Hari ketika dia memanggilku ibu.
Sebenarnya kurang
tepat juga dikatakan begitu karena hari ini dia genap tujuh tahun. Dia sudah
setiap saat memanggil saya “ibu”. Kami sudah ribuan kali tertawa. Ratusan kali makan
es krim. Dan sudah entah berapa kali menonton Cars dan Real Steel.
Bersama. Tapi, setiap tahun saya selalu suka menandai hari ini dengan “the day he called me mother”.
Tujuh tahun ini kami
tumbuh bersama. Kami keras kepala, tetapi kami juga belajar menghargai. Kami
ingin didengarkan, tetapi kami juga belajar mendengarkan. Kami menangis, tetapi
kami juga saling menghibur. Kami bertengkar, tetapi kami juga saling
memeluk.
Dia mudah lupa. Dia
yang dengan manis berkata, “Selamat tidur, Mah”, pagi harinya bisa berteriak
“Mamaaaaah, aku maunya sarapan telur” dengan intonasi tinggi. Tapi dalam sehari,
coba tebak, nama siapa yang akan dia panggil pertama kali ketika dia
membutuhkan apa pun di rumah atau ketika dia habis mengalami sesuatu yang luar biasa atau ketika dia ingin membanggakan sesuatu? Ibu. Dia tidak pernah benar-benar marah.
Ibu juga mudah lupa. Rahang
yang mengeras pada sore hari disertai kalimat “Jadi bener tidak mau membereskan
semua mainan ini?” akan berubah menjadi pelukan hangat sebelum tidur disertai “I
love you” dan memastikan dia tidur nyenyak dalam selimut sepanjang malam. Ibu
juga tidak pernah benar-benar marah.
Hari ini adalah hari
perayaan kami berdua; merayakan perjalanannya dari perut menuju pelukan. Perjalanan pendek, tetapi mengalihkan
dunia. Pelukan kecil, tetapi berarti segalanya.
Hari ini dia tujuh
tahun sudah. Dengan caranya sendiri dia berkali-kali menegaskan bahwa dia bukan
anak kecil lagi dan tidak mau tidak dipercaya. Dengan proses yang sering kali
tidak menyenangkan, dia ingin ibu tahu bahwa dia mengerti semua kata-kata
ibunya tanpa harus diulang berkali-kali.
Karena itu, pagi tadi dalam perjalanan
ke sekolah, untuk pertama kalinya saya mengucapkan kata-kata yang sudah saya
simpan lama, “Mamah bahagia menjadi ibumu.”