#todaywisdom
#manusia.yang.terbuat.dari.semangat
Minggu kemarin mendapat "hidangan sarapan" yang menarik sekaligus menantang: "mengenal itu awal mencintai". Mengapa menantang? Kita simpan dulu pertanyaan ini.
Mengenal seseorang bukan berarti sekadar mengenal nama. Mengenal seseorang secara mendalam berarti mengetahui harapan, ambisi, impian, kecemasan, hal-hal yang disukai, dan hal-hal yang dibencinya. Kita bisa tahu penampilannya secara fisik, karakter secara umum, gaya hidup, kondisi keluarganya, pasangannya, bakat, hobi, sahabatnya, bahkan mungkin hal-hal yang sedang menjadi pergumulan atau masalah yang sedang dihadapi.
Di lingkungan tempat saya bekerja, misalnya, tempat di mana "keluarga saya yang lain" berada. Tempat duduk saya tepat membelakangi pintu masuk ruangan departemen. Otomatis saya tidak melihat siapa saja yang masuk, kecuali saya pasang spion di dekat monitor komputer, atau cctv sekalian *hallah*.
Seiring waktu, saya nyaris hafal semua langkah kaki orang-orang di ruangan saya. Kalau saya sedang penat dengan pekerjaan atau mengantuk maksimal, saya sering kali membuat games untuk diri saya sendiri: menebak langkah kaki orang yang sedang memasuki ruangan. Dari yang langkahnya ringan, berat, sampai yang menyeret sandal atau sepatu.
Bukan cuma itu. Untuk beberapa orang, saya hafal ritualnya ambil minum di dispenser, ritual ke kamar mandi, ritual menangani kantuk. Dan untuk beberapa orang, saya bahkan hafal tarikan napasnya. Bukannya saya kurang kerjaan; kurang waktu iya. Pekerjaan saya di kantor dan di luar kantor melatih saya untuk memerhatikan detail. Jadi, rasa-rasanya "pay attention to details" is in my blood. Hehe. Seorang teman pernah menyeletuk tentang saya, katanya, "Hati-hati kalau Wiwin sudah mulai diam, sedikit banget bicara." Katanya lagi, "Itu artinya dia sedang merekam sesuatu di kepalanya." Hahaha .... Dia pasti sangat mengenal saya. ^_^
Dengan hafal semua kebiasaan mereka, apakah itu artinya saya mengenal mereka secara mendalam. Tidak juga. Yang saya tuliskan tentang teman-teman saya itu tentu saja yang terekam oleh saya "hanya" di permukaan, itu pun hanya secuil. Ada banyak sekali hal yang tidak terlihat, apalagi terekam, oleh saya.
Sisi Lain
Untuk mengenal seseorang secara mendalam, kita tidak perlu mempunyai
kemampuan berkomunikasi yang hebat, kepiawaian dalam bergaul atau
menguasai psikologi kepribadian. Ada cara yang lebih sederhana, lebih mudah, dan jauh lebih
efektif. Anda pasti sudah menebaknya. Yak benar, yaitu dengan meluangkan lebih banyak waktu untuk bersama orang
yang ingin kita kenal. Semakin banyak waktu kita bersamanya, semakin
kita mengenalnya.
Mengapa di awal tadi saya mengatakan topik ini menantang? Karena ada sisi lain dari "mengenal". Semakin kita dekat dan mengenal seseorang, kita mengenal bukan hanya kebiasaan dan kehidupan pribadinya; mengenal bukan hanya kebaikannya, melainkan juga keburukannya; bukan hanya kelebihannya, melainkan juga kelemahannya. Inilah sisi lain itu yang sering kali berbeda dan berseberangan dengan kita. Dari sinilah persinggungan dimulai. Kecewa? manusiawi. Menyesal? tidak perlu.
Terkadang saya malah senang ketika ada orang yang berseberangan dengan saya. Tentang hal ini saya sering mengatakan kepada diri sendiri, ada baiknya kita berseberangan, setidaknya kita bisa saling memandang, saling belajar. Selalu ada dinamika dalam segala sesuatu, bukan?
Proses
Sesungguhnya, kita tidak bisa benar-benar mengenal seseorang secara utuh karena pribadi seseorang itu misteri, bagaikan jurang yang entah di mana dasarnya. Bahkan setiap orang bagi dirinya sendiri tetap menjadi teka-teki yang tak terselesaikan (unsolved puzzle), hanya dapat ditangkap samar-samar.
Sebagai gambaran, mari kita coba membongkar ingatan. Pernahkah kita mengalami suatu momen di mana kita bicara kepada diri
sendiri, "Ternyata aku bisa ya" (ketika kita menyadari sebuah potensi
baru yang kita sendiri bahkan baru menyadarinya). Atau sebaliknya,
"Ternyata aku kurang pas dengan pekerjaan ini" (ketika kita menyadari
potensi kita yang lain dalam kondisi yang berbeda).
Perlu waktu dan proses yang tidak sebentar untuk mengenal diri sendiri, bahkan [saya yakin] itu berlangsung selama hayat masih dikandung badan. Jika bagi diri sendiri saja misteri, mengapa kita menuntut diri sendiri untuk mengenal seseorang lain secara utuh hanya untuk memahaminya.
Jadi, benarkah mengenal itu awal mencintai? Yap, benar. Tak kenal maka tak sayang. Kalau ada kekecewaan terselip, bukan berarti dia salah dan saya benar. Terkadang kami hanya berbeda. Saya kecewa, tapi pasti dia lebih kecewa mengapa saya harus kecewa. Kalau ada kekecewaan terselip, itu hanya karena saya belum mengenal dia lebih banyak. Lagi pula kecewa bukan berarti tidak mencintai, kan? Ada lagu andalan ketika saya sedang dalam fase itu: I see your true colors shining through. And that's why I love you.
Dan ketika seseorang kecewa dengan sisi lain saya, menyenangkan jika dia juga mengucapkan hal yang sama: I see your true colors shining through. And that's why I love you.
.
.
Selalu, dan selalu... tulisanmu menjdai permenunganku, Mbak Wiwin. Terima kasih sudah berbagi! *.^
BalasHapushihi curcol vii
Hapusmakasih yaaa