Senin, 27 Januari 2014
"to do" list 2014*
—drum roll—
1. Mengunjungi sahabat
2. Masuk komunitas baru
3. Mengalahkan anak lanang main catur
4. Selesaikan reading challenge 2014 & bayar utang reading challenge 2013
5. Melanjutkan proyek ber-4 (satu saja, tidak muluk-muluk)
6. Bangun lebih pagi
7. Berbagi buku
8. Bagi-bagi cokelat
9. Ke Borobudur *hallah*
10. Memulai detoks periode 2
11. Menjadi vegetarian setidaknya selama 1 bulan
12. Melanjutkan mengarsip cerpen minggu dan membacanya!
—drum roll—
*Telat [pake] banget. ^_^ ...Sebenarnya pengen memberi judul "The Bucket List". Tapi mengingat asal-muasal istilah itu, rasanya kok tidak cocok ... hehehe.
Senin, 20 Januari 2014
Tembang Alit
Beberapa hari lalu di Soundcloud nemu cover "Tembang Alit". Tembang alit adalah karya pertama yang pernah ditulis oleh Jaya Suprana dalam notasi musik. Ada beberapa cover, tapi ada dua yang saya suka.
Tembang ini seketika melayangkan ingatan pada tembang-tembang Jawa yang dulu sering saya dengar dari guru Kesenian, Simbah, (dan ibu, kadang-kadang).
Meskipun tidak tahu banyak, dan sering kali tidak hapal liriknya, tembang Jawa selalu mengusung suasana magis yang adem di hati. Musiknya seperti menyedot perhatian, tidak bisa tidak menyimak. Betapa tidak, bukan hanya olah bunyinya yang indah, isinya pun sarat pembelajaran kehidupan—perjalanan hidup manusia, kepemimpinan, bahkan politik.
***
*Sambil mengingat-ingat pelajaran bahasa daerah zaman sekolah*
Dalam musik Jawa, tembang alit yang menjadi judul tulisan ini dan karya Jaya Suprana di atas termasuk dalam Macapat, di samping tembang Ageng dan tembang Tengahan.
Ada banyak versi pemaknaan tembang Macapat, tetapi ada satu yang saya ingat, yaitu Macapat artinya maca sipat, membaca sifat. Tembang-tembang Macapat adalah rangkuman proses perjalanan hidup manusia dari lahir hingga mati. Jadi, tembang Macapat bukan sekadar lagu atau nyanyian yang indah didengar, tetapi juga sarat nilai-nilai luhur yang menjadi pengingat akan setiap proses yang harus dilalui oleh setiap insan.
1. Maskumambang — keberadaan manusia ketika masih berada di dalam rahim ibu
2. Mijil — artinya lahir
3. Kinanthi —manusia memerlukan kanthi (tuntunan) dalam menjalani hidup dan meraih cita-cita
4. Sinom — sinom, isih enom, masa muda yang indah dan penuh harapan, yang masih sering salah arah dan langkah
5. Dhandanggula — remaja beranjak dewasa yang selalu ingin mengecap dunia, tidak peduli orangtua. Jiwa muda yang mudah tergoda
6. Asmaradana — masa-masa manusia jatuh cinta
7. Gambuh — jumbuh/bersatu, membina rumah tangga
8. Durma — manusia harus meningkatkan kepekaan sosial, berempati pada orang lain, dan bersyukur kepada Tuhan
9. Pangkur — menyingkirkan hawa nafsu dan sifat-sifat negatif
10. Megatruh — megatruh, megat roh, terputusnya nyawa dari badan
11. Pocung — bahwa manusia akan mati
12. Wirangrong — wirangrong, sak wirange mlebu rong, semua perbuatan manusia ikut dikuburkan. Karena itu semasa hidup, manusia diingatkan untuk tetap menjaga kasing sayang kepada sesama.
Pitutur yang keren, ya?
Dalam musik Jawa, tembang alit yang menjadi judul tulisan ini dan karya Jaya Suprana di atas termasuk dalam Macapat, di samping tembang Ageng dan tembang Tengahan.
Ada banyak versi pemaknaan tembang Macapat, tetapi ada satu yang saya ingat, yaitu Macapat artinya maca sipat, membaca sifat. Tembang-tembang Macapat adalah rangkuman proses perjalanan hidup manusia dari lahir hingga mati. Jadi, tembang Macapat bukan sekadar lagu atau nyanyian yang indah didengar, tetapi juga sarat nilai-nilai luhur yang menjadi pengingat akan setiap proses yang harus dilalui oleh setiap insan.
1. Maskumambang — keberadaan manusia ketika masih berada di dalam rahim ibu
2. Mijil — artinya lahir
3. Kinanthi —manusia memerlukan kanthi (tuntunan) dalam menjalani hidup dan meraih cita-cita
4. Sinom — sinom, isih enom, masa muda yang indah dan penuh harapan, yang masih sering salah arah dan langkah
5. Dhandanggula — remaja beranjak dewasa yang selalu ingin mengecap dunia, tidak peduli orangtua. Jiwa muda yang mudah tergoda
6. Asmaradana — masa-masa manusia jatuh cinta
7. Gambuh — jumbuh/bersatu, membina rumah tangga
8. Durma — manusia harus meningkatkan kepekaan sosial, berempati pada orang lain, dan bersyukur kepada Tuhan
9. Pangkur — menyingkirkan hawa nafsu dan sifat-sifat negatif
10. Megatruh — megatruh, megat roh, terputusnya nyawa dari badan
11. Pocung — bahwa manusia akan mati
12. Wirangrong — wirangrong, sak wirange mlebu rong, semua perbuatan manusia ikut dikuburkan. Karena itu semasa hidup, manusia diingatkan untuk tetap menjaga kasing sayang kepada sesama.
Pitutur yang keren, ya?
***
Sabtu, 18 Januari 2014
A Gentlemen's Dignity
Boys don’t mature. They just age. But aged boys know… to flow with a different destination, and to shine with different color.
Ngeeekkkk ...
Akhirnya selesai juga nonton film seri ini. Film Korea pertama dan satu-satunya di blog ini. Maaf saya cukup picky dalam hal ini. Hahaha.
Sungguh bukan faktor pemainnya film ini ikut tayang di sini. 100% karena ide ceritanya. Dan yang penting film ini tidak terlalu menye-menye.
A Gentlement's Dignity berkisah tentang cinta, persahabatan, dan kehidupan pribadi 4 pria berumur 41 tahun. Apa menariknya 4 laki-laki berumur 41 tahun? Di sinilah uniknya.
Adalah Kim Do Jin, Im Tae San, Choi Yoon, dan Lee Jung Rok. Sejak menjadi anak sekolahan mereka sudah bersahabat. Dan persahabatan itu terus berlanjut sampai mereka meniti karier masing-masing dan salah dua di antara mereka menikah (Choi Yoon & Lee Jung Rok), sedangkan dua yang lainnya masih berkutat dengan karier dan wanita yang dikejarnya (Kim Do Jin & Im Tae San).
Sepertinya sudah menjadi ciri khas sebuah film seri, kisah cinta mereka menjadi rumit dan ribet.
Kim Do Jin, yang menjadi fokus utama cerita, jatuh cinta pada Seo Yi Soo, yang ternyata malah jatuh cinta pada sahabatnya sendiri, Im Tae San.
Im Tae San jatuh cinta pada sahabat Seo Yi Soo, Hong Se Ra (nah lhoo). Tae San sangat mencintai Se Ra, sedangkan Se Ra belum mengenali perasaannya sendiri dan masih sibuk dengan kariernya sebagai atlet golf.
Jadi mereka berempat terlibat dalam cinta garis lurus. hehe
Lain lagi dengan Jung Rok yang menikah dengan perempuan matang yang super duper kaya (Park Min Sook). Jung Rok yang playboy dan Min Sook yang cemburuan sempurna membuat rumah tangga mereka selalu rock and roll, tidak pernah tenang, bahkan terancam bubar.
Sementara, Choi Yoon yang istrinya meninggal diam-diam jatuh cinta pada Me Ah Ri, adik kandung Im Tae San, yang terpaut 14 tahun dengannya. Dia dihadapkan pada pilihan, menggenggam Me Ah Ri atau melepasnya demi persahabatan mereka.
Sebenarnya pekerjaan dan karier mereka menjadi poin yang menarik, Choi Yoon pengacara, Jung Rok pengelola kafe, Seo Yi Soo guru sekolah menengah, Me Ah Ri desainer tas, dan Hong Se Ra atlet golf. Sayangnya, cerita seputar pekerjaan lebih banyak terfokus pada Kim Do Jin dan Im Tae San di perusahaan arsitektur yang mereka kelola.
Di sini, saya meminggirkan teori-teori tentang ulasan film (sejatinya saya tidak paham, hehe), dan unsur-unsur filmis yang biasanya menyertai sebuah ulasan film, misalnya keindahan gambar, sinematografi, seni peran, efek-efek khusus, dan hal-hal pendukung lainnya, yang kemudian dibuat penilaian baik atau jelek, mengibur atau tidak menghibur. Saya tuliskan saja apa yang nyangkut di kepala. ^_^
Tentang sahabat
Dalam penangkapan dan pemahaman sederhana saya, inilah garis besarnya. Sahabat adalah orang yang pertama kali datang ketika seluruh dunia meninggalkan kita. Film ini hendak menunjukkan bahwa sahabat seperti itu memang ada, dan idealnya, memang seperti itulah seharusnya seorang sahabat. Tidak ada hubungan tanpa ikatan yang setulus hubungan dengan sahabat.
Sahabat adalah seseorang yang membuat sahabatnya mencapai potensi terbaiknya, saling mendukung, saling menyediakan waktu, dan saling mendengarkan. Usia bukan penentu seseorang menjadi sabahat yang baik dan bisa diandalkan atau tidak.
Menjadi sahabat artinya menjadi gila dan konyol ketika hanya itu yang dibutuhkan oleh sahabatnya untuk kembali tertawa. Film ini sarat hal-hal seperti itu.
Tentang pasangan
Who is the one that married the best? Pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Tidak ada pribadi yang sempurna tanpa cela. Jika ada seseorang terlihat begitu sempurna, hanya ada dua kemungkinannya. Pertama, kau belum benar-benar mengenalnya. Kedua, kau "hanya" sedang jatuh cinta kepadanya.
Pasangan, orang yang membuat kupu-kupu beterbangan di perut kita, orang yang dengannya kita berani membuat komitmen, adalah orang yang bersamanya kita berani merenda mimpi bersama. Orang yang dengannya kita sanggup menempuh risiko. Orang yang dengannya kita bisa menjadi diri sendiri. Sepertinya klise. Memang. Tapi, bukankah cinta masih menjadi kekuatan besar yang memampukan kita menempuh banyak hal?
Tentang memaafkan dan menerima
Siapa yang tidak punya masa lalu? Siapa yang tidak pernah berbuat kesalahan pada masa lalunya? Di tengah cerita kita dikejutkan dengan sang tokoh utama yang ternyata melakukan kesalahan besar pada masa lalunya. Kesalahan yang sangat terlambat diketahuinya dan mengubah seluruh hidup dan keputusannya. Saat ia mantap dengan pilihan masa depannya, kisah masa lalunya menyerobot masuk.
Penyesalan tidak cukup untuk mengatasi kenyataan dan segala konsekuensinya.
Hanya ketika ia tidak terlalu sombong untuk menerima maaf dan meminta maaf, segala sesuatunya ternyata menjadi lebih mudah.
Tentang pilihan-pilihan
Usia dan kedewasaan memang berteman, tetapi tidak selalu sejalan. Pengalaman berhadapan dengan berbagai pilihan lebih mendewasakan ketimbangan hitungan usia belaka.
Pilihan-pilihan
memberikan ruang untuk berpikir dan membuat keputusan. Semakin hari
semakin paham dan semakin berhitung atas risikonya. Bukan untuk mundur,
melainkan untuk menyiapkan keberanian yang lebih besar, ketulusan yang
lebih teruji, sikap yang tidak ala kadarnya, dan ketenangan yang lebih
matang. Saya menyebutnya pilihan-pilihan yang mendewasakan.
-------------------------------------------------------------------------------------
Scene favorit: semua opening-nya.
Quote favorit: sudah ditulis di atas.
Pemain favorit: terlalu banyak orang mengidolakan Do Jin, saya pilih Yoon Oppa saja. Dia lebih charming di mata saya. *hallah* Mungkin ini sisi lain saya, jarang terpikat dengan pemeran utama. hahaha :-p
Pari Uli
Langkahku terhenti di depan pasrean[1].
Patung loro blonyo[2]
menawan pandanganku dan seketika sebaris kenangan menguat di ruang hati yang
kurasakan mulai membeku. Tanganku
baru setengah terulur, hendak menyentuh sejumput padi yang teronggok di dekat
situ ketika ponsel di sakuku bergetar. Pesan dari Biworo muncul di layar. Setelah
membacanya singkat, aku berbalik, menggegaskan langkah melewati pringgitan dan pendhopo, dan kemudian berlari keluar.
Bekerja
dan hidup di kota besar serta melekat dengan
semua modernitas tak mengubah kecintaanku pada rumah Mbah Kakung ini. Rumah yang cukup besar untuk menyimpan
segala sesuatu, termasuk menampung segenap kenangan. Tidak seperti rumah-rumah
di sekitarnya, rumah ini
masih kuat mempertahankan struktur rumah Jawa tradisional. Tak sekalipun aku
menawari Mbah Kakung untuk merenovasinya; sudah pasti
ditolak. Semuanya masih seperti dulu, mulai dari pendopo hingga ke senthong,
bahkan gandhok dan pawon.
Loro blonyo yang selalu
memikatku bisa menunggu. Saat
ini aku ingin sekali bertemu Biworo. Dia adalah sahabat kecilku. Bisa dikatakan
rumah Mbah Kakung juga sudah seperti rumahnya. Mbah Kakung dan Mbah Putri
almarhum tidak pernah menganggap Biworo sebagai orang lain. Dia sama sepertiku,
cucunya. Enam tahun lalu, Biworo menikah dan sekarang memiliki dua anak
laki-laki. Dan aku masih sendiri sampai sekarang. Kami berdua
bekerja di kota besar yang berbeda, hampir tidak pernah bertemu. Komunikasi
hanya lewat SMS atau chatting. Dan mudik bersamaan
seperti sekarang amat langka
terjadi.
Aku
mempercepat langkahku menyusuri jalan tanah di depan rumah Mbah Kakung.
Menyusurinya hingga ke ujung desa dan mendapati Biworo sedang duduk di pematang
beralas rumput. Kutepuk punggungnya
dan setengah memeluknya.
“Jadi, kaukhianati sumpahmu sendiri untuk tidak
membiarkan sehelai rambut pun tumbuh di bawah hidungmu?” sambutku sambil
meletakkan pantat di sebelahnya.
“Dan kamu
sendiri? Kapan kaupensiunkan topi bulukmu itu?”
Tawa kami meruap.
Rasanya sudah lama
sekali tidak mengobrol di tepi sawah seperti ini. Obrolan ngalor ngidul pun terjadi.
Mulai dari sepak bola, makanan, anak,
pekerjaan, sampai
warung mie ayam di pinggir desa yang telah berubah menjadi kios fotokopi.
“Pari
Uli,” kata Biworo tiba-tiba, memutus ceritanya tentang promosi jabatannya.
Kuikuti
arah tatapannya. Berjarak lima
petak sawah dari tempat kami duduk, aku melihat Mbah Rukti Putri berjalan di pematang. Kutudungkan
tanganku di atas mata untuk menghalau silau dari matahari sore. Di belakang Mbah Rukti Putri, mengekor Pari Uli, cucu perempuannya
yang hampir sebaya kami. Sejak kecil, dia selalu setia menemani Mbah Rukti memetik beberapa helai padi
terbaik, membantu mengikatnya, lalu menyematnya dengan daun dadap serep, dan
membawanya pulang untuk diletakkan di pasrean.
Dulu, selalu Mbah
Rukti yang memondongnya[3],
tetapi kini aku melihat dia membiarkan Pari Uli yang memondongnya pulang.
Pari Uli
…. Aku ingat dulu pernah bertanya kepada Mbah
Rukti kenapa cucunya diberi nama itu. Menurut Mbah Rukti, pari uli sebenarnya adalah sebutan untuk seberkas padi yang biasa dipetiknya
menjelang panen—berkas padi terbaik.
Nama Pari Uli
diambil dari situ. Sawah yang mengelilingi di desa ini sebenarnya masih banyak dan luas, tetapi sebagian
besar tidak dikerjakan sendiri. Kebanyakan disewakan. Jadi, memetik pari uli
menjelang panen bisa
dikatakan hampir punah di sini. Tinggal Mbah Rukti Putri dan Mbok Imah, rewang[4]
di rumah Mbah Kakung semenjak Mbah Putri meninggal, yang masih melakukannya.
“Kamu masih mengharapkannya?” pertanyaan Biworo menarikku dari
angan masa kecil.
“Siapa?”
“Sudahlah.
Kita bukan lagi bocah kecil yang berebut nasi megono dan ingkung ayam.”
Aku
memandang Biworo dalam kebisuan.
“Kalian
bisa menjadi pasangan Sri dan Sedhana, seperti impianmu.”
“Aku tidak akan menikahi wanita yang menyimpan
hatinya untuk laki-laki lain.”
Kupandang
Biworo tajam, tetapi dia melengos.
“Itu lagi alasanmu.
Aku sudah menikah. Dan apa kamu lupa kalau laki-laki bejat yang kupanggil ayah
itu orang yang sama dengan orang yang menghamili Buni?” Aku menghela
napas berat. Buni adalah anak Mbah Rukti, ibu Pari Uli. Nama sebenarnya adalah
Lani, tetapi kami akrab memanggilnya Buni, kependekan dari Bu Lani.
Yah, aku ingat lembar kelam dalam kehidupan sahabatku itu. Dia harus berhadapan
dengan ketidaksetiaan ayahnya. Aku
memahami kegetirannya karena itu artinya dia harus memendam rasa untuk
perempuan yang ternyata adiknya.
“Tapi itu tidak
menghentikan perasaan Pari Uli padamu. Hatinya tetap
memilihmu. Hatimu juga tetap memilihnya.”
“Mengetahui hal itu
sudah cukup bagiku,” kepedihan
terselip di antara kata-katanya.
“Bagaimana
perasaanku itu sudah tidak penting sekarang. Perasaanmu lebih penting. Kamu
tidak menyerah, kan?”
“Lelaki
mana yang tidak mau mengikuti kata hatinya sampai berakhirnya bumi untuk
menghirup manisnya napas kekasihnya, merasakan sentuhan lembut tangannya, dan
merasakan bahagia ketika mendengar nyanyian suaranya?”[5]
“Ha ha ha
… kamu masih gandrung pada penyair itu?”
Ledakan
tawa Biworo sedikit melelehkan ketegangan dan kemurungan yang tiba-tiba merayapi.
“Kamu masih ingat apa yang dikatakan penyair pujaanmu
itu? Kehidupan memiliki dua sisi: yang satu sabar dan yang lain menyala. Dan
....”
“Dan cinta berada di sisi yang menyala,” aku menyambung
cepat.
Kupandang sahabatku itu. Mungkin benar yang sering kudengar bahwa kita paling banyak
belajar dari kepedihan. Dia jelas telah banyak berubah semenjak ia menelan
kegetiran dengan ketololannya memerkosa gadis yang sangat mencintainya yang
sekarang menjadi ibu dari kedua anaknya. Orang yang dicintai mempunyai
lebih banyak cinta untuk diberikan.
Orang yang duduk di sampingku adalah buktinya.
Senja sudah separuh membungkus desa dengan
jingganya. Dan aku memantapkan hati bahwa berkas padi terbaik memang layak dipilih, seperti Pari
Uli. Meskipun hanya itu pilihannya.
[1]
Ruangan di tengah rumah tradisional
Jawa yang dikhususkan untuk menghormati Dewi Sri.
[2] Sepasang patung laki-laki dan perempuan yang
duduk bersila mengenakan kostum Jawa tradisional; melambangkan sepasang
mempelai. Juga diartikan sebagai perwujudan Dewi Sri dan Raden Sedhana.
[3]
Menggendong dengan selendang seperti
menggendong bayi.
[4]
Orang yang membantu membereskan semua
pekerjaan rumah.
Kamis, 16 Januari 2014
Teman Takkan Hilang
Jarak boleh menjauhkan, tetapi waktu akan semakin mendekatkan.
Amajing rasanya bertemu teman-teman lama. Teman-teman yang sebagian tidak kukenal lama, tetapi mengingatku dan mengundangku datang, mengingatku sebagai bagian dari keluarga meskipun anak bungsu ^_^.
Waktu boleh membuat foto usang, tetapi kisah di dalamnya semakin layak dikenang.
Memandang wajah mereka lagi satu per satu membuat waktu berjalan mundur dan tiba-tiba semua peristiwa seperti mengambang dan jelas terpampang. Ternyata banyak sekali yang berubah. Wajah yang sama, keceriaan yang sama, tetapi ukuran tubuh berbeda (hehehe), mengembang ke kanan dan kiri, menjadi berkat *hallah*. Dan yang paling penting adalah kedewasaan yang semakin ranum dan harum (si anak bungsu masih berproses menuju ke sana ^_^).
Bangga memiliki kalian, meyakinkan bahwa teman takkan hilang.
Amajing rasanya bertemu teman-teman lama. Teman-teman yang sebagian tidak kukenal lama, tetapi mengingatku dan mengundangku datang, mengingatku sebagai bagian dari keluarga meskipun anak bungsu ^_^.
Waktu boleh membuat foto usang, tetapi kisah di dalamnya semakin layak dikenang.
Memandang wajah mereka lagi satu per satu membuat waktu berjalan mundur dan tiba-tiba semua peristiwa seperti mengambang dan jelas terpampang. Ternyata banyak sekali yang berubah. Wajah yang sama, keceriaan yang sama, tetapi ukuran tubuh berbeda (hehehe), mengembang ke kanan dan kiri, menjadi berkat *hallah*. Dan yang paling penting adalah kedewasaan yang semakin ranum dan harum (si anak bungsu masih berproses menuju ke sana ^_^).
Bangga memiliki kalian, meyakinkan bahwa teman takkan hilang.
![]() |
West Lake Resto, 14 Januari 2014 |
Langganan:
Postingan
(
Atom
)