Kamis, 27 Oktober 2011

Makanan & Status Sosial


Makanan ....

Hhmmm, dibicarakan saja sudah terbayang enaknya, apalagi disantap. Urusan perut memang sepertinya tidak akan ada ujungnya bila dibicarakan.

Setiap orang memiliki makanan favoritnya masing-masing, termasuk juga rumah makan atau warung favorit. Bahkan setiap daerah memiliki penanda kulinernya sendiri-sendiri: Padang dengan rendangnya, Jogja dengan gudegnya, Palembang dengan empek-empeknya, Bandung dengan karedoknya, Sumedang dengan tahunya, Semarang dengan bandeng prestonya, Magelang dengan kupat tahunya, Solo dengan timlonya .... bakalan panjang sekali bila mau menyebutkan semua kuliner nusantara. Seorang penggemar kuliner dan travelling pasti lebih tahu tentang makanan-makanan khas daerah, bahkan mereka bisa menunjuk dan merekomendasikan tempat makan yang asyik dan tentu saja nikmat.

Bagaimanapun, makanan tetap saja dicari dan menarik minat banyak [semua] orang. Rasanya saya jarang sekali mendengar ada usaha warung atau rumah makan yang berhenti karena bangkrut [berbeda dengan usaha warnet atau game center]. Bahkan, meskipun dalam satu deret jalan ada puluhan warung makan tenda, mereka toh tetap eksis dan buka setiap sore atau sepanjang hari. Ini bukti nyata bahwa urusan perut (pembeli) bisa menjadi solusi bagi masalah perut (penjual), bahkan menggerakan perekonomian. Persis seperti yang dulu sering disitir oleh Bung Karno, stomach can't wait ... perut tidak bisa menunggu.

Hhmm ...


Paradigma yang Bergeser

Sebagai salah satu kebutuhan pokok selain sandang dan papan, makanan (pangan) tentu saja menjadi hal yang harus ada sehari-hari dan menunjang berlangsungnya kehidupan. Oleh karena itu muncul ungkapan "makan untuk hidup". Dimaknai secara harfiah dan apa adanya, ungkapan ini tentu saja benar. Jika tidak, makanan pasti tidak akan dimasukkan sebagai salah satu kebutuhan pokok.

Akan tetapi, paradigma makan untuk hidup nyata sekali dan harus diakui sudah bergeser menjadi hidup untuk makan. Tidak sedikit orang yang datang ke tempat makan tidak semata-mata karena perut lapar, tetapi sekadar ngobrol atau nongkrong.

Saya pernah sekali-kali nongkrong di kafe, kafe cokelat tepatnya. Hanya minum tiga gelas cokelat bersama anak dan suami, saya musti keluar uang 35 ribu rupiah. Bagi kami, ini jajan mewah meskipun bagi banyak orang mungkin ini biasa saja, atau bahkan murah.

Ada juga yang sekadar jajan donat dan minum jus, atau roti dan kopi di bakeri-bakeri ternama yang dilengkapo hot spot gratis dan tempat nongkrong yang asyik.

Jelas ini bukan dalam rangka makan untuk hidup. Ini gaya hidup; dan gaya hidup yang digadang-gadang menunjukkan status sosial seseorang. Semakin kaya atau semakin meningkat kesejahteraan seseorang atau semakin tinggi jabatan seseorang, bisa dipastikan akan diikuti dengan perubahan gaya hidup, termasuk kebiasaan makan dan pemilihan tempat makan. Seorang direktur tentu saja tidak akan mengorbankan prestisnya dengan terlihat makan di warung burjo pinggir jalan. Alih-alih, ia akan memilih restoran mewah dan nyaman, apalagi bila ia makan bersama relasi. Sementara, seorang pekerja buku seperti saya, tentu tidak perlu pusing memikirkan prestis dan relasi. Saya bisa makan burjo atau nasi kucing di angkringan dengan santai dan nyaman.

Bila ingin pembanding yang lebih ekstrem lagi, kita bisa melihat kepada orang-orang yang masih berpegang pada paradigma makan untuk hidup. Tempat makan tidak akan menjadi pertimbangan karena yang penting adalah ada yang bisa dimakan. Mereka hidup dengan segala bentuk kesederhanaan dan keterbatasan, dan juga pemaknaan penuh terhadap tujuan dasar makanan. Saya yang sering [tergoda] jajan sana-sini bisa belajar hal ini dari mereka.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar