#manusia yang terbuat dari semangat
Saya suka memakai analogi antena untuk menggambarkan sebuah pemikiran.
Bahkan untuk menghindari konflik yang sebenarnya tidak perlu terjadi hanya
karena beda paham atau beda maksud, saya suka mengatakan, "Ah, antena kita
berbeda." Lalu, saya akan tertawa untuk menenangkan perasaan sendiri.
Beda kepala, beda pemikiran. Itu biasa. Apa yang kita pikirkan saja bisa
berbeda dengan apa yang kemudian kita ucapkan, padahal kepala dan mulut berada
dalam satu teritorial yang dekat, satu tubuh pula. Jadi, bisa dimaklumi apabila
maksud perkataan kita sering kali ditangkap berbeda oleh orang yang
mendengarkan. Tidak perlu terlalu sensitif.
Mungkin ada orang-orang yang memang berpembawaan “menerima secara berbeda
perkataan orang lain”. Itulah dinamika dalam hubungan dengan orang lain. Namun,
kita tidak perlu juga cepat-cepat menghakimi bahwa mereka tidak memahami maksud
kita. Bisa jadi penyampaian kita memang rawan multi tafsir. Lagi pula, jika
kita terlalu sibuk menghakimi, kita tidak punya waktu untuk mencintai mereka.
#tzzaahhhh ….
Kita juga tidak perlu selalu “menyamakan antena” hanya karena kita “malas”
mendengar komentar-komentar yang muncul kemudian yang ternyata tidak sesuai
dengan maksud kita. Apalagi, kita lalu memilih bungkam dan menjauh.
Seandainya
momen “beda kepala, beda antena” itu memang membuat kita resah, anggap saja
kita bertemu manusia-manusia cerdas yang membuat kita bertambah ilmu dalam hal
cara bicara atau cara berkomunikasi dengan orang lain. Itu pilihan yang, jika diambil
dengan penuh kesadaran dan bukan sekadar karena mutung”, akan mengasah kedewasaan.
Semangaat.
Tiada komen selain ... setuju dengan pendapatmu, Bu! Beda antena, oke.
BalasHapushihi, seperti yg dina bilang, beda antena pun masih bisa nonton acara yg sama. Seru pulak. :D
Hapus