Suasana #NgopiCerpenis (di) Kompas, 16/12. Foto @MelviYendra
Rasa
penat dan capek karena didera macet parah dari Bekasi Timur ke
Palmerah, Jakarta Barat, langsung sirna ketika sampai ke kantor Kompas
pukul 12.10 WIB. Saya terlambat sepuluh menit. Padahal saya sudah
berangkat dari Bekasi sejak pukul sembilan pagi. Hari ini memang hari
Senin. Awal minggu. Biasanya macet Jakarta memang gila-gilaan. Tapi saya
tidak menyangka macet akan separah ini. Biasanya jarak tempuh hanya 1.5
– 2 jam Bekasi-Palmerah. Hari ini 3 jam. Dua kali lipat.
Baiklah,
kita lupakan saja macet Jakarta yang masih jadi PR besar pemkot DKI.
Tentu teman-teman tak ingin membaca cerita saya tentang macet yang
menyebalkan itu, melainkan cerita tentang acara #NgopiCerpenis yang
diadakan Kompas Minggu, 16 Desember 2013 kemarin.
Bli Can (Fajar Arcana –red) sudah menggagas acara ini sejak 19 Maret 2013 silam di Twitter. Saat itu beliau mention
beberapa teman di Twitter, termasuk saya, untuk ngopi sambil ngobrol di
Kompas. Dijadwalkan acara itu sekitar akhir Maret atau awal April.
Ternyata rencana ini tenggelam seiring rutinitas dan pekerjaan Bli Can
dan teman-teman di Kompas Minggu.
Pada 30 November 2013, tiba-tiba saja Bli Can kembali mention
saya dan beberapa teman untuk mewujudkan rencana #NgopiCerpenis yang
tertunda. Sedikit kaget sih. Saya pikir Bli Can sudah lupa. Saat Bli Can
mention kali ini, beliau sudah langsung menetapkan tanggal
acaranya 16 Desember 2013, pukul 14.00 WIB. Lalu waktunya berubah
menjadi pukul 12.00 WIB, karena ternyata tim Kompas Minggu berbaik hati
ngajak teman-teman yang datang ke acara ini untuk makan siang.
Sepertinya menu makan siang itu masakan khas Manado. Saya suka dengan
tumis bunga pepayanya. Loh kok bahas makan siangnya?
Karena
keterbatasan ruangan dan tempat, Bli Can mengatakan jika jumlah peserta
#NgopiCerpenis hanya 20 orang. Pada perjalanannya ternyata membengkak
jadi 26-27 orang yang daftar. Dan pada hari H-nya ternyata banyak sekali
yang tak bisa datang karena ada suatu lain hal.
Pak
Martin Aleida datang dengan kondisi kesehatan yang semakin baik. Kita
semua tahu, sekitar Mei 2013 silam, beliau mendapat musibah, ditabrak
motor hingga kakinya terluka. Tapi saat bertemu di kantor Kompas tadi
siang, kondisi beliau sudah jauh lebih baik daripada saat acara Cerpen
Pilihan Kompas, Juni 2013. Semoga semakin sehat, Pak.
Selain
Pak Martin Aleida, ada Pak Yanusa Nugroho, Pak K. Usman, Uda Damhuri
Muhammad, Uda Melvi Yendra, Daeng Khrisna Pabichara, Kak Ana Mustamin,
Mbak Ni Komang Ariani, Mbak Clara Ng, Langit Amaravati, Mbak Widya
Oktavia, Anggun Prameswari, Feby Indirani, Ade “Bukan Unyil”, Rai Zara,
Mami Tula Rashi, dan tentu saja Bli Can, Ibu Ninuk, Ibu Myrna Ratna, dan
tim Kompas Minggu lainnya, termasuk admin twitter @kom_ming yang
sepanjang acara jeprat-jepret peserta dan bercuit. Harusnya saya pasang
gaya dulu kalau mau difoto, biar cakepan.
Ngobrol
santai tapi serius ini dibuka oleh Bli Can yang menyatakan beliau
sangat berterima kasih atas kedatangan teman-teman ke kantor Kompas.
Lalu dilanjutkan sedikit pengantar dari Ibu Ninuk yang menceritakan
perkembangan Kompas sebagai harian umum, termasuk perkembangan cerpen
Kompas yang diharapkan bisa dinikmati oleh semua pembaca Kompas, bukan
hanya kalangan tertentu seperti sastrawan atau pecinta sastra saja.
Setelah
pengantar singkat dari Ibu Ninuk, Bli Can mengambil alih acara kembali
dengan menceritakan sedikit perjalanan rubrik cerpen Kompas. Cerpen yang
pertama kali dimuat Kompas itu sekitar tahun 1967, berbahasa Jawa dan
diambil dari sebuah majalah, bukan dikirim langsung ke Kompas. Judulnya Saidjah. Baru pada tahun 1978, Kompas memuat cerpen berbahasa Indonesia. Sejak itu pula Kompas secara rutin memuat cerpen per minggu.
Bli
Can juga memberi data seberapa banyak Kompas menerima kiriman cerpen
per harinya. Pada tahun 2011, sehari Kompas bisa menerima 8-9 cerpen.
Berarti seminggu ada 56-63 cerpen. Dan yang dimuat hanya 1 cerpen. Pada
tahun 2012 melonjak jadi 12-13 cerpen per hari, 84-91 cerpen per minggu.
Dimuat tetap 1 cerpen.
Untuk
data 2013 masih rata-rata 12-13 cerpen per hari sampai Oktober 2013.
Akan tetapi pada bulan November 2013 menjadi bulan terparah, Kompas
menerima cerpen sebanyak 17-18 cerpen per hari. Artinya ada 119-126
cerpen per minggu dan dimuat tetap 1 cerpen. Kondisi inilah yang membuat
antrian cerpen di Kompas semakin panjang, yang dulu 1-2 bulan sudah
bisa diputuskan cocok/tidak untuk dimuat. Sekarang bisa jadi 3-4 bulan.
Setelah
Bli Can memberi gambaran sedikit tentang kondisi dapur Kompas. Giliran
Ibu Myrna Ratna yang memberi sambutan. Bagi yang mengirim cerpen ke
Kompas 2-3 tahun belakangan, pasti kenal dengan nama beliau. Karena nama
beliau selalu tercantum di akhir surat pengembalian cerpen yang tidak
cocok untuk Kompas. Saya sampai hapal karena sering dapat surat ini.
Hahahahaha…
Ibu
Myrna merasa sangat senang dengan acara #NgopiCerpenis ini, beliau dan
tim Kompas Minggu berharap menerima masukan berupa kritik, saran, usul,
dan boleh unek-unek dari teman-teman yang datang, agar beliau dan tim
Kompas Minggu bisa membuat rubrik cerpen Kompas ini jadi lebih baik di
masa akan datang.
Sesi
“curhat” dimulai dari Pak Yanusa Nugroho. Prolog beliau cukup menarik,
tentang perkembangan sastra Indonesia yang jauh lebih baik tinimbang
negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei. Akan tetapi
kesejahteraan sastrawan jauh lebih baik di negara-negara tersebut
daripada di Indonesia.
Saat
Bli Can memperlihatkan data dari tim Kompas Minggu tentang betapa repot
dan kelabakannya mereka menyaring cerpen-cerpen yang masuk di Kompas
Minggu, Pak Yanusa mengusulkan –tepatnya mengulang usulan dari Pak
Danarto pada Pak Bre beberapa tahun lalu; bagaimana jika Kompas
mengambil redaktur tamu untuk membantu tim redaksi dalam menyeleksi
naskah-naskah cerpen yang masuk? Tentu redaktur tamu ini adalah orang
yang benar-benar paham dengan sastra. Diharapkan adanya redaktur tamu
akan meringankan pekerjaan para tim Kompas Minggu.
Bli
Can mengatakan, itu usul yang bagus. Tentu beliau dan teman-teman di
Kompas Minggu sangat senang dengan usul yang bisa meringankan pekerjaan
mereka. Akan tetapi Bli Can dan teman-teman Kompas Minggu tidak bisa
langsung mengiyakan usul ini. Karena usul seperti ini harus diajukan
dulu di rapat redaksi dan tentu saja harus mendapat persetujuan atasan.
Selain
usul editor tamu, Pak Yanusa juga memberi usul agar Kompas Minggu
membuka halaman untuk remaja, selain dewasa dan anak yang sudah ada.
Menurut beliau, potensi pembaca remaja cukup bagus. Tujuan rubrik ini
agar penulis yang masih remaja bisa belajar menulis sastra dengan lebih
baik.
Oya,
selain usul itu. Pak Yanusa juga mengusulkan, akan lebih baik jika
Kompas Minggu tidak hanya memuat 1 cerpen per minggu, melainkan 2
cerpen. Dan usul beliau yang diaminkan semua peserta #NgopiCerpenis
adalah honor cerpen dinaikan, kalau bisa 2x lipat, tentu penulis tidak
menolak. Mendengar ini Bli Can dan tim Kompas Minggu tertawa. Semoga
tawa itu tanda iya.
Setelah Pak Yanusa selesai mengeluarkan unek-uneknya, Pak Martin Aleida yang mengambil kesempatan untuk bicara.
Pak
Martin merasa sangat senang karena 1-2 tahun belakangan ini, Kompas
Minggu banyak sekali memunculkan penulis muda (baru). Itu artinya Kompas
Minggu secara sadar telah melakukan regenerasi. Akan tetapi ada sedikit
kritik yang Pak Martin sampaikan.
Menurut
beliau, Kompas Minggu harus bisa memberikan sesuatu yang mendidik bagi
penulis senior atau pun baru. Maksud beliau seperti ini, Pak Martin
merasa kualitas beberapa cerpen dari penulis senior yang dimuat Kompas,
tidak mencerminkan “nama besar” penulis itu. Harusnya Kompas punya
patokan untuk nama-nama maestro. Misal Martin Aleida atau Yanusa
Nugroho, jika “nilai” cerpen yang dikirim kedua nama itu tak sesuai
dengan karya-karya mereka selama ini, atau lebih baik dari itu. Kompas
jangan memuatnya.
Jadi
ada sesuatu yang mendidik di sana. Mendidik penulis besar dan muda juga
untuk berkarya lebih baik, bukan hanya tentang nama besar. Okelah jika
penulis muda dan nama baru yang diterbitkan, lalu pembaca merasa kecewa
dengan kualitasnya. Itu masih bisa dimaklumi, kata Pak Martin.
Bli
Can memberi tanggapan untuk kritik yang ini. Menurut Bli Can, beliau
dan tim Kompas Minggu sudah melakukan hal itu. Ada beberapa penulis
besar yang karyanya Kompas Minggu tolak karena tak memenuhi standar yang
ditetapkan, terlebih standar nama besar tadi.
Namun
apabila pembaca menilai masih ada yang lolos dan kualitasnya tak sesuai
dengan nama besar penulis tersebut. Mungkin ada perbedaan dalam melihat
teks cerpen itu. Ada beberapa penulis senior yang memunculkan gaya baru
atau hal-hal yang di luar dari gaya, tema, dsb yang selama ini melekat
pada penulis tersebut, semisal yang biasanya menggarap tema-tema tubuh
perempuan, surealis, dan sebagainya perlahan berubah. Nah Kompas
“mengapresiasi” kebaruan yang penulis itu usung.
Di sesi ini, Bli Can jadi curhat beneran –kondisi berbalik, hahaha.
Beliau
dan tim Kompas Minggu memang membuka kesempatan yang sangat luas untuk
penulis muda. Bahkan beberapa di antara penulis muda yang dimuat
cerpennya, Bli Can menghubungi langsung mereka via telepon, diajak
ngobrol, dan ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan karyanya yang
akan dimuat. Sekalian mengkonfirmasi apakah naskah penulis muda ini
asli, bukan jiplakan, belum dimuat media lain, dan sebagainya.
Akhir-akhir
ini Kompas Minggu memang berusaha meningkatkan “kewaspadaan” karena
beberapa kali kebobolan oleh penulis “nakal”. Tak hanya junior yang
nakal tetapi ada juga senior. Ketika tim Kompas Minggu mengkonfirmasi,
apakah cerpennya belum dimuat di media lain? Jawabannya pasti belum.
Tetapi ternyata ketika dimuat, cerpen itu juga muncul di media lain,
atau bahkan sudah muncul tapi tidak mengaku.
Untuk
cerpenis-cerpenis “nakal” ini, Kompas Minggu sedikit memberi “label”
pada namanya. Artinya tim Kompas Minggu akan sangat hati-hati dalam
mengapresiasi karyanya. Bahkan beberapa nama yang menurut tim Kompas
Minggu sudah sangat “nakal”, dengan sangat terpaksa “tidak mendapat
ampunan” lagi. Kok jadi sedkit “serem” ya curhat bagian ini?
Selain
tentang kualitas cerpen senior-junior, Pak Martin juga mengkritik
Kompas Minggu yang membatasi karakter cerpen. Sekarang karakter cerpen
Kompas Minggu hanya 10.000 karakter dengan spasi. Sementara ilustrasi
cerpen mengambil ruang lebih besar sekarang. Menurut Pak Martin,
sebenarnya ini hanya masalah tata letak. Kompas Minggu masih bisa memuat
cerpen yang lebih panjang dari 10.000 karakter dengan spasi itu.
Kesan beliau sebagai cerpenis, Kompas Minggu sekarang menomor-satukan ilustrasi tinimbang cerpen itu sendiri.
Mendengar
“keluhan” Pak Martin itu, Bli Can menjelaskan jika ada perubahan tren
dan gaya dalam media cetak sekarang. Salah satunya pembatasan jumlah
karakter suatu rubrik dan menampilkan visual yang lebih besar. Tak hanya
rubrik cerpen Kompas yang mengalami pemangkasan karakter ini tetapi
rubrik-rubrik lainnya.
♦♦♦
Sesi curhat berlanjut. Pak K. Usman yang datang dari Depok dan berasal dari Sumatra Selatan, sama dengan saya. Wong kito galo.
Ikut curhat juga. Beliau mempertanyakan; kenapa Kompas Minggu sekarang
senang sekali “menyiksa” cerpenis? Kata “menyiksa” memang beliau
ucapkan. Frasa ini langsung mengundang gelak tawa di ruang rapat depan,
lantai 3, Kompas.
Menurut
Pak K. Usman, beliau tersiksa gara-gara cerpennya yang dikirim sejak
2010, 3 tahun lalu, tak mendapat kabar apa pun dari Kompas. Cocok atau
tidak untuk dimuat. Tak hanya yang di tahun 2010, cerpen beliau yang
dikirim ke Kompas sekitar April-Mei 2013, sekitar 7-8 bulan lalu, juga
tidak mendapat kabar apa pun.
Beliau
tidak mengharapkan Kompas Minggu mengistimewakan beliau dan para senior
lainnya. Akan tetapi, Kompas Minggu harus bersikap “manis” seperti
dulu. Memberi kabar pada penulis tentang nasib cerpennya. Dan janganlah
terlalu lama. Sebisa mungkin hanya dalam waktu 1-3 bulan saja.
Bli
Can melalui kesempatan ini meminta maaf pada Pak K. Usman dan juga
teman-teman jika merasa sudah “disiksa” Kompas Minggu. Menurut Bli Can,
belakangan terjadi masalah pada komputer dan database Kompas Minggu,
termasuk database tentang cerpen ini dan sudah berusaha diperbaiki oleh
bagian IT. Masalah itu adalah munculnya cerpen-cerpen lama yang dikirim
penulis pada tahun 2010-2012 dan bercampur baur dengan kiriman 2013.
Padahal cerpen-cerpen lawas itu sudah dikembalikan pada penulis. Karena
masalah inilah terjadi hambatan dalam mendata dan menyeleksi
cerpen-cerpen di tahun 2013.
Tentu
saja Bli Can dan tim Kompas Minggu harus bekerja ekstra memisahkan
cerpen-cerpen 3 tahun lalu yang tercampur itu. Dan ini bukan pekerjaan
mudah serta singkat, terlebih pekerjaan harian di Kompas juga menunggu.
Semoga saja masalah ini bisa segera diatasi.
Nah
setelah Pak K. Usman, akhirnya saya mendapat giliran juga untuk
menyampaikan beberapa unek-unek ke Kompas Minggu. Sebelum hadir di acara
#NgopiCerpenis ini, saya sudah memposting status di grup Sastra Minggu
yang ada di Facebook. Selama ini banyak sekali teman yang mengeluh di
sana tentang beberapa media, salah satunya Kompas. Ini kesempatan bagus
untuk menyampaikan keluhan tersebut. Sebab tim Kompas Minggu kemungkinan
besar tidak pernah membaca keluhan di grup itu. Jadi ini waktunya untuk
menyampaikan secara langsung.
Unek-unek
pertama yang diminta teman-teman adalah Kompas Minggu kembali mengirim
email pengembalian jika cerpen tidak cocok untuk Kompas. Memang sejak
Maret 2013 silam, Ibu Myrna Ratna tidak mengirimkan email pengembalian
lagi. Hal ini tentu membuat penulis bertanya-tanya akan nasib cerpennya.
Biasanya 4-5 bulan setelah dikirim, Ibu Myrna Ratna sudah mengembalikan
cerpen yang kurang cocok.
Saya dan teman-teman di luar Kompas, tentu tidak tahu jika ada masalah pada database cerpen seperti yang Bli Can ceritakan tadi.
Setelah
mengetahui masalah itu, saya menyarankan pada Bli Can dan tim Kompas
Minggu, agar kembali mengirimkan email pengembalian pada cerpen yang
tidak cocok untuk Kompas, jika sistem komputer Kompas sudah pulih. Atau
jika mengirim email terlalu menyita waktu dan tenaga, sementara
pekerjaan tim Kompas juga banyak. Belum lagi antrian naskah semakin
panjang, sementara SDM tidak bertambah, hanya itu-itu saja –tanpa
redaktur tamu tadi atau tanpa tambahan pekerja.
Akan
lebih baik jika Kompas Minggu memberi batasan waktu yang tegas. Misal,
di rubrik cerpen Kompas edisi cetak, redaksi memberi pengumuman: Cerpen yang tidak dimuat setelah 4 bulan sejak dikirim ke Kompas Minggu, cerpen kembali pada pengarangnya.
Artinya
penulis diminta aktif sendiri untuk mengontrol karyanya yang sudah
dikirim ke Kompas Minggu. Tim Kompas Minggu pun tak perlu repot-repot
lagi untuk mengirim email pengembalian. Tentu ini akan menghemat waktu
dan tenaga.
Mendengar
usulan saya ini, Bli Can mengatakan, beliau dan tim Kompas Minggu akan
membicarakannya nanti. Mungkin saja bisa diterima.
Setelah
saya, Uda Damhuri Muhammad pun mendapat kesempatan “curhat”. Kok jadi
berasa kayak acara “Mama Dedeh” ya. Ma, curhat dong…
Saya
dan teman-teman yang hadir di acara #NgopiCerpenis baru tahu jika Uda
Damhuri perlu waktu 11 tahun untuk “nembus” Kompas. Asli. Saya melongo
mendengarnya. Salut! Saya memang tidak pernah tahu perjalanan proses
kreatif beliau. Sebab Uda Damhuri yang saya kenal adalah penulis yang
cerpennya di mana-mana, termasuk Kompas, dan masuk cerpen pilihan
Kompas. Jadi nggak tahu sama sekali proses panjang itu. Gara-gara sesi
ini juga, Pak Martin, Pak Yanusa, Pak K. Usman jadi teringat kalau
mereka sudah menulis di Kompas tahun 70-80-an. Alamak, saya belum lahir!
Ada
pergeseran yang sangat besar di kalangan penulis muda sekarang, kata
Uda Damhuri. Kebanyakan penulis muda sekarang mengejar kuantitas, bukan
kualitas. Bahkan di sosial media ada semacam “kompetisi” banyak-banyakan
siapa yang dimuat. Siapa yang paling rajin nongol di media, dan
sebagainya. Lalu dirayakan dengan berlebihan. Ini memprihatinkan, ujar
Uda Damhuri. Fenomena ini membuat karya-karya yang dihasilkan penulis
muda seperti karya “pabrik”. Kedalaman makna dan elemen-elemen cerita
menjadi sangat merosot.
Mendengar
curhat Uda Damhuri ini, Daeng Khrisna akhirnya ikutan “curhat” juga.
Tetapi karena kemarin itu beliau lebih banyak jadi “komedian”, saya
sampai lupa beliau curhat dan cerita apa. Jadi terpaksa tidak bisa saya
tuliskan di blog ini. Hahahahaha…
Sesi
curhat kembali berlanjut sampai pukul 15.30 WIB. Masing-masing peserta
mengeluarkan pendapat, saran, dan sebagainya. Termasuk Kak Ana yang suka
dengan ilustrasi cerpen Kompas dan keberatan kalau ilustrasi
dihilangkan, Feby, Anggun, Rai, Mbak Komang, Mbak Widya, Langit, Ade,
Uda Melvi, dan lain-lain juga memberikan suaranya.
Eh,
sebentar. Kayaknya Uda Melvi nggak kasih saran apa-apa deh. Beliau
datang telat, terus makan siang, eh pulang duluan dengan alasan ada
kerjaan lain. Berarti beliau nggak nyumbang saran tapi nyumbang perut
buat makan. Hahahahaha… Sayang Aisha nggak diajak ya, Da. Pengin cubit
saya
Apa lagi ya obrolan kemarin? Terlalu banyak. Jadi saya agak lupa. Tulisan blog ini juga sudah kepanjangan.
Oya, satu lagi. Pada Juni 2014 nanti, di acara Cerpen Pilihan Kompas 2013, Kompas Minggu berencana kembali membuka workshop
cerpen seperti yang sudah dilakukan pada tahun 2012 silam. Salah satu
alumninya, Anggun Prameswari, akhirnya bisa dimuat Kompas Minggu di
tahun 2013. Sayangnya peserta yang lain belum terlihat.
Kabar dari Bli Can dan tim Kompas Minggu yang mengatakan akan kembali membuka workshop
cerpen itu cukup menggembirakan. Ini kesempatan bagi teman-teman
penulis muda untuk menimba ilmu dan mengenal Kompas Minggu lebih dekat
lagi.
Jadi
bersiap-siap saja untuk mengikutinya seleksinya. Sebagai gambaran, di
tahun 2012, peserta diminta mengirimkan contoh cerpen dan CV. Perlu
diketahui, pada 2012 itu, Kompas Minggu TIDAK menyediakan akomodasi dan
transportasi untuk seluruh peserta. Jadi kalau kamu di luar Jabodetebak,
tapi ingin sekali ikut seleksi, kamu harus memikirkan bagian ini juga.
Di 2012 ada kok yang datang dari Jogja. Kalau memang niat belajar, semua
penghalang pasti akan dihilangkan.
Seperti
ucapan Pak Martin Aleida yang sangat menginspirasi kemarin itu, “kalau
sampai sekarang cerpenmu belum juga dimuat Kompas Minggu. Itu artinya
kamu belum segigih orang-orang yang sudah dimuat.”
Selamat menulis, selamat berkarya. [GA]
Tidak ada komentar :
Posting Komentar