat ia akhirnya menemukan Cosette yang nasibnya tak jauh beda dengan ibunya, malang dan menderita. Selama ini, Cosette menjadi pembantu yang menyedihkan di keluarga Thenardier, padahal Fantine selalu mengirimkan uang kepada keluarga itu untuk anaknya. Jean Valjean akhirnya membawa Cosette pergi dari keluarga itu.

Meskipun sama sekali tidak mengenalnya, Cosette sangat memercayai Jean Valjean, bahkan menganggapnya ayah. Penderitaan yang sama-sama dialami Cosette dan Jean Valjean menumbuhkan sebuah perasaan yang langka bagi mereka, mencintai dan dicintai. Namun, kini mereka sama-sama merasakan itu. Keistimewaan matahari terbit adalah membuat kita menertawakan semua ketakutan kita semalam dan riuhnya tawa kita itu selalu seimbang dengan besarnya ketakutan yang kita rasakan. Mungkin demikian penggambarannya, seperti yang dituliskan Victor Hugo.

Tahun demi tahun berlalu, Cosette tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kekosongan jiwa Jean Valjean terisi penuh dengan kehadiran Cosette dalam kehidupannya. Dapat dikatakan ia akan melakukan apa pun demi Cosette. Perasaan cinta ini entah bagaimana berkembang dan bukan lagi cinta seorang ayah kepada anaknya (saya merasa demikian, seperti yang secara tipis digambarkan oleh Victor Hugo). Akibatnya, ia marah ketika mengetahui Cosette jatuh cinta kepada Marius, begitu pula Marius, dan mereka sering bertemu secara sembunyi-sembunyi. Ia berusaha menjauhkan Cosette dari Marius dengan membawanya pergi dari kota itu. Upaya ini pun tidak mudah karena bagaimanapun, Jean Valjean adalah buronan.

Meskipun hatinya sakit, kelembutan hatinya tak pernah sirna. Di tengah-tengah kisruh pasca Revolusi Prancis, justru Jean Valjeanlah yang menyelamatkan Marius melalui medan yang hampir mustahil dilalui oleh manusia. Dia juga yang mempertemukan Cosette dan Marius, dan akhirnya mereka menikah. Di akhir cerita, dituliskan bahwa setelah melalui berbagai konflik, Marius mengetahui bahwa Jean Valjeanlah yang menyelamatkan nyawanya.


Yah, mencintai dan dicintai, itu cukup. Jangan meminta yang lebih dari itu. Tak akan ada mutiara lain yang bisa ditemukan di kegelapan palung kehidupan. Mencintai adalah sebentuk penyempurnaan.

-------

Meskipun bukunya besar, tebal, dan hurufnya kecil-kecil, tidak membutuhkan “ketabahan khusus” untuk menyelesaikan baca buku ini karena terjemahannya ciamik. Les Miserables bukan sekadar fiksi karena banyak muatan sejarahnya. Tidak heran jika di dalamnya terdapat banyak tokoh dan kelompok, juga sudut pandang politik. Dalam pembacaan saya, ini menggambarkan bahwa situasi saat itu benar-benar sulit. Beberapa pembaca mengatakan buku ini berat, hhmmm mungkin, tapi saya sangat menikmatinya dan puas.

Benang merahnya, buku ini sarat kepedihan, keputusasaan, [dan kebahagiaan] Jean Valjean. Namun, kepedihan sama saja dengan segala hal lain, lama-kelamaan menjadi tertanggungkan dan akhirnya menghasilkan bentuk dan kemapanan tertentu. Begitu Jean Valjean memaknai setiap penderitaannya, hingga akhirnya ia menutup mata dan memberikan pelajaran besar [untuk saya] bahwa wujud terindah dari mencintai bukanlah memiliki, melainkan memastikan kebahagiaannya.

Menutup halaman terakhir buku ini, saya menangis.
  

Perut Tidak Bisa Menunggu

Stomach cannot wait. Perut tidak bisa menunggu.

Meskipun disitir Bung Karno bertahun-tahun silam, ungkapan tersebut masih bisa kita lihat relevansinya dengan kondisi masyarakat sekarang. Memang perut bukan urusan satu-satunya; dan bukan berarti ketika perut kenyang segalanya menjadi beres. Namun, urusan perut menjadi pertimbangan penting dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu, misalnya dalam hal pendidikan dan kesehatan.

Angka anak putus sekolah karena alasan ekonomi (baca: perut) cukup menyentak kesadaran kita. Angka anak putus sekolah seluruh jenjang pendidikan di Indonesia masih di atas satu juta siswa per tahun. Belum lagi data yang menunjukkan bahwa provinsi dengan tingkat pendapatan rendah cenderung memiliki angka putus sekolah yang juga tinggi. Bahkan yang membuat prihatin, tidak sedikit anak sekolah yang sengaja tidak mengikuti ujian nasional karena mereka tahu bahwa mereka tidak akan bisa melanjutkan sekolah. Mereka harus bekerja karena tuntutan ekonomi (baca: perut).

Perut tidak bisa menunggu; orang lapar—kelaparan—akan mengerahkan upaya untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Bila ingin disederhanakan, bagaimana akan bersekolah dan belajar bila perut lapar?
Memang ini masalah klasik, tetapi bukan berarti kita tidak bisa berbuat apa-apa.

Bermenung dan Beraksi
Jutaan anak putus sekolah. Jutaan rakyat terpaksa hidup di kampung kumuh. Bahkan pada akhir 2009, lebih dari 100 kabupaten di Indonesia masih memiliki penduduk yang terancam gizi buruk. Belum lagi masalah kesehatan yang terpinggirkan karena lagi-lagi alasan ekonomi. Data ini akan tinggal data dan wacana jika tidak disertai aksi nyata. Bahkan tulisan ini tidak lebih dari sekadar barisan huruf-huruf bila saya hanya menulis dan tidak beraksi.

Kita membaca bahwa di Swedia, Norwegia, Finlandia, dan Denmark, para pejabat tingginya pergi ke kantor dengan naik sepeda, berjalan kaki, atau dengan kendaraan umum. Atau Presiden Filipina yang rela bermacet ria di jalan sebagai wujud solidaritas kepada rakyatnya (Jean Zieglar, Les Nouveaux Maitres, 2002). Sementara, di sini muncul berita tentang pembelian mobil dinas seharga 1,3 miliar untuk para pejabat negara kita. Disandingkan dan dibandingkan? Tragis, mengiris, ironis.

Kita juga membaca pemerintah berprestasi meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi, menurunkan angka kemiskinan, dan menekan praktik korupsi. Namun, kita masih melihat banyak orang tinggal di pemukiman kumuh atau hidup dengan kondisi ekonomi terpuruk. Bahkan ada yang tidak memiliki uang untuk berobat. Artinya, semua program pemerintah yang dijalankan belum menyentuh semua elemen.

Seperti perut tidak bisa menunggu, kita juga tidak perlu menunggu. Tidak perlu menunggu program pemerintah atau momen yang pas. Kita bisa meraih orang-orang di sekitar kita dengan cara sederhana, tentu saja semampu kita. Berbagi makanan. Membantu sedikit biaya pengobatan. Memberikan informasi dan peluang bekerja atau menambah pendapatan. Ini bisa menjadi bantuan kecil yang berarti. Kuncinya adalah tidak muluk-muluk, tetapi menyentuh kebutuhan. Tidak perlu jauh-jauh, tetangga sekitar bisa menjadi pertimbangan pertama.

Satu hal penting yang tidak boleh dihilangkan jika kita ingin masalah di atas tidak menjadi fenomena gunung es—hanya terlihat kecil (dan sepele) di permukaan, padahal di dalamnya menyimpan bahaya—, yaitu semangat kerelaan dan pengorbanan. Dan semangat ini dilandasi kuat oleh rasa kepedulian.

Kebaikan dan kepedulian (meski kecil) tidak hanya menyentuh, tetapi juga menular. Mari kita menularkannya.

*Bahana, November 2011


Kamis, 05 April 2012

Entah Apa Judulnya ...

Sejenak menatap ke hari itu, tapi dari kejauhan kau berteriak “jangan!”
Kenapa?

 “Aku tidak ingin kau melihatku memunguti kenangan.”
(mendung menggantung)

“Kau membuatku berpuisi, tapi kenangan kita terasa berhenti.”
(gerimis turun)

“Di antara kerutan waktu, kenangan ini akan membawaku kepadamu.”
….
Kau memungut kenangan terakhir itu, lalu berpaling.
Dan hujan pun berderai.


*menemukan ini di antara yang terserak pada suatu masa dan belum berjudul. ^^