Kelak perjalananmu hanya sejauh perut menuju pelukan ...
Kira-kira begitu nukilan lengkapnya. Saya menukil dari sebuah buku yang saya lupa judulnya. hehe. *kebiasaan.
20 Februari kemarin adalah perayaan. Perayaan 6 tahun yang lalu menyambutnya pertama kali dalam pelukan.
Pagi itu ada tiga tangisan.
Tangisan pertama bukan saat puncak sakitnya terasa. Sakitnya proses tak sampai membuahkan air mata, entah mendapat kekuatan dari mana. Air mata pertama jatuh berbarengan dengan pekik tangis pertama yang kudengar dari sosok yang belum kulihat wajahnya.
Tangisan kedua saat kulihat wajahnya untuk pertama kali, saat dia berada dalam pelukan untuk pertama kalinya. Rupanya ini wajah yang selama sembilan bulan bersama dengan saya, meringkuk hangat di rahim saya.
Tangisan ketiga dan yang masih membuat saya berkaca-kaca saat menuliskan ini adalah ketika melihat ibu saya berdiri di ambang pintu. Waktu itu memang saya melarang suami memberi tahu ayah dan ibu bahwa saya sudah berada di rumah sakit, detik-detik melahirkan. Banyak pertimbangan. Waktu itu tengah malam. Kami tinggal beda kota. Saya yakin 100% jika mereka mendengar kabar, mereka akan langsung datang malam itu juga. Saya khawatir mereka akan terburu-buru dalam perjalanan. Karena itu, kabar sampai ke mereka ketika cucu mereka sudah lahir. Begitu melihat ibu saya, saya spontan lupa sakitnya pasca melahirkan, lemahnya badan karena pendarahan, dan langsung menghambur memeluknya. Saya memeluknya tanpa kata-kata. Tapi ibu tahu, pelukan kami adalah bahasa. Mungkin ibu membayangkan perjalanan saya dahulu dari perut menuju pelukannya.
Ah, ibu.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar