Sumber: Iklan & Postingan di Facebook |
Membaca iklan ini beberapa waktu lalu, langsung miris. Sebegini mudahnya intelektualitas diperjualbelikan? Hanya ditakar dengan uang? Zaman apa ini sebenarnya?
Dan kalimat kedua iklan di atas? "Ijazah dijamin resmi, asli, dan terdaftar di kampus & DIKTI/Kopertis." Semoga ini salah dan hanya iming-iming dari pemasang iklan belaka. Jika tidak, deretan keprihatinan kita akan semakin panjang.
Dan kalimat kedua iklan di atas? "Ijazah dijamin resmi, asli, dan terdaftar di kampus & DIKTI/Kopertis." Semoga ini salah dan hanya iming-iming dari pemasang iklan belaka. Jika tidak, deretan keprihatinan kita akan semakin panjang.
Sebenarnya praktik-praktik semacam ini sudah banyak dan menjadi rahasia umum (termasuk jasa pembuatan skripsi, desertasi, dan semacamnya), tetapi mengiklankannya terang-terangan di media publik dan jejaring sosial, saya benar-benar tidak habis pikir.
Saya pernah secara terus-terang menyampaikan keberatan pribadi saya kepada seseorang yang saya tahu dia memiliki usaha pembuatan skripsi. Saya katakan, "Itu usaha yang tidak ikut mencerdaskan kehidupan bangsa." Anda tahu apa jawabannya? Dia bilang, "Aku cuma memanfaatkan kemalasan anak-anak yang tidak mau membuat skripsi." Astaga! Saya tidak percaya dengan apa yang saya dengar. Jika kemalasan memang adalah masalah, mengapa kita tidak menjadi bagian dari solusinya? Jika memang kemalasan menjadi masalah, bukankah "memfasilitasi" akan membuatnya semakin parah?
Poin penting lain yang pantas juga kita lihat bersama adalah stigma terhadap sekolah dan pencapaian nilai (lulus dan mendapatkan ijazah). Entah bagaimana, sepertinya pelajar memandang hal itu sebagai sesuatu yang sangat sulit. Tentu saja, sistem pendidikan dan kurikulum juga tidak bisa dipisahkan dalam masalah ini. Oleh karena itu, ketika ada jalan mudah untuk mendapatkan semua itu (ijazah instan), tidak sedikit yang memanfaatkannya. Jika kondisi ini terus-menerus diabaikan dan tidak disikapi, pelajar yang pekat dengan "daya tahan" akan langka ditemukan. Sangat disayangkan.
Terkait dengan hal itu, saya sangat salut dengan beberapa teman guru yang saya tahu mereka berupaya mengubah image pelajaran yang "menakutkan" di mata siswa menjadi sesuatu yang menyenangkan. Entah melalui kegiatan pembelajaran yang asyik atau melalui penerbitan buku-buku yang mencerahkan. Dengan demikian, mereka menjadi bagian dari solusi dengan cara yang sehat. Dengan kreativitas, mereka membuat siswa tertarik untuk belajar, dengan dorongan yang muncul dari diri sendiri, bukan dari luar. Saya yakin seseorang yang memiliki dorongan kuat dalam dirinya akan memiliki daya tahan belajar yang lebih baik—dan semangat pantang menyerah ini akan menemani mereka sampai jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Jauh dalam hati saya berharap, dengan demikian, mereka tidak akan mudah tergiur dengan iming-iming kemudahan membuat ijazah instan.
Jadi sebenarnya ini bukan semata-mata tentang mencari uang, melainkan kepedulian.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar